Pemisahan Pemilu: Jalan Pulang bagi Demokrasi yang Kelelahan

  • Whatsapp

Oleh: Sigit Wibowo


Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 26 Juni 2025 tentang pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah layak dikenang sebagai titik balik penting dalam sejarah reformasi demokrasi elektoral Indonesia. MK menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah harus dilakukan paling cepat dua tahun dan paling lambat dua setengah tahun setelah pelantikan presiden dan anggota DPR/DPD. Di atas kertas, ini tampak sebagai perubahan teknis penjadwalan. Namun pada hakikatnya, ini adalah momen korektif yang membawa kembali akal sehat ke jantung demokrasi kita.

Putusan ini juga mengabulkan sebagian permohonan uji materi yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Mereka menyoroti beban berat model pemilu serentak lima kotak. Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Sistem ini terbukti menyumbat ruang kaderisasi partai politik, mempersempit kualitas kontemplasi politik rakyat, dan mendorong partai terjebak dalam praktik pragmatis: mencalonkan kandidat populer dan bermodal besar ketimbang figur hasil kaderisasi jangka panjang.

Saya sendiri sangat mencermati bagaimana proses Pemilu, Pilpres, dan Pilkada serentak tahun 2024 berlangsung. Dalam kapasitas sebagai warga negara yang aktif mengikuti proses politik, bagaimana Pemilu 2024 menjadi bukti konkret kegagalan desain sistem serentak ini. Dalam satu tahun, rakyat dipaksa melalui dua kontestasi politik besar: Pilpres pada Februari, dan Pilkada pada akhir November. Masyarakat disodori daftar calon yang panjang, kebingungan memilah, dan lelah mengikuti.

Para penyelenggara pun tumbang oleh beban kerja yang tak manusiawi Berdasarkan data KPU RI, Pemilu Tahun 2024 tercatat 181 petugas pemilu meninggal dunia, dan lebih dari 4.700 lainnya jatuh sakit. Ini bukan sekadar masalah teknis manajemen, melainkan tragedi kemanusiaan. Demokrasi tidak boleh ditebus dengan nyawa.

Pemisahan pemilu bukanlah kemunduran, melainkan langkah rasional untuk menyelamatkan kualitas proses elektoral. Pilpres dan Pileg nasional memiliki dinamika tersendiri, dengan intensitas politik tinggi dan tekanan polarisasi yang berat. Menyusulnya dengan Pilkada dalam rentang waktu sempit justru mengaburkan isu-isu lokal yang semestinya mendapat panggung tersendiri. Dengan pemisahan waktu, masyarakat bisa menilai calon kepala daerah secara lebih kontekstual, bukan sekadar terbawa arus nasionalisme elektoral.

Pemisahan ini juga memberi ruang hidup lebih luas bagi politik lokal. Dalam konteks geopolitik daerah dengan keragaman etnis, sejarah konflik, dan ketimpangan wilayah pilkada harus mampu menangkap dinamika lokal yang spesifik. Pemimpin daerah idealnya bukan hanya populer, tetapi benar-benar memahami denyut nadi daerah yang ia pimpin. Jika momentum politik daerah terlalu melekat pada suasana nasional, kepentingan lokal cenderung terpinggirkan.

Lebih jauh, sejarah demokrasi Indonesia mencatat betapa rivalitas politik yang tidak dikelola dengan baik dapat menciptakan luka sosial jangka panjang. Rivalitas nasional seperti antara Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono tak hanya membentuk peta politik nasional, tetapi juga membelah konstituen hingga ke akar rumput. Hal serupa juga terjadi dalam rivalitas dua tokoh besar kontemporer, Joko Widodo dan Prabowo Subianto.

Rivalitas antara Jokowi dan Prabowo mewarnai dua pemilu presiden berturut-turut, 2014 dan 2019. Bukan hanya pertarungan politik di tingkat elite, tetapi telah menciptakan polarisasi sosial yang akut. Publik terbelah dalam dua kubu: “cebong” yang mendukung Jokowi, dan “kampret” yang mendukung Prabowo. Polarisasi ini tidak hanya hidup di ruang debat politik, tetapi juga menyebar ke dalam obrolan keluarga, grup media sosial, hingga tempat ibadah. Butuh waktu bertahun-tahun untuk meredakan ketegangan ini.

Rivalitas semacam ini menunjukkan bahwa jeda waktu dalam kontestasi politik tidak hanya soal teknis, tapi menjadi ruang penting bagi rekonsiliasi sosial. Pemisahan pemilu memberi kesempatan agar masyarakat tidak terus-menerus hidup dalam mode kampanye dan konflik. Ada waktu untuk mendinginkan suasana, menyembuhkan luka, dan membangun kembali kesadaran kolektif sebagai sesama warga negara.

Namun demikian, pemisahan pemilu juga melahirkan persoalan baru yang tak bisa diabaikan, masa jabatan kepala daerah. Jika pilkada dijadwalkan dua tahun setelah pemilu nasional, maka akan ada konsekuensi konstitusional dan administratif terkait berakhirnya masa jabatan gubernur, bupati, atau wali kota yang sebelumnya dipilih secara serentak. Dalam masa transisi tersebut, akan terjadi kekosongan jabatan kepala daerah yang harus diisi oleh penjabat (Pj). Masa jabatan yang panjang tanpa mandat rakyat berpotensi menciptakan defisit demokrasi dan membuka ruang dominasi politik pusat atas daerah.

Selain itu, ada pula dampak signifikan terhadap alokasi anggaran negara dan daerah. Menyelenggarakan dua pemilu besar dalam dua tahun berbeda tentu memerlukan dua kali penganggaran. Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus menyesuaikan ulang skema fiskalnya. Kebutuhan logistik, pengamanan, infrastruktur teknologi informasi, hingga honorarium penyelenggara harus dialokasikan ulang dalam dua termin besar. Bagi daerah-daerah yang bergantung pada transfer pusat, ini berpotensi menekan belanja publik lain seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.

Risiko ini semakin besar jika tidak ada integrasi dan sinergi dalam perencanaan anggaran antara pemerintah pusat dan daerah. Keterlambatan pengesahan anggaran atau tarik-menarik kewenangan bisa mengganggu tahapan pilkada itu sendiri. Oleh karena itu, selain penyesuaian UU, diperlukan pula kebijakan fiskal khusus yang menjamin ketersediaan dana secara tepat waktu dan transparan.

Tentu, semua tantangan ini bukan alasan untuk menolak perubahan. Sebaliknya, inilah momentum bagi negara untuk membangun desain pemilu yang lebih rasional, aman, manusiawi, dan efektif. Pemisahan pemilu perlu didampingi dengan perencanaan anggaran jangka menengah, reformasi birokrasi kepemiluan, dan edukasi politik yang lebih intensif kepada masyarakat.

Putusan MK ini membuka peluang untuk membangun demokrasi yang lebih sehat, lebih jernih, dan lebih manusiawi. Sebab demokrasi bukan soal siapa yang paling cepat memilih, tetapi siapa yang paling jernih berpikir. Bukan soal logistik dan elektabilitas, tetapi soal integritas dan kualitas. Jika dijalankan dengan visi jangka panjang dan desain kelembagaan yang tepat, pemisahan pemilu bisa menjadi jalan tengah untuk merawat republik yang lebih adil, inklusif, dan matang secara politik.

Kini, kita punya momentum untuk menata ulang cara kita berdemokrasi. Momentum untuk kembali menegaskan bahwa pemilu bukan sekadar prosedur, melainkan jalan untuk merawat Republik. Jangan kita sia-siakan.

Palu 27 Juni 2025

Berita terkait