Reportase : Andono Wibisono
KAILIPOST.COM,- LUWUK- WARGA Tanjung Kota Luwuk hingga saat ini, terus melawan penggusuran yang dilakukan sejumlah aparat kepolisian gabungan baik dari Polres Banggai dan BKO dari Polda Sulteng. Berikut ini foto-foto yang sempat di cupture dari siaran langsung – live media sosial seseorang dengan akun Dina Tapo.
Berikut kronologis peristiwa hingga lokasi berapa 6,4 hektare itu menelan korban;
PENGGUSURAN WARGA TANJUNG LUWUK
Penggusuran ini berawal dari klaim oleh keluarga Salim Albakar yang mengaku sebagai ahli waris dari tanah tersebut. Akibat penggusuran tersebut, sedikitnya dua ratusan unit rumah warga dan 343 KK yang terdiri dari 1.411 jiwa telah menjadi korban daripenggusuran sepihak tersebut. Tuduhan tindakan penggusuran secara sepihak ini bukan tanpa alasan. Kami melihat telah banyak terjadi pelanggaran secara administrasi dan Hak Asasi Manusia, termasuk hak atas tanah dalam proses penggusuran tersebut.
Perlu diketahui, bahwa penggusuran paksa Tanjung Sari dipicu oleh perkara hukum perdata, alias perebutan hak kuasa atas tanah yang telah banyak menempuh prores persidangan. Proses ini juga telah sampai di tingkat Mahkamah Agung. Namun, dari semua keputusan itu, tidak dinyatakan secara tegas perintah eksekusi atas tanah perkara.
Sengketa ini berawal pada tahun 1977 di mana pada saat itu, pihak ahli waris dari keluarga Salim Albakar menggugat pihak Keluarga Datu Adam atas klaim tanah seluas 38,984 M². Proses gugatan ini diproses di PN Luwuk dengan keluarnya putusan No. 22/PN/1977 tanggal 12 Oktober 1977 yang memutuskan perkara tersebut dimenangkan oleh pihak Keluarga Datu Adam.
Setahun setelahnya, pihak ahli waris dari keluargaSalim Albakar mengajukan banding ke pengadilanTinggi yang waktu itu masih bertempat di Manado atas putusan tersebut. Melalui putusan No. 113/PT/1978 tanggal 18 Oktober 1978 pihak PT memutuskan bahwa perkara tetap dimenangkan oleh pihak keluarga Datu Adam.
Tidak puas dengan putusan pengadilan Tinggi, pihak keluarga Salim Albakar melanjutkan kasasi ke Mahkamah Agung pada tahun 1981. Dalam putusannya No. 2031/K/SIP/1980 tanggal 16 Desember 198I, MA menolak kasasi dari pihak keluarga Salim Albakar dan memenangkan pihak dari keluarga Datu Adam.
Pada saat itu, warga dari luar telah mulai melakukan garapan dan mendirikan pemukiman di atas lahan yang disengketakan kedua belah pihak. Awalnya mereka melakukan proses jual beli dan penyewaan dengan keluarga Datu Adam sebagai pihak yang memenangkan sengketa tanah tersebut hingga akhirnya memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah tersebut.
Tahun 1996, pihak ahli waris Salim Albakar kembali melakukan gugatan di atas tanah yang dimenangkan oleh pihak Datu Adam. Gugatan ini berawal dari sengketa tanah pihak Hadin Lanusu dengan pihak Husen Taferokillah di atas tanah yang dimenangkan oleh Keluarga Datu Adam. Pada saat itu pihak ahli waris Salim Albakar mencoba mengintervensi sengketa antara kedua pihak di atas. Dan melalui proses persidangan, pihak ahli waris Salim Albakar memenangkan intervensi gugatan tersebut melalui putusan MA No. 2351.K/Pdt/1997. Namun pada saat tersebut tidak disebutkan berapa jumlah luasan yang dimenangkan pihak ahli waris Salim Albakar oleh MA.
Merespon putusan tersebut, pada tahun 2006 pihak ahli waris Salim Albakar mengajukan permohonan eksekusi di atas tanah sengketa yang mereka menangkan melalui putusan MA dan dikuatkan dengan Peninjauan Kembali (PK). Namun pihak PN Luwuk menolak pengajuan tersebut dengan alasan pertimbangan bahwa pokok sengketa tanah adalah 22 m x 26,50 m dan 11,60 m x 11,30 m. Sedangkan yang dimohonkan oleh ahli waris seluas ± 6 hektar. Terhitung sejak tahun 2006 pihak ahli waris Salim Albakar telah melakukan tiga kali permohonan ke PN Luwuk dan PT Sulteng yakni padatahun 2006, 2008, dan 2010 namun semuanya ditolak.
