Kehidupan para Penyintas bencana gempa, tsunami, dan likuifaksi, di Kota Palu, Sigi dan Donggala (Pasigala) sudah memulai titik balik. Hal itu dituturkan warga ketika media mencoba menggali lebih dalam bagaimana kondisi mereka saat ini tiga tahun berlalunya gempa 28 September silam.
Marten, 58 tahun, sudah setahun lebih ditempatkan di Hunian Tetap (Huntap) Tondo. Sebelumnya ia beserta istri hanya tinggal di hunian sementara dengan bilik-bilik yang kecil dan fasilitas seadanya. Ia menjadi korban dan saksi hidup betapa ganasnya Likuifaksi yang mengobok-obok rumahnya di wilayah Petobo.
Eli, 59 tahun, bercerita bagaimana kehidupannya sehari-hari setelah tinggal di Huntap Pombewe. Tinggal di hunian yang layak sepertinya belum cukup berpengaruh untuk memperbaiki nasibnya. Kehidupannya masih serba kekurangan, ia dan suaminya belum memiliki pekerjaan.
Nasrizal, 47 tahun, yang ditemui kala berbincang-bincang bersama para penghuni Huntap Tondo lainnya bercerita bagaimana mereka mengeluhkan sarana-prasarana Huntap mereka yang belum rampung sepenuhnya.
Ibu Arya, 58 tahun, berkeluh-kesah tentang kehidupannya yang masih tinggal di hunian sementara (Huntara) Dayodara. Ia adalah penyintas yang menerima dana stimulan Rp. 5 Juta sebagai pengganti bantuan huntap.
Kota Palu Pasca Bencana
Hari ini, tepat 3 tahun silam gempa bumi meluluhlantakkan kota Palu, juga Kabupaten Sigi dan Donggala (Pasigala). Gempa 7,4 SR itu, melalui sebuah patahan yang dikenal sesar Palu Koro, dahsyatnya gempa turut mengakibatkan terjadinya Tsunami yang menghantam kawasan teluk Palu. Selain itu, bencana yang tidak pernah terjadi sebelumnya, bahkan tidak pernah terbayangkan oleh para peneliti bakal terjadi, yakni fenomena Likuifaksi terjadi di daerah ini.
Bayangkan saja 3 Desa di kawasan kabupaten Sigi dan Kota Palu hilang tenggelam oleh tanah yang mencair. Desa Jono Oge, Petobo, dan Balaroa hilang seperti halnya karpet dirakit, sebuah fenomena yang sulit diterima akal. likuifaksi tanah merupakan keadaan hilangnya kekuatan tanah, sebaliknya, tanah yang tadinya padat menjadi mudah bergeser. Fenomena ini terjadi pada tanah yang mengandung banyak air, kemudian terdampak gelombang seismik ketika gempa bumi terjadi.
Kini, 3 tahun berlalu, Kota Palu tampaknya mulai berbenah dan tidak ingin terus berlarut-larut dalam keterpurukan akibat bencana. Dari sisi ekonomi, geliat bisnis mulai terlihat, meskipun sedikit tertutupi akibat diterpa pandemi covid-19.
Pembangunan dan perbaikan infrastruktur pasca bencana terus dilakukan, ini menjadi langkah penting untuk digalakkan, guna memulihkan kembali objek-objek vital yang diporak porandakan bencana gempa silam.
Jalan-jalan, jembatan, kantor-kantor Pemerintah, dan hunian bagi para penyintas menjadi prioritas utama Pemerintah untuk saat ini. Rehabilitasi dan rekonstruksi di Palu sangat diperlukan tidak hanya sekedar membangun kembali infrastruktur yang rusak, tetapi sebagai upaya untuk membangun kembali Kota Palu dan Masyarakatnya yang lebih tangguh terhadap bencana.
Kehidupan Penyintas di Huntap/Huntara 3 Tahun Pasca Bencana
Tiga tahun berlalu, sejak menghilangnya rumah tempat tinggal para penyintas bencana gempa, tsunami dan likuifaksi. Kehidupan Masyarakat mulai kembali normalnya dengan sudah mendapatkan hunian tetap maupun hunian sementara dan memulai kehidupan baru di lingkungannya saat ini, tidak dan belum bisa sepenuhnya menghapus ingatan dari salah satu penyintas bencana kala itu.
Ibu Eli dengan pertolongan tuhan, akunya dan juga usaha yang ia lakukan sehingga bisa membuatnya terus bertahan sampai saat ini, dan ternyata dirinya masih terus mengingat ingat kejadian dan betapa beruntungnya ia kala itu.
