PAKET Hemat, ayam bakar, ayam krispi dan ayam goreng plus nasi ditambah segelas teh manis dingin. Cukup rogoh kocek Rp17 ribu. Cukup kenyang. Jurus itu dilakukan, sebut saja oleh Ram (31) dan istrinya membuka usaha warung makan tepat di sebuah masjid terkenal di Kota Palu.
Ia sengaja memutar strategi jual di masa pandemi karena sepinya konsumen bila menjual nasi ayam di atas Rp20 ribuan. ‘’Jadi saya padukan asal tetap masuk biaya operasional dan modal. Tidak rugi lah istilahnya,’’ terangnya polos.
Menurut Ram, ia harus bertahan berjualan guna membayar rentenir sebuah koperasi simpan pinjam. Sehari Ram wajib menyetor Rp150 ribu ke penjemput yang datang ke warungnya. Karena Anak Medan ini telah memimjam modal ke koperasi itu sebesar Rp3 juta.
‘’Pinjam tiga juta rupiah. Terima hanya tidak sampai tiga juta. Tiap hari harus bayar 150 ribu sampai 30 kali,’’ ceritanya dengan wajah sedih ke saya. Total ia harus mengembalikan Rp4,5 juta atau bunga 50 persen dari koperasi rentenir beralamat di Palu Barat itu.
Bagi Ram, kalau jualan ramai ia juga belum dapat menikmati hasilnya. Penyebabnya untung kadang hanya bisa membayar rentenir setiap hari. ‘’Kalau sudah kehabisan uang pembeli ayam atau beras, terpaksa tutup sehari. Susah saya, bagaimana bisa keluar dari koperasi ini Om,’’ ujarnya memelas di depan saya yang sedang menyantap ayam bakar rica dan es teh manis suguhannya.
Ram berharap pemerintah atau ada pihak yang mau menjadi pemodal usahanya. ‘’Menyuntikkan modal ke warung saya ini dan tiap bulan saya beri keuntungan. Sambil modal pelan – pelan saya kembalikan Om. Dimana ya bisa mencarinya,’’ akunya sambil menambahkan ia butuh modal Rp15 – 20 jutaan saja.
Di sisi lain, Jumat pekan lalu masjid depan ‘warung terlilit rentenir’ itu mengumumkan celengan dari jamaah masjid senilai seratusan juta rupiah lebih. Rata – rata pendapatan masjid dari jamaah setiap pekan 5-9 jutaan rupiah. Bila ramadhan bisa capai 15 jutaan tiap pekan.
Saya ingat sebuah masjid di sebuah kota di Jawa Timur yang terkenal dengan ‘kas masjid NOL’ seluruh hasil celengan atau sedekah jamaah habis dibelanjakan untuk makan gratis setiap hari, bayar guru mengaji anak – anak, membantu musafir yang singgah di masjid hingga membangun mes tempat tinggal sementara bagi jamaah luar daerah. Karena manajemen pengurus yang cerdas dengan terobosan ‘tak biasa’ justeru membuat jamaah makin rajin menyisihkan sedekah dan bantuan ke masjid itu. Walhasil, cara masjid itu ditiru beberapa masjid di Indonesia.
Zaman rosululloh SAW, masjid adalah solusi umat. Hidup dan menghidupkan umat. Hidup dari umat yaitu dari kepedulian jamaah tentang program, strategi dakwah dan memberikan dampak pada lingkungan sekitar masjid. Jamaah pun makin menaruh harapan dengan sedekahnya dapat menjadi amal jariyah dihadapan Allah SWT.
Masjid tidak bisa dijadikan ladang hidup bagi pengurus atau jamaahnya. Masjid bukan usaha dagang. Bukan pula warisan dari satu oligarki ke oligarki lainnya. Sangat memalukan bila masjid di era serba bisa ‘mencontoh dengan mudah’ masjid yang sukses membangun keumatan, justru menjebakan diri melakukan pembiaran lingkungan sekitarnya dalam kedholiman riba, misalnya seperti yang dialami Ram saat ini.
Palu pasca bencana alam dahsyat tiga tahun lalu dan disusul pandemi Covid 19, membuat benar – benar warganya terpuruk. Sulitnya permodalan dialami sejumlah UMKM. Bantuan pemerintah pusat kepada UMKM Rp2,4 juta tak menjangkau semua. ‘’Saya ajukan juga itu tapi sampai sekarang tidak terima Om. Kalau ditanya ke BRI disuruh suruh sabar saja,’’ jelas Ram.
Nasib UMKM seperti Ram mungkin banyak di Palu. Ada di pasar – pasar tradisional seperti Masomba dan pasar tradisional Manonda Inpres. Sementara para penebar hutang riba melihat ‘kesulitan modal’ sebagai pangsa pasar empuk.
Di sisi lain masjid sebagai rumah ibadah umat belum melakukan dakwah sebagaimana yang diajarkan rosululloh SAW. Pemerintah juga masih terjebak pada program – program populer yang kasat mata. Membangun infrastruktur jalan, pasar, sekolah dan sarana kesehatan. Namun penguatan kelembagaan dan permodalan yang tidak nampak dianggap tak akan bisa populer dan viral untuk mengeruk investasi politik di masa depan. ***
Oleh : andono wibisono