Anehnya, pada tahun 2016 pihak PN Luwuk mengabulkan permohonan pihak ahli waris yakni, permohonan penggusuran di atas lahan seluas ± 6 hektar. Namun proses eksekusi sempat tertunda dikarenakan pihak Pemda dan Polres Banggai belum menyetujui proses eksekusi dikarenakan objek yang dimohonkan untuk dieksekusi tidak sesuai dengan objek perkara yang dimenangkan.
Barulah pada tanggal 3-6 Mei 2017, PN Luwuk melakukan eksekusi di atas lahan seluas ± 9 hektar dengan dikawal oleh aparat Kepolisian, TNI, dan Satpol PP sehingga menggusur warga yang telah lama bermukim di sana. Dari semua proses yang telah berlangsung, kami mencatat beberapa pelanggaran dalam proses hukum dan administrasi diantaranya:
Ketua PN Luwuk, Nanang Zulkarnain Faisal S.H. telah mengesampingkan putusan-putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah dan Mahkamah Agung RI sehingga terjadi salah penafsiran dalam mengabulkan permohonan ahli waris Salim Albakar terkait proses eksekusi di atas objek perkara. Kesalahan penafsiran ini telah mengakibatkan objek sengketa dalam perkara berbeda dengan objek yang digusur dan diserahkan kepada ahli waris
Kesalahan tersebut mengakibatkan sedikitnya dua ratusan unit rumah warga digusur dan 343 KK yang terdiri dari 1.411 jiwa menjadi korban. Padahal sebagian besar warga sudah memiliki SHM dan sebagiannya sedang dalam proses pengurusan.
Pemda dalam hal ini Bupati Banggai menyalahgunakan wewenangnya dengan mengerahkan seluruhperangkat pemerintahannya untuk membantu proses penggusuran termasuk kepada warga yang sudahmemiliki sertifikat (salah objek). Padahal sebelumnyadia menjamin bahwa penggusuran akan dilakukan di atas lahan yang diperkarakan. Pihak kepolisian, dalam hal ini Polres Banggai telah melampaui kewenangan PN Luwuk dalam proses penggusuran rumah warga.
Pihak kepolisian, dalam hal ini Polres Banggai telah melakukan tindakan kriminalisasi terhadap warga di antaranya melakukan penangkapan secara sepihak kepada wargaa tas nama Suprianto alias Surip dan Fiirman alias Tio saat melakukan aksiprotes di depan kantor Bupati Banggai terkait penggusuran rumah mereka pada tanggal 5 Juni 2017.
Pihak kepolisian, dalam hal ini Polres Banggaitelah melakukan intimidasi kepada warga Tanjung Sari sebelum dan sesudah terjadinya penggusuran. Pihak kepolisian juga melakukan tindakan represif kepada warga selama proses penggusuran dengan cara memaksa warga keluar dari rumah mereka.
Atas dasar fakta-fakta di atas, kami yang terdiri Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Front Masyarakat Tanjung Bersatu (FMTB) dan Front Penyelamat Kedaulatan Rakyat (FPKR) menuntut kepada:
Komisi Yudisial untuk memeriksa dan menindak hakim yang telah menyalahi aturan dengan mengeluarkan putusan sebagai dasar penggusuran. Ombudsman agar segera menindak dugaan mal administrasi dalam proses penggusuran yang dilakukan oleh Pemkab Banggai serta tindakan yang mereka lakukan dengan mengerahkan semua perangkatnya.
Komnas HAM agar segera mengusut dugaan tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Pemkab dan Polres Banggai sebelum, selama, dan sesudah penggusuran. Polda Sulteng agar segera mengintruksikan kepada Polres Banggai untuk memberikan jaminan keamanan kepada warga gusuran Tanjung Sari dari intimidasi dan teror yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan orang-orang suruhan pihak ahli waris Salim Albakar.
Kementrian ATR/BPN mengintruksikan kepada Kanwil dan Kantah BPN di Sulawes Tengah untuksegara melaksanakan gelar perkara status hak atas tanah wargaTanjung Sari.