Penulis : Madaniatuzahro Mahasiswi kedokteran Untad | editor : admin
PALU- Fenomena child grooming kini menjadi ancaman nyata di tengah derasnya arus digital. Pelaku—orang dewasa dengan niat jahat—secara aktif membangun kedekatan emosional dengan anak-anak demi mengeksploitasi mereka secara seksual, emosional, dan psikologis.
Di era digital, para pelaku memanfaatkan berbagai platform seperti game online, Instagram, TikTok, hingga Telegram.
Mereka menyamar sebagai teman sebaya, lalu merayu dengan pujian, perhatian, dan hadiah. Anak-anak yang belum mampu berpikir kritis danmembedakan mana yang aman dan berbahaya pun mudah percaya. Mereka merasa dicintai, dihargai, dan dilindungi, padahal kenyataannya mereka sedang dijebak.
Kasus child grooming tidak pandang bulu. Anak laki-laki maupun perempuan, dari berbagai usia, bisa menjadi korban. Dalam banyak kasus, korban bahkan tidak menyadari bahwa mereka sedang dimanipulasi. Rasa percaya yang tumbuh terhadap pelaku justru menjadi pintu masuk utama terjadinya pelecehan.
Orang tua memegang peran utama dalam pencegahan. Mereka harus aktif mengawasi aktivitas digital anak, memahami platform yang digunakan, serta menjalin komunikasi terbuka.
Anak-anak membutuhkan pendampingan saatberselancar di dunia maya, karena mereka belum mampu menyaring konten atau interaksi yang membahayakan diri mereka.
Pemerintah pun tidak boleh tinggal diam. Negara harus menunjukkan keberpihakan terhadap perlindungan anak dengan menindak tegas pelaku child grooming.
Pemerintah perlu menerapkan hukuman berat, memperkuat keamanan digital nasional, serta mewajibkan platform digital menerapkan sistem perlindungan yang ramah anak.
Child grooming bukan sekadar isu digital, melainkan kejahatan serius yang mengancam masa depan generasi bangsa.
Jika kita gagal melindungi anak-anak hari ini, kita akan menuai generasi yang rusak secara emosional dan sosial. Karena itu, orang tua, masyarakat, dan negara harus bersatu membangun ruang digital yang aman, sehat, dan mendidik.