Dari Pandiri, Mapane, Sampai Tojo

  • Whatsapp
JEJAK ISLAM DI TANA POSO

Sintuvu Maroso,- TIDAK Mudah memastikan orang pertama yang mengawali penyebaran agama Islam di Tana Poso.  Selain metode penyebarannya berawal dari cara-cara tradisional sambil berdagang, tokoh penggeraknya pun terkonsentrasi di wilayah tertentu. Tersebutlah Tampo Banda di kawasan Pandiri-Lage,  Andi Baso Ali di Mapane-Poso Pesisir,  serta Andi Ahmad Lacukku di wilayah Tojo, ketiganya meninggalkan kisah lisan dari sejumlah nara sumber dan fakta sejarah berupa keturunan, rumah, masjid, dan pemakaman.

Namun, untuk memastikan siapa yang lebih dahulu hadir, hingga kini masih menjadi sebuah kajian menarik, sekaligus menantang. Bukan apa-apa, baik Tampo Banda, Baso Ali, dan Andi Ahmad Lacukku (Pilewiti), masing-masing memiliki metode yang berbeda dengan tantangan yang berbeda pula, sehingga sulit mengukur pengaruhnya secara kuantitatif. Namun, terlepas dari sejumlah tantangan masing-masing, pendekatan yang paling moderat untuk menelusuri jejak mereka, adalah mencoba mengurai secara geneologis.  Nah berdasarkan pemetaan dalam garis keturunan, kita bisa mengurai awal kehadiran dan kiprah mereka di Tana Poso.

Sejumlah sumber lisan menyebutkan, Tampo Banda adalah salah seorang tokoh Muslim yang mengitari Lembantana Poso, dan akhirnya bermukim di Kadombuku, sebuah kampung tua yang terletak di sebelah selatan desa Watuawu, Kecamatan Lag, atau lebih tepatnya bukit Kalingua. Kampung tua ini hanya berjarak sekitar 200 meter dari Jalan poros Poso-Tentena (Desa Pandiri). Di sanalah Tampo Banda mulai melakoni kehidupannya di tengah penduduk yang dipastikan masih menganut paham animisme ketika itu. Ia menikah dengan salah seorang gadis dan menurunkan generasi yang sampai saat ini masih teridentifikasi.

Menurut Maks Tadjongga, Tampo Banda diperkirakan tiba di Poso sekitar Tahun 1720-an, karena jika dirunut  silsilah keturunan sampai saat ini, Tampo Banda telah menurunkan tujuh (7) turunan di Poso. “Kita ini, kira-kira so termasuk generasi ke-5, kita pe cucu berarti sudah generasi ke-7”, kata Ngkai Maks Tadjongga, yang meyakini Tampo Banda beragama Islam, meski pun keturunannya saat ini banyak yang beragama kristiani. “Saya sudah pernah ke sana, jadi almarhum pe makam memang berbentuk nisan dan menghadap ke utara sebagaimana pemakaman islam lainnya, dan sampai saat ini kuburan beliau itu masih ada. Jadi kitorang pe nenek moyang ini sesungguhnya orang Bugis Mandar beragama Islam”, kata Maks Tadjongga, dalam sebuah perbincangan dengan Kaili Post.

Hal senada disampaikan oleh Gustaf Tadjongga. Mantan Kepala Kelurahan Lombugia ini, memperkirakan kehadiran Tampo Banda jauh lebih dulu daripada Baso Ali di Poso Pesisir. Karena kalau berdasarkan penelusuran sejarah, Baso Ali yang berasal dari Cilellang Kabupaten Luwu, diperkirakan hadir di Poso, sekitar tahun 1.800-an.  Hal senada dikemukakan oleh Syarifudin Odjobolo, generasi keempat dari Baso Ali ini, mengetahui Baso Ali masih sempat ketemu dengan Albert Christian Kruyt di ujung usianya sebelum berpulang ke rakhmatullah, di Kelurahan Mapane. “Sangat mungkin Tampo Banda lebih dahulu, karena Baso Ali memang masih menyisakan kisah toleransi dengan Kruyt di Mapane. Itu yang saya ketahui, meski masih ada juga yang menilai bahwa Kruyt hanya sempat ketemu dengan Odjobolo, anak mantu Baso Ali”, kata Udin Odjobolo, saat bincang-bincang dengan Kaili Post di area pemakaman Baso Ali, dua hari lalu.

