Historial Gempa di Sulawesi Tengah

  • Whatsapp
banner 728x90

Nemu Buku mengenang peristiwa Mapaga 51 tahun lalu (Foto:Nemu Buku)

Reportase:
Ikhsan Madjido

Gempabumi
adalah sistem peringatan dini itu sendiri. Early warning system yang harusnya
menyatu dengan tubuh dan pikiran setiap kita, apa yang harus dilakukan saat
bumi berguncang dan tidak terpaku dalam panik yang berkepanjangan dan apalagi
harus menunggu laporan BMKG.
51
tahun lalu peristiwa Mapaga berlalu. Komunitas NEMU BUKU, pada Rabu, 14 Agustus
hingga Kamis 15 Agustus 2019 akan mengenangnya kembali dan berharap bertemu
warga di sana untuk berdiskusi dan membicarakan hal-hal sederhana terkait
mitigasi atau upaya mengurangi risiko bencana gempabumi dan tsunami.
“Ini
piknik sejarah. Kami membawa banyak buku dan akan kemah di pesisir pantai
Mapaga. Membaca buku dengan anak- anak dan remaja di sana dari sore, membuat
api unggun dan bakar ikan saat malam, dan doa bersama saat pagi menjelang, pagi
yang 51 tahun lalu pernah begitu jahanam,” kata Neni Muhidin dari Komunitas
Nemu Buku, Rabu (14/8/2019).
Baru
tiga bulan, cerita Neni Muhidin, Muhammad Yassin dilantik menjadi gubernur
kedua Sulawesi Tengah menggantikan Anwar bergelar Datuk Majo Basa Nan Kuniang,
gempabumi dan disusul tsunami menghantam pesisir Mapaga di Teluk Tambu, Kamis
pagi, 15 Agustus 1968. Dusun Mapaga yang permai itu adalah bagian dari Desa
Labean, Kecamatan Balaesang, Pantai Barat Kabupaten Donggala.
“Sebuah
foto arsip yang diolah kembali oleh Kukuh Ramadhan menampakkan Gubernur Yassin
sedang berada di atas perahu saat meninjau lokasi kejadian,” ungkapnya.
BMKG-nya
Amerika Serikat, USGS, merilis dalam bank data mereka, peristiwa itu terjadi
pada Rabu, 14 Agustus 1968, pukul 22.14.23 waktu universal (UTC) yang bermakna
terjadi pada tanggal 15 Agustus 1968, pukul 06.14.23 waktu setempat atau waktu
Indonesia bagian tengah (WITA). Matahari belum menampakkan dirinya.
“Bermagnitudo
7.2
dan di kedalaman 20 km.” sebut Muhidin.
Catatan
lain menyebut, gempabumi dan tsunami pada 15 Agustus 1968 adalah mainshock atau
gempabumi utama karena empat hari sebelumnya, 10 Agustus 1968, terjadi
gempabumi pendahuluan atau foreshock.
Persis
seperti mainshock saat gempabumi 28 September 2018 yang diawali oleh gempabumi
penanda seminggu sebelumnya dan tiga jam sebelum pukul 18.02 WITA.
Saat
gempabumi yang memicu tsunami di Mapaga terjadi, air laut surut. Kisah itu
terekam dalam banyak kesaksian saat warga malah turun ke laut dan bukan
menjauhi pantai.

Peta rute ke Labean, pantai barat kabupaten Donggala (Foto: Nemu Buku)
Tsunami
Mapaga yang berindikasi dipicu oleh gempabumi di zona subduksi (thrust) berbeda
karakternya dengan tsunami di Teluk Palu setahun yang lalu. Tsunami yang dalam
pelafalan di Mapaga di sebut Lembotalu itu, air laut surut jauh dan kembali
dengan gelombangnya yang tinggi dan dengan panjang merendam daratan.
Ketua
Ikatan Ahli Tsunami Indonesia (IATsI) Dr. Gegar Prasetya yang saat diskusi
Nombaca di Nemu Buku (8/8) menyebutkan bahwa, yang mesti diperhitungkan dari
bahaya tsunami adalah bukan tinggi gelombangnya tetapi panjang gelombang yang
merendam. Energi tsunami selalu seperti gerbang kereta api, pak Gegar memberi
ilustrasi untuk menjelaskan panjang gelombang tsunami.
Tsunami
di Teluk Palu pada 28 September 2018 bersumber dari dalam teluk dan gelombang
tsunami dipicu oleh longsoran tebing laut dalam teluk (submarine landslide)
karena Sesar Palu Koro yang melintasi teluk.
Oleh
pengetahuan dan pengalaman yang tidak begitu jauh dari peristiwa Mapaga itu,
warga Balaesang, saat foreshock gempabumi 28 September 2018 pukul 15.00 WITA,
sudah melakukan evakuasi mandiri ke ketinggian.
Sebaliknya
di Palu, warga tidak menyadari gempabumi pendahuluan itu sebagai alarm akan ada
mainshock di pukul 18.02 WITA.
Sementara,
Ketua Pansus Pengawasan Bencana DPRD Provinsi Sulteng, mengapresiasi langkah
Neni Muhidin dkk Aktivis Kebencanaan Sulteng.
Harus
kita sadari, salah satu aspek lemah di kita adalah kultur literasi.
“Aspek
ini memang baiknya kita genjot signifikan di APBD 2020 mendatang, demi
memastikan bahwa seluruh rangkaian dan jejak-jejak kebencanaan di Daerah kita.
Apa pentingnya? Adalah sebagai penguatan basis pengetahuan publik soal bencana,
karena ke depan, pendekatan pembangunan kita tentu saja berbasis ramah
bencana”, lanjut Yahdi.**

Berita terkait