Palu,- Bencana gempa, tsunami dan likuifaksi yang terjadi pada tanggal 28 September 2018 lalu mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan juga dampak psikologis.
Tercatat 1.636 jiwa meninggal akibat peristiwa tersebut, dan menurut data citra satelit yang di dapat dari Internasional Disaster Charter, kerusakan bangunan yang terjadi di kota Palu akibat gempa dan Tsunami tersebut mencapai 2.403 bangunan. Ini menyebabkan kelumpuhan kota palu dari berbagai aspek, tercatat sekitar 70.000 jiwa di tampung di pengungsian.
Dr H Sulbadana, SH, selaku Ketua Tim Laporan Penelitian Penugasan Untad, yang di anggotakan Rosdian SH, dan Hilda SH, Selasa (10/11/20), mengatakan, kota Palu telah lama masuk kejajaran kota yang memiliki potensi gempa sangat tinggi.
“Sehingga, kota ini dirasa harus memiliki tiga aspek dalam pembangunan kedepannya, antara lain yakni, aspek hukum, aspek penanggulangan bencana dan pembangunan berkelanjutan,” ujar Dr Sulbadana.
Menurutnya, prinsip kebijakan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development), yang merupakan salah satu prinsip hukum internasional yang sangat mendasar berkaitan dengan pelestarian lingkungan hidup dan pembangunan.
Konsep pembangunan berkelanjutan, kata dia, pertama kali diperkenalkan pada tahun1987 oleh Komisi Dunia tentang lingkungan dan pembangunan, yaitu World Commission on Environment and Development (WCED) melalui laporannya yang bejudul Our Common Future (masa depan kita bersama).
Dalam Our Common Future, lanjutnya, ditegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan masa kini, tanpa mengorbankan kemampuan generasi akan datang untuk memenuhi kebutuhannya.
“Dengan demikian, konsep pembangunan berkelanjutan intinya adalah keadilan dalam memanfaatkan sumber daya alam, dengan tetap memperhatikan kebutuhan generasi yang akan datang,” sebutnya.
“Pasca bencana di Kota Palu, tentunya Pemerintah Daerah berupaya membuat kebijakan untuk memulihkan segera keadaan, baik pembangunan fisik, berupa sarana dan prasarana maupun non fisik atau sosial,” lanjutnya.
Dr Sulbadana juga menjelaskan, penanggulangan bencana merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, yaitu serangkaian kegiatan penanggulangan bencana sebelum, pada saat maupun sesudah terjadinya bencana.
Ia menganggap sering terjadi bencana hanya ditanggapi secara parsial oleh pemerintah. Bahkan bencana hanya ditanggapi dengan pendekatan tanggap darurat. Pemerintah pusat bahkan lebih utamanya pemerintah daerah, bertanggungjawab penuh terhadap penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi fokus rekontruksi dan rehabilitasi dari pascabencana.
“Olehnya, hukum dituntut untuk hadir dalam rangka memberikan keadilan, kamanfaatan dan kepastian bagi masyarakat,” tutupnya. ***
Reporter: Yohanes Clemens