OLEH : SIGIT WIBOWO
Kisah Pilu Donggala bukanlah tragedi tunggal. Ketika Plt. Asisten III Setda Donggala, Gozal Ramli, menyebut kesulitan membayar gaji ke-13 dan gaji rutin Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) sebagai “jebakan Batman”, ia tak sekadar melontarkan lelucon birokrat.
Ia membuka kotak pandora persoalan struktural yang menjerat berbagai daerah: kebijakan pusat yang mulia, tetapi dibebankan mentah-mentah ke pundak daerah yang kering sumber daya.
Donggala hanyalah satu wajah dari potret buram yang terpampang dari Biak Numfor hingga Halmahera Utara. Di Biak Numfor, belanja pegawai melonjak Rp502 miliar, mengoyak anggaran karena DAU cuma Rp481,4 miliar.
Di Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung, pemerintah daerah bahkan memutuskan untuk tidak membuka formasi PPPK tahun 2024 karena keterbatasan anggaran. Di Halmahera Utara, gaji P3K terlambat demi menyelamatkan sektor lain. Polanya sama: daerah tercekik oleh kewajiban membiayai P3K status ASN yang sejatinya adalah tanggung jawab pusat tanpa disertai tambahan napas anggaran yang memadai.
Ironinya semakin pahit. Para P3K ini adalah mantan tenaga honorer yang dulu digaji seadanya dari APBD. Janji negara mengangkat mereka menjadi ASN, simbol stabilitas dan pengakuan, ternyata berubah menjadi bayang-bayang ketidakpastian yang lebih kelam. Mereka terjebak dalam status baru, tetapi pendanaannya terbengkalai di tengah sengkarut keuangan daerah. “Peningkatan status” yang diidamkan, berubah menjadi “jebakan Batman” yang nyata: janji keadilan yang justru mengurung dalam masalah baru.
Akar masalahnya bukan sekadar salah hitung anggaran. Ini adalah persoalan relasi pusat-daerah yang timpang dan kebijakan yang terlepas dari realitas lapangan. Pusat membuat kebijakan nasional (reformasi ASN, pengangkatan P3K), tetapi melempar tanggung jawab pembiayaannya ke daerah. Padahal, ruang gerak fiskal daerah kian sempit.
Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) mengering, disapu kebijakan efisiensi nasional. Daerah diibaratkan diminta berlari kencang, namun kakinya dibelenggu beban yang tak sanggup dipikulnya.
Transparansi yang ditunjukkan oleh Pemkab Donggala patut diapresiasi sebagai bentuk tanggung jawab politik kepada publik.* Jeritan Donggala harus menjadi alarm keras bagi pemerintah pusat kebijakan ASN saat ini cacat struktural dan ada yang keliru dalam tata kelola hubungan keuangan antara pusat dan daerah sehingga akan mengancam stabilitas pelayanan publik dasar. Pemerintah Pusat tidak bisa lagi berpura-pura tuli. Tindakan nyata dan berani wajib diambil:
- Sinergi Fiskal Konkret:
Pusat dan daerah harus duduk bersama merancang skema pembiayaan P3K yang berkeadilan. Bukan pemindahan beban, tapi pembagian tanggung jawab yang jelas dan proporsional berdasarkan kemampuan fiskal daerah. Formula DAU/Dana Transfer lainnya perlu ditinjau ulang secara radikal untuk mengakomodasi beban P3K.
- Insentif bagi Daerah Rentan:
Daerah dengan kapasitas fiskal terbatas perlu mendapat insentif khusus atau dana talangan yang mudah diakses untuk menutup defisit pembiayaan P3K, tanpa mengorbankan pelayanan vital lainnya.
- Revisi Peta Jalan Reformasi ASN:
Peta jalan reformasi birokrasi harus diselaraskan dengan peta jalan kemampuan fiskal daerah. Rekrutmen P3K massal tanpa jaminan pendanaan berkelanjutan adalah kebijakan yang gegabah dan tidak bertanggung jawab.
Negara tak cukup hadir lewat regulasi dan janji. Negara wajib hadir melalui keberpihakan fiskal yang nyata. Tanpa komitmen pendanaan yang jelas dan berkelanjutan dari pusat, reformasi ASN hanya akan menjadi proyek administratif kosong. Yang dikorbankan bukan hanya anggaran daerah, tetapi juga masa depan para garda terdepan pelayanan publik: guru, tenaga kesehatan, dan tenaga teknis. Mereka, yang seharusnya menjadi tulang punggung negara, justru terperangkap dalam “jebakan Batman” buatan pusat, hidup dalam bayang-bayang tunggakan gaji dan ketidakpastian. Sudah waktunya pusat turun tangan, bukan sekadar memberi perintah, tapi juga memikul tanggung jawabnya.
Rabu, 11 Juni 2025