POLITIK Sebagai alat merebut kekuasaan tak cukup direpresentasikan partai politik saja. Terlebih ketika kontestasi politik membutuhkan kosmetik dan dandanan citra dan aroma diri untuk politisi. Pada titik ini muncullah peran-peran sub ordinasi politik formal yang menjadi sayap pemenangan di event politik apapun. Termasuk Pemilihan Presiden hingga pemilihan kepala desa secara langsung. Dialah relawan relawan politik yang senantiasa 24 jam menjaga, meramu komoditas politik di sekitarnya.
Belajar dari demokrasi langsung yang katanya ‘pancasila’ di Indonesia pasca reformasi, kita tak bisa menampik peran sukses relawan. Bahkan banyak kasus relawan relawan lebih masif, terstruktur dan masif dibandingkan partai politik pengusungnya.
Peran relawan memang di sayap kiri kanan luar. Ada ruang ruang yang resisten parpol masuki, akan mudah dipenetrasi kelompok kelompok relawan. Ia lentur, elastis tapi masif dan fanatik. Pendeknya, Relawan itu radikal.
Tahun 2017 akhir, saya pernah didatangi seorang mahasiswa pasca sarjana untuk mengambil S2 di Unhas. Ia tertarik dengan pola-pola relasi politik yang terjadi pada Pemilihan Wali Kota Palu 2015 lalu. Saya pun menjadi responden.
Sebagai relawan, tentu kemenangan yang diperjuangkan sudah pasti sebuah suka cita. Sebuah prestasi politik tiada tara bandingnya. Simbiosis mutualisme pun dalam politik diharapkan akan menjadi bangunan kokoh selama kekuasaan direbut. Relawan akan menjadi dan memperoleh jasa politik bukan barang baru. Mulai proyek, jabatan sampai kebijakan.
Secara kontektual bahwa relawan ada dua. Pertama; relawan sepenuh hati dengan jiwa progresif, militan bahkan radikal. Biasanya relawan type ini tak berkeinginan muluk muluk. Dihargai dan selalu diajak komunikasi dalam mengisi kekuasaan itu sudah bahagia. Jabatan dan uang bukan tujuan utama begitu dah pendeknya.
Kedua; ada juga Relawan Progresif Profesional. Relawan ini dikenal dalam dunia nyata type modern. Timx menguasai IT, agiprop di dunia maya dan nyata, masif, sistematis kerjanya tapi profesional. Ia jelas ‘bayaranx’ jelas taksasinya. Karena isinya para profesional, biasanya setelah tugas selesai mereka tak butuh apapun. Kecuali ada kontrak baru.
Berbagai fakta event politik yang sering menyisahkan sendu pilu adalah nasib relawan radikal yang tak kebagian kue kekuasaan. Aksesnya dibatasi, mulai kurang dipeduli bahkan sudah dibatasi kawat berduri ingin ketemu yang ‘menang dari sanjung puji’
Tak banyak di beberapa daerah, Relawan Radikal balik menjadi oposisi. Balik jadi Pembenci. Mulai ungkit sana sini. Padahal, hanya sisa nasi kekuasaan yang dicari. Mirip sebuah lagu dangdut ‘Jaran Goyang’ 🎼Apa salah dan dosaku sayang, hingga cintaku kau buang buang 🎼
Tahun 23 September 2020 mendatang, akan ada Pilkada serentak di Indonesia. Mulai memilih gubernur, bupati hingga Wali Kota di negeri ini. Menjadi relawan memang regulasinya masih longgar dan mudah. Kemudahan inilah biasanya menjebakkan diri pada kamuflase politik ‘seolah olah’ orang berjasa.
Partisipasi publik di event politik salah satunya manifestasi tumbuh suburnya relasi relasi politik partisan berwujud relawan/relawati di lapangan. Tapi, kadang ekspektasi politik relawan dan janji politik sang pemenang bagai ‘Pungguk Merindukan Bulan’.
Oleh: Andono Wibisono