Membangun Mal Di saat Mal Mal di Jakarta Mulai Sepi !!
ERA 4.0 digital tak terasa sudah akan pindah menjadi 5.0 beberapa tahun ke depan. India sudah mulai akan memasarkan mobil terbang, dunia akan mulai masif memasarkan mobil listrik. Sebuah energi terbarukan lewat bahterai charger. Kereta cepat Jakarta-Bandung sedikit lagi akan banyak membantu tehnologi komunikasi dan transportasi melengkapi perubahan dunia.
Mal mal dan ritel dunia serta di Indonesia mulai peras otak menangkap perubahan teknologi komunikasi informasi. Sejumlah ritel dan tanent nasional, internasional mulai berbisnis tanpa ruang. Tanpa waktu. Dikendalikan dari ruang ruang tak terlalu mewah, tidak butuh interior yang tiap waktu disegarkan. Cukup ruangan kecil, nyaman, IT lengkap, dan komunikasi via gadget no limit jaringan.
Gimana Omsetx? Bisa dua kali omset bisnis ‘buka lapak tradisional’ di mal mal. Jadi tenant mal mal mewah. Mana sewa gedung, listrik, interior, padat karyawan dan biaya operasional lainx melejit. Kalau buka ‘lapak’ secara E-Commerce jauh lebih moncer, cepet, nga ribet, efektif, irit biaya operasional, dan biaya sewa ruangan di mal, biaya karyawan bisa ditekan sampai 50 persen. Pokokx super hemat dan hebat moncer hingga tiga kali lipat.
Mal mal di Jakarta dan Surabaya kini mulai kena imbasx. Sepi. Klo pun rame pengunjung biasa mengunakan sbg refresing, wisata mal, nonton bioskop. Klo belanja trenx pasti nurun hampir 50-60 persen.
Kondisi ini sisa menunggu waktu kapan Mal akan menjadi gedung megah tanpa profit? Makin lama makin lunglai? Perlukah Mal mengelaborasi dirix dari konsep belanja menjadi sebuah ruang yg dapat menyedot profit?
Di sisi lain Mengapa justru di Palu akan dibangun Mal dengan lantai tujuh dengan konsep yang mungkin juga masih seperti mal mal konvensional di Jakarta dan Sursbaya? Apa tidak mencerna perkembangan dan perubahan degradasi omset Mal? Apakah ini wajar bila akan diteruskan dibangun? Mari kembali mencatat dengan kritis niat tersebut. **
Oleh: Cak Andono Wibisono