Komnas HAM: Cabut Status Ramah HAM

  • Whatsapp
Reportase: Ikhsan Madjido

ADANYA Balita di pengungsian alami gizi buruk dan belum
mendapatkan Hunian Sementara (huntara) dinilai sebagai pengabaian atas apa yang
ditegaskan dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945, dan UU no 24 tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana.

Olehnya Komnas HAM Perwakilan Sulteng meminta
Kementerian Hukum dan HAM untuk mencabut predikat kota Palu sebagai kota Ramah
HAM.

“Peristiwa ini membuat kita semua jadi miris,
mengingat Kota Palu yang menyandang Predikat Kota Ramah HAM dari Kementerian Hukum
dan HAM Republik Indonesia. Olehnya jika kejadiannya di kota ini ada warganya
alami gizi buruk di pengungsian, hemat kami, Kementerian Hukum dan HAM dalam
hal ini melalui Bapak Yasina Laoly selaku menteri, pantas mencabut Predikat
Kota Ramah HAM bagi Kota Palu,” kata Kepala Komnas HAM Perwakilan Sulteng, Dedi
Askary, dalam press releasenya, Senin (1/4/2019).

Menurut Dedi Askary, penanggulangan bencana alam,
baik secara Nasional maupun secara internasional, bukanlah sesuatu yang baru,
hal ini dibuktikan dengan ketersediaan berbagai instrumen hukum terkait dengan
Penanggulangan Bencana alam termasuk korban benncana alam (gempabumi, tsunami
dan likuefaksi) yang terjadi 28 September 2018 lalu yang menghantam masyarakat
kota palu, kabupaten Sigi, Kabupaten Donggala dan kabupaten Parigimoutong. 

Oleh
karenanya, dalam konteks penanggulangan bencana alam, termasuk terhadap mereka
(masyarakat yang menjadi korban) di 4 Daerah tersebut, penanganannya harus
merujuk pada 2 (dua) cantolan hukum dan turunannya yang mengatur soal  standar implementasi Penanggulangan bencana
alam di Indonesia, yaitu:

Pertama, sebagaimana yang di atur dalam
Undang-undang no.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana , prioritas
penanganan sebagai sebuah standar minimum bagi pengungsi dan/atau penyintas
adalah tempat penampungan/pengungsian termasuk dalam hal ini menfasilitasi
ketersediaan Hunian Sementara (baik berupa tenda keluarga yg layak hingga
bangunan (hunian bersifat sementara maupun permanen bagi mereka yang kehilangan
rumah), sanitasi, bantuan pangan maupun non-pangan, hingga kejelasan atas
pelaksanaan dan langkah-langkah yang dilakukan dalam masa tanggap darurat,
hingga masa rehabilitasi dan rekonstruksi, harus dipastikan, tidak ada
pengungsi yang diabaikan atau terabaikan hak2nya.

Lebih jauh, UUD 1945 sangat jelas menegaskan bahwa
“Negara bertanggunggung jawab melindungi segenap Bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, dengan tujuan memberikan perlindungan
terhadap kehidupan dan penghidupqn
termasuk perlindungan terhadap bencana alam, dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan umum yang berlandaskan Pancasila, sebagaimana yang di amanatkan
dalam UUD 1945″.

Bahkan Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945, tegas
menyatakan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan. 

Pasal inilah yang menjadi pijakan utama dalam
situasi darurat hingga pasca Darurat, khususnya dalam menjamin Hak Asasi
Manusia (HAM) korban bencana Alam selama ini, selain itu, Instrumen Hukum
Internasional yakni Protecting Persons Affected by Natural Disaster yang
dirumuskan oleh Inter-Agency Security Committee (IASC) yakni sebuah badan
khusus bentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bergerak khusus pada
soal2 humanitarian, IASC menetapkan beberapa rumusan mendasar dalam standar
penanganan korban bencana yakni Non-Diskriminasi dalam penanganan pengungsi
korban Bencana Alam.**

Berita terkait