Regulasi Pengelolaan Terak Baja Diharapkan Segera Terbit

  • Whatsapp
banner 728x90
limbah slag dimamfaatkan kembali PT IMIP sebagai bahan bangunan dll

Reporter:
Bambang Sumantri

Limbah
slag atau terak baja merupakan masalah bagi semua industri pengolahan baja
khususnya yang berada di Indonesia. 
Berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 101 tahun 2014, slag yang dihasilkan dari proses produksi baja
digolongkan sebagai Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Masalah limbah slag
ini muncul saat pemerintah mewajibkan bagi perusahaan tambang untuk membangun
smelter sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Mineral dan Batu Bara atau Minerba. Hingga akhir 2018, total jumlah industri
tambang di Indonesia yang mengoperasikan smelter sebanyak 27.
Berselang lima tahun
kemudian, pemerintah menerbitkan PP Nomor 101 tahun 2014 yang memasukkan limbah
slag yang dihasilkan smelter-smelter ini dalam kategori sebagai limbah B3. Kondisi
inilah yang selalu menjadi masalah bagi para pelaku industri baja.
Di satu sisi, mereka
diminta untuk meningkatkan produksi dan mengembangkan bisnisnya, namun di sisi
lain ada peraturan yang membatasi terkait pengelolaan dan pemanfaatan limbah
slag.
Senior Vice Presiden
bidang eksternal PT IMIP site Morowali, Slamet V Panggabean mengatakan, dalam
pertemuan antara Komite Ekonomi dan Industri Nasional bersama kelompok kerja
yang beranggotakan sejumlah kementerian terkait seperti Kementerian
Perindustrian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian ESDM tanggal 21
Maret 2019, dinyatakan bahwa Indonesia dan Belgia merupakan dua negara di dunia
yang masih memasukkan slag sebagai limbah B3.
“Dalam pertemuan
itu, PT IMIP bersama-sama perusahaan pengelola smelter milik pemerintah dan
juga swasta lainnya juga ikut hadir” kata Slamet.
Slag yang dihasilkan
dari pengolahan smelter nikel ataupun tembaga, kata Slamet, selama ini masih dianggap sebagai limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun (B3), sehingga tidak bisa dimanfaatkan. Padahal, jika berkaca dari
negara lain, slag bisa dijadikan sebagai bahan baku bangunan, bahan pengerasan
jalan, bahkan bisa dijadikan bahan baku pembuatan pupuk tanaman.
Di negara-negara
industri lain misalnya Kanada dan Amerika, limbah slag dimanfaatkan sebagai
bahan agregat pembangunan jalan karena memiliki daya lekat yang jauh lebih baik
dibandingkan batu alam.
Sementara di Jepang,
limbah slag antara lain dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik. Pada jurnal
tanah dan lingkungan (Vol.12 No. 1, April 2010:36-41) yang diterbitkan Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) menyebutkan bahwa, slag merupakan
material yang bermanfaat di bidang pertanian, karena slag dapat digunakan
sebagai bahan pengapuran untuk memperbaiki kondisi tanah masam. Pola ini sudah
digunakan di Jerman sejak tahun 1937 dan Amerika sejak 1939.
Selain PP nomor tahun
2014, pengelolaan dan pemanfaatan limbah slag ini juga belum bisa dilakukan
karena hingga saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) belum
mengeluarkan regulasi terkait pengelolaan limbah slag. Hal mendasar inilah yang
membuat PT IMIP belum bisa melakukan pengelolaan dan pemanfaatan limbah slag
itu secara massif untuk dijadikan bahan yang bernilai ekonomi.
Meski demikian, PT
IMIP sudah melakukan sejumlah pengelolaan dan pemanfaatan limbah slag. Misalnya
untuk pembuatan batako, paving blok dan batu bata yang produknya digunakan
untuk kebutuhan bahan baku dalam pembangunan sejumlah fasilitas di dalam
kawasan industri yang dikelolanya.

Bahkan, batako beton
yang berasal dari pengelolaan dan pemanfaatan limbah slag oleh PT IMIP telah
mengantongi sertifikat SNI dan digunakan untuk bangunan perkantoran dan tempat
ibadah yang berada di dalam kawasan IMIP. Produk samping dari limbah B3 ini,
telah dilakukan pengujian karateristiknya.
Selain itu,
pengelolaan dan pemanfaatan limbah slag ini adalah stabilisasi lahan tanah
untuk dijadikan sebagai lahan bangunan, baik bangunan kantor ataupun bangunan
rumah ibadah. Pemanfaatan lainnya lagi, untuk kebutuhan road base jalan di
dalam kawasan, yang juga telah dilakukakan uji CBR.
pemanfaatan limbah tambang atau slag menjadi batako untuk konstruksi bangunan 
Di sisi lain, PT IMIP
juga secara aktif mengajukan dan mengurus sejumlah perijinan terkait
pengelolaan dan pemanfaatan limbah slag ini. Koordinasi, diskusi dan evaluasi
terus dilakukan bersama Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Tengah dan
Kementerian LH.
Dikutip dari media
kontan.co.id edisi 17 Juni 2019, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral
Kementerian ESDM, Yunus Saefulhak, menyebutkan bahwa Kementerian Koordinator
Perekonomiaan telah mengadakan rapat koordinasi dengan Kementerian ESDM,
Kementerian Perindustrian, Kementerian BUMN dan Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (KLHK) pada 21 Mei 2019 lalu. Hasilnya, regulasi yang dinilai
menghambat akan dievaluasi kembali. Setelah itu, KLHK akan melakukan evaluasi
terhadap kategorisasi slag dalam limbah B3, atau akan dipertegas melalui
regulasi khusus.
Hingga saat ini, pihak
PT IMIP masih menunggu realisasi dari hasil pertemuan tersebut. Diharapkan,
regulasi dari pemerintah bisa segera terbit sehingga pengelolaan dan
pemanfaatan limbah slag yang berada di dalam kawasan PT IMIP bisa juga secara
massif dilakukan.

PT IMIP juga
mengharapkan peran aktif dari pemerintah dan DPRD Provinsi Sulawesi Tengah,
untuk mendorong supaya regulasi dari pemanfaatan limbah tambang atau slag ini
dapat segera terealisasi atau diterbitkan pemerintah pusat. Pertimbangan itu
tentunya untuk menjaga iklim investasi yang ada di Provinsi Sulawesi Tengah,
khususnya di Kabupaten Morowali. ***

Berita terkait