Lebih lanjut, Sigit juga menyoroti soal metodologi pengukuran kualitas udara di perkotaan. Sigit mengatakan sensor pengukuran kualitas di udara seyogianya tak boleh terpengaruh dengan gedung-gedung dan pohon-pohon yang berada di sekitarnya.
Sigit menjelaskan keadaan sensor pengukuran yang tidak sesuai standar dapat menyebabkan salahnya data akibat street canyon. Untuk diketahui, street canyon merupakan kondisi di mana angin hanya berputar di sekitar gedung-gedung yang ada di perkotaan.
“Kalau kita lihat ini adalah sensor yang dipasang di kita, yang menurut saya ini tidak menggambarkan kondisi ambience, tapi justru menggambarkan kondisi satu tempat itu. Kenapa ini penting? Ini adalah karakteristik pencemaran di perkotaan. Jadi ini adalah kalau diibaratkan ini angin, maka karena ada gedung akan terjadi penghalangan, ada angin yang berputar di situ. Jadi kalau lokasi pemantauannya ada di daerah ini, maka yang didapat adalah amplifikasi nilai baku mutu tadi. Nah kalau itu terjadi di gedung yang diapit. Jadi istilahnya street canyon, di mana yang menjadi lembah adalah jalannya, yang menjadi penghalang lembahnya gedung tinggi, maka yang terjadi angin tidak bergerak ke mana-kemana sehingga ini yang disebut dengan pencemaran dari apitan gedung, yang meningkat sekian kali dari base-nya,” jelas Sigit.
“Jadi kalau di luar kota barang kali cuma di sini, tapi karena ada efek kendaraan bermotor kemudian tidak bisa bergerak ke mana-mana, maka konsentrasi pencemaran udaranya meningkat bahkan bisa 10 kali dari kondisi yang ada. Nah itulah yang sebetulnya kenapa di Jakarta terjadi konsentrasi yang cukup tinggi karena ada fenomena street canyon tadi. Oleh sebab itu, maka karena kita tahu fenomena di kota-kota besar ini adalah komponen terpenting, oleh karena itu yang harus kita perbaiki untuk urban area adalah komponen yang ini yang dihasilkan dari transportasi. Maka isu transportasi yang berkelanjutan atau merubah gaya hidup menjadi penting untuk daerah perkotaan,” sambung dia.