Kruyt sendiri diketahui  tiba pertama kali di Mapane pada Tahun 1892, terpaut sekitar 172 tahun dari kehadiran Tampo Banda di Pandiri.  Dari perhitungan secara sederhana inilah kemudian memberi petunjuk bahwa Tampo Banda memang lebih dahulu tiba di Poso daripada Baso Ali, karena Tampo Banda diperkirakan hadir di Poso, sekitar tahun 1720.

Begitulah penelusuran penulis, mencoba menyandingkan kisah kedua tokoh kharismatik tersebut, memberi petunjuk untuk memastikan siapa sesungguhnya yang lebih dulu hadir, Tampo Banda atau Baso Ali?. Dan dalam penelusuran berdasarkan garis keturunan,  menunjukkan bahwa, Tampo Banda adalah tokoh Muslim pertama yang hadir di Poso, meskipun harus diakui pengaruh Tampo Banda dalam melakukan misi dakwahnya terkesan sayup-sayup, dibanding dengan Baso Ali. Dan boleh jadi tidak masifnya islamisasi yang dilakukan oleh Tampo Banda ketika itu dikarenakan oleh masih tertutupnya penduduk pribumi terhadap agama samawi (monoteisme), apalagi budaya mengayau dan tradisi hidup berpindah-pindah ketika itu masih merupakan cara hidup yang lazim bagi orang Poso, sehingga menyulitkan Tampo Banda untuk melakukan pengorganisasian.

Tampo Banda diketahui menurunkan seorang anak bernama Pettalore (Tamabuku). Dari anak tunggal inilah kemudian menurunkan 4 orang anak, masing-masing bernama Gaweda (Papa I Malempo/Tadjongga), Tampengara (Bungasawa), Ntewe  (Nenek Gompi), Ule (Tancoigi/Papa I Ndori). Menariknya, dari keempat anak Pettalore sebagai penerus keturunan Tampo Banda, ada yang beragama Kristen dan ada pula yang beragama Islam. Lagi-lagi, fenomena ini kembali menegaskan bahwa, sesungguhnya orang Islam dan Kristen di Tana Poso, masih memiliki pertalian darah.

Kandidat Doktor Antropologi Unhas, Asyer Tandapai, menilai perbedaan agama bagi keturunan Tampo Banda, sesungguhnya  tidak  terlepas dari pola penyebaran agama islam dan kristen di tana Poso yang berbeda. “Kalau kita coba mengamati dari pola penyebaran kedua agama langit (islam dan kristen), memang penganut agama kristen berkembang di pegunungan, sementara islam berkembang di wilayah Poso Pesisir”, kata Kandidat doktor Antropologi Unhas, Asyer Tandapai.

“Jadi kelihatannya ada jedah dakwah dari Tampo Banda ke Papa I Malempo, karena setahu saya Ngkai Papa I Malempo sendiri menganut animisme,  jadi keluarga kami yang tinggal di wilayah pesisir bagian Tojo dan Sayo, memeluk agama Islam karena memang dakwah islam berlangsung di sana, sementara kami yang beragama islam, mengikuti misi penginjilan AC. Kruyt,  jadi sudah betul kira-kira depe jalan cerita begitu”, tambah Gustaf, meyakinkan.

Sebuah referensi tertulis yang belum diterbitkan menyebutkan, keturunan Tampo Banda yang beragama Islam sebagian besar berasal dari garis keturunan anak laki-laki bernama Tampengara (Bungasawa) dan anak perempuan bernama Ntewe yang kawin dengan Palenga. Baik marga  Bungasawa maupun Palenga, keduanya sampai kini secara umum memeluk agama Islam dengan wilayah penyebaran saat ini banyak di kelurahan Sayo, Kecamatan Poso Kota Selatan, Poso Pesisir bersaudara, termasuk di wilayah Tawaeli, Kota Palu.

Ada pun Andi Ahmad Lacukku dari Bone, atau yang lebih dikenal dengan Pilewiti, sebagai pembawa risalah islam di wilayah Tojo, belum banyak diulas dalam narasi ini. Selain masih terbatasnya referensi, wilayah Tojo secara administratif sudah termasuk dalam wilayah Kabupaten Tojo Unauna saat ini. Namun, kehadiran Pilewiti di Tojo diketahui menurunkan generasi Kolomboi, lalu turun ke Tanjung Bulu, sebagaimana yang banyak digunakan sebagai nama belakang, oleh keturunannya. Pilewiti, diketahui meninggal dan dimakamkan di desa Tojo, Kabupaten Touna, 85 km arah timur dari Kota Poso. **

reporter/editor: Darwis waru 

Berita terkait