Februari, Palu Deflasi 0,29 Persen

  • Whatsapp

Reporter: Firmansyah Lawawi

LIMA Bulan berselang pasca
bencana alam, tepatnya pada bulan
Februari 2019, Kota Palu mengalami deflasi atau penurunan indeks
kelompok harga barang
sebesar 0,29 persen.

“Beberapa bulan sebelumnya
pasca bencana alam, kota Palu mengalami inflasi yang sangat tinggi. Urutan
kedua setelah Jayapura. Hal ini sesuatu yang menggembirakan. Semoga kedepannya
pengendalian inflasi dapat direalisasikan seperti bulan Februari,” ungkap
kepala Badan Pusat Statistik (BPS) ir. Faizal Anwar saat press conrence, Jumat
(1/3/2019).

Menurut 
Faizal Anwar, deflasi terjadi 
pada kelompok bahan makanan 1,82 persen, dan kelompok perumahan, air,
listrik, gas dan bahan bakar sebesar 0,35 persen.

Lima komoditas yang mempengaruhi
terjadinya deflasi seperti ikan Mujair sebesar 0,14 persen, ikan Cakalang 0,13,
ikan Kembung 0,10, daging Ayam ras 0,07 dan ikan Bandeng 0,04 persen.

“Selain itu, terjadi
deflasi pada kelompok bahan bangunan. Seperti semen besi beton dan batako di
bulan Februari 2019, artinya neraca perdagangan mengalami surplus,”
akunya.

Namun katanya, untuk harga
tiket angkutan udara masih stagnan. Artinya hingga saat ini belum perubahan.
Kenaikannya dipicu oleh bencana alam. Untuk jumlah penumpang transportasi udara
maupun laut pada bulan Januari 2019 mengalami kenaikan hingga 20 sampai 30
persen,” sebutnya.

Kepala bidang Distribusi
BPS Sulteng, Nasser bahwa pola terjadinya deflasi pada bulan Februari tahun
2019, terjadi pada bulan dan tahun sebelumnya.

Kenaikan harga  terjadi pada rokok filter. Hal itu tutur
Nasser dipengaruhi oleh cukai dari rokok tersebut.  Namun tidak mempengaruhi besaran inflasi.

“Seperti terjadi
kenaikan pada cukai rokok dari produsen. Namun pada tingkat pengecer, kenaikan
harganya tidak melambung tinggi. Hanya berkisar antara Rp. 500 hingga 1500
rupiah saja, ” jelasnya.

Inflasi juga terjadi pada
kelompok sandang 0,04 persen, kesehatan 0,02 persen, pendidikan, rekreasi dan 
olah raga andilnya hanya 0,03 persen.

Harga yang bahan komoditas
yang diatur atau ditentukan oleh pemerintah. Seperti cukai rokok, BBM dan
angkutan tranportasi udara mengalami kenaikan. Namun beber Nasser hanya sebesar
0,01 persen saja.

“Secara garis
besarnya, komoditas yang memiliki andil terbesar terjadinya deflasi pada bulan
Februari 2019 adalah bahan makanan, ” jelasnya.

Untuk ekspor di bulan
Januari 2019 lanjut Nasser, Sulteng mencapai 471 juta USSD. Varietes barang
yang diekspor didominasi oleh migas sebesar 134 juta USSD, hasil industri  pengolahan 327 juta USSD,  pertambangan seperti Nikel dan konsetrat 9,37
juta USSD dan pertanian 0,68 juta USSD. ” Ekspor Sulteng mengalami
kenaikan dari bulan sebelumnya sebesar 3,35 persen, ” ungkapnya.

Pangsa tujuan ekspor
terbesar Sulteng bulan Januari 2019 di negara Korea Selatan sebesar 110,58 juta
USSD, Tiongkok 109,77 juta USSD dan Taiwan 98,15 juta USSD.

Selain itu, tujan ekspor
selanjutnya ke negara Uni Eropa sebesar 3,97 persen atau 18,74 juta USSD, Asean
9,18 persen 1,3 juta USSD.

Impor Sulteng sendiri di
bulan Februari 2019 mengalami penurunan dari bulan sebelumnya. Struktur barang
impor didominasi oleh bahan baku dan bahan penolong sebesar 85,88 persen, serta
barang modal 13,94 persen dan konsumsi 0,18 persen.

Negara importir terbesar
didominasi oleh Negara Tiongkok sebesar 111 juta USSD, Afrika Selatan 60,23
juta USSD.

“Grafik neraca
perdagangan Sulteng di bulan Januari mengalami surplus sebesar 259 juta USSD.
Artinya ekspor lebih tinggi dari impor, ” ucapnya.

Indeks nilai tukar petani
Sulteng dibulan Februari 2019 sebesar 93,72. Terjadi penurunan NTP dari bulan
sebelumnya sebesar 1,47 persen.

Sub sektor yang mengalami
penurunan tersebut seperti tanaman pangan sebesar 0,30 persen, Hortikultura
2,39 persen, perkebunan -2,61 persen dan peternakan 0,61 persen.

” Komoditas
dihasilkan oleh petani mengalami penurunan harga. Seperti jagung, kacanh hijau,
kacang tanah dan kedelai, ” beber Nasser. ***

Berita terkait