Ketimpangan sosial di Indonesia masih melebar seiring dengan upaya peningkatan kualitas manusia yang tidak dilakukan secara merata di seluruh daerah. Terdapat tiga indikator dalam mengukur kualitas hidup manusia, yakni pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Indikator tersebut juga merupakan standar dalam indeks pembangunan manusia (IPM) untuk mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia.
Dalam hal ini bidang Pendidikan Indonesia mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah dengan adanya postur anggaran sebesar Rp. 508,1 Triliun atau 20% dari APBN 2020. Lantas, sejauh ini bagaimana upaya yang telah dilakukan pemerintah terhadap pendidikan di Indonesia? Apakah upaya peningkatan kualitas manusia melalui bidang pendidikan dilakukan secara merata di seluruh pelosok daerah?
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), tren dan pertumbuhan IPM Indonesia 2018, telah mencapai angka 71,39 dengan status ‘tinggi’. Walaupun demikian, persoalan ketimpangan masih terlihat jelas dengan perbedaan angka yang cukup signifikan, dari tingkat Provinsi yang tertinggi di DKI Jakarta sebesar 80,47, dan terendah di Papua 60,06.
Sedangkan di tingkat Kabupaten/Kota yang tertinggi di Yogyakarta 86,11, dan terendah di Nduga 29,42.Hal ini tentu menjadi isu penting dalam perancangan dan strategi pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Secara keseluruhan ketimpangan pembangunan manusia masih ditemukan baik antarindividu, antargender, antardimensi, maupun antarwilayah.
Peningkatan kualitas manusia merupakan poin pertama dari sembilan misi presiden Joko Widodo dan wakil presiden Ma’ruf Amin dalam upaya meneruskan jalan perubahan untuk mewujudkan Indonesia Maju yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian berlandaskan gotong royong.
Salah satu poin yang ditawarkan untuk mendukung misi peningkatan kualitas manusia Indonesia adalah mempercepat gerakan literasi masyarakat dengan memperbanyak perpustakaan dan taman-taman baca, serta pemberian insentif bagi industri perbukuan nasional.
Dari data Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Indonesia menduduki peringkat kedua dengan jumlah perpustakaan terbanyak di dunia. Sebaran perpustakaan di wilayah Indonesia ialah 47,79% berada di Jawa, 23,45% di Sumatera, 11,52% di Sulawesi, 8,47% di Nusa Tenggara, 6,67% di Kalimantan, dan 0,4% di Papua. Dari total perpustakaan sebanyak 164.610 unit, terdapat perpustakaan umum 42.460 unit, perguruan tinggi 6.552 unit, khusus 2.057 unit, dan sekolah 113.541 unit.
Walaupun demikian, pemerataan gerakan literasi di berbagai daerah nampak tidak sangat signifikan dan beriringan dengan tingkat kegemaran membaca anak bangsa.
Berdasarkan data 2018 dari hasil survei Perpusnas, indeks kegemaran membaca di Indonesia berkisar 52,92 atau masuk kategori sedang.
Hal itu berdasarkan tiga parameter, yakni frekuensi membaca per minggu, durasi atau intensitas membaca dalam sehari dan banyaknya bacaan selama tiga bulan terakhir. Angka indeks tersebut tentunya masih sangat perlu ditingkatkan berhubung ketersediaan bahan bacaan yang terbilang cukup banyak saat ini. Selain itu juga gerakan literasi seharusnya dilakukan lebih massif dan merata di berbagai pelosok daerah Indonesia.
Adapun regulasi yang turut mendorong gerakan literasi terlihat dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan, pada pasal 4 butir c, mengatakan bahwa tujuan penyelenggaraan sistem perbukuan adalah untuk menumbuhkembangkan budaya literasi seluruh Warga Negara Indonesia.
Selain itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, yang kemudian menggiatkan program Gerakan Literasi Nasional (GLN) serta pembiasaan membaca selama 15 menit sebelum belajar.
Perpusnas sebagai lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK), juga terus melakukan inovasi layanan dan membangun seluruh jenis perpustakaan sebagai fasilitas akses informasi dan ilmu pengetahuan. Tujuannya untuk meningkatkan budaya literasi masyarakat.
Perpusnas hadir untuk memberikan layanan kepada masyarakat agar dapat meningkatkan kegemaran membaca, serta memperluas wawasan dan pengetahuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal itu sejalan dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.
Dalam regulasi tersebut ditekankan bahwa masyarakat memiliki hak yang sama untuk memperoleh layanan, berikut memanfaatkan dan mendayagunakan fasilitas perpustakaan. Sayangnya ketersediaan program, layanan dan fasilitas, baik dari Kemendikbud maupun Perpusnas sejauh ini belum memperlihatkan peningkatan yang sangat signifikan untuk kemajuan literasi anak bangsa.
Dalam hasil survei Programme for International Assessment (PISA) 2018, yang dirilis The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), menunjukkan kemampuan membaca siswa tanah air turun dari skor 397 pada tahun 2015, menjadi 371 pada 2018. Skor itupun masih jauh di bawah rata-rata, yakni 487.
Bahkan hanya 30 persen dari total responden siswa Indonesia yang mencapai kemahiran membaca level dua, yaitu kemampuan mengidentifikasi ide utama dalam teks sedang dan panjang.
Pengukuran kemampuan literasi yang dilakukan oleh PISA ini bukan hanya sekadar membaca semata. Tetapi bagaimana juga memahami teks untuk memecahkan masalah kontekstual. Keterampilan seperti itu bisa didapatkan oleh siswa yang dilatih nalar kritisnya, dan tentu diperlukan tenaga pendidik yang juga memumpuni terhadap aktivitas literasi itu sendiri.
Dalam hal ini gerakan literasi berlaku dalam pendidikan formal maupun informal. Membaca pun saat ini tidak selalu hanya terpaku pada bacaan buku cetak, terdapat berbagai bahan bacaan dalam bentuk digital yang turut menjadi bagian dari literasi saat ini. Karena itu, pentingnya penyesuaian paradigma belajar serta dukungan sistem pendidikan yang lebih kompatibel dengan keadaan masyarakat dan perkembangannya.
Laporan hasil survei PISA ini menjadi cambukan bagi dunia pendidikan tanah air. Hal itupun mendapatkan tanggapan serius dari Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang di-awal masa jabatannya menjadi perbincangan publik dengan empat kebijakan baru sebagai bentuk terobosannya.
Dilansir dari pemberitaan Media Indonesia, Ia mengakui bahwa Indonesia saat ini sedang mengalami krisis literasi. Ini merupakan permasalahan serius yang mana seluruh pemangku kepentingan di semua jenjang sistem pendidikan perlu turut berperan dalam peningkatan literasi. Sayangnya, gerakan literasi hanya dapat bernafas lega dalam skema para pemangku kepentingan di kalangan pemerintah semata. Padahal terdapat banyak penggerak dan komunitas masyarakat yang tersebar di berbagai daerah, yang juga dapat mengambil peran penting dalam upaya peningkatan literasi serta pemerataan akses pendidikan.
Elaborasi dalam upaya peningkatan literasi yang dilakukan pemerintah nampak memberikan hasil pencapaian yang masih jauh dari harapan. Hal tersebut tentu perlu perhatian penuh dari seluruh pemangku kepentingan, baik di kalangan pemerintahan maupun masyarakat itu sendiri sebagai sistem sosial yang memiliki hubungan integral dalam menjalankan proses pendidikan untuk peningkatan kualitas hidupnya. **
Sumber: Agung Ramadhan/Pemerhati Isu Sosial