Jumat sore itu, warga kota Palu membanjiri pantai talise. Kota mereka baru saja berulang tahun ke-40. Mereka bersiap-siap menyambut hari pertama festival pesona Palu nomoni, yang dianggap sebagai acara seni dan budaya paling meriah di kota Palu. Berbeda dengan Ibu Eli yang sIbuk dengan harus membantu suaminya untuk persiapan dagang di sekolah keesokan harinya.
Dari siang memang sudah ada goyangan gempa, tapi Ibu Eli pikir memang cuma goyangan biasa. Tapi tepat jam 5:30 Ibu Eli seperti sudah mempunyai firasat, dan saat itu posisi ia sedang membantu Suaminya membEli tahu dan mencari gas untuk persiapan jualan esok hari di sekolah. Sewaktu keluar membEli gas tepatnya di tanggul Jono Oge tiba tiba motor yang dinaiki Ibu Eli bersama Suaminya bergoyang hebat, hingga membuat semua barang bawaan jatuh menimpa Ibu Eli.
Dengan semua tumpukan barang di badannya dan kebingungan Ibu Eli “kok kenapa kamu marah? kenapa sampe sampe kamu banting saya?!”.
Seketika ia bangun dan melihat motor motor yang ada di lapangan sudah terbanting tidak jelas arahnya “Ah ini sudah kiamat kecil mungkin” lanjutnya.
Pohon kelapa yang tangguh di mata Ibu Eli itu sempat terlihat miring sekali. Ia juga melihat oma oma dan opa opa yang dengan kesetiaannya saling bergandengan tangan dan saling menguatkan, meskipun dengan kejamnya guncangan tanah yang menghalangi langkah mereka untuk mencari keselamatan.
Dengan semua kejadian yang disaksikan dengan mata kepala Ibu Eli sendiri “Ya Tuhan kalau ini rencanamu, tolong jangan ambil nyawa saya dengan cara yang mengerikan…” dengan sadar gumamnya dalam hati. “Tuhan juga menguatkan perasaan saya dengan tidak diberinya rasa panik waktu itu” lanjutnya.
Sempat ingin berlindung di rumahnya, namun ternyata jalan untuk menuju kembali ke rumah dan jalan yang ada di depan Ibu Eli bersama suaminya berada sudah terbelah.
“Mau pulang ke rumah juga udah gak bisa”…
Sedangkan orang di lingkungan saya udah pada keluar semua, baju juga cuman yang di badan, jadi yaudah ikut rame aja sama temen-temen” ujar Ibu Eli,
“Jadi ayok yang warga jono sini jangan berpencar” imbuh salah seorang warga Jono Oge.
Ketika sampai di tempat yang dirasa aman, di situlah menjadi hunian sementara karena keadaan dan kondisi yang sangat darurat saat itu. Beberapa bulan berlalu, bersama dengan suaminya Ibu Eli di pindahkan ke huntara yang lebih layak dari sebelumnya yang hanya sebuah tenda menjadi huntara yang sudah memiliki atap.
“Dan walaupun kami belum ada lahan pekerjaan, Pemerintah masih bantu tapi kami juga berusaha yah walaupun ada bantuan” ujar Ibu Eli.
Jadi bagaimana caranya sebelum bantuan ini habis kami udah ada lagi.
“Kasian juga Pemerintah,! bukan cuman kami, yang diurus kan banyak. Jadi kami beraktivitas bagaimana caranya tapi tuhan juga bantu sampai nggak pernah kehabisan…” Imbuhnya.
Mata pencaharian dan usaha-usaha kecil Masyarakat yang terdampak ganasnya bencana Pasigala sudah mulai menunjukkan geliat yang positif. Meski begitu mereka tetap harus membutuhkan uluran dari Pemerintah. Untuk skala besar, sampai saat ini belum banyak pengusaha berani berinvestasi dan membuka lapangan pekerjaan di daerah tersebut pasca bencana.
Pemerintah tidak hanya harus memalingkan pandangannya pada pemulihan kembali infrastruktur dan perekonomian, lebih dari itu kehidupan para penyintas bencana menjadi hal yang jua tak kalah penting untuk diperhatikan saat ini, terutama bagi para penyintas yang kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian.
Penyediaan hunian tetap (Huntap) menjadi langkah utama yang harus dilakukan oleh Pemerintah dalam mensejahterakan kembali kehidupan para penyintas gempa yang kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian mereka.
Saat ini, penyediaan hunian tetap di beberapa lokasi (Tondo, Pombewe, dan Duyu) yang diprogramkan oleh Pemerintah sudah dalam tahap perampungan meski sebagian telah diisi oleh Masyarakat penyintas sejak setahun yang lalu.
Pengadaan Huntap ini sebagai bagian dari instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2018 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Gempa Bumi dan Tsunami di Provinsi Sulawesi Tengah dan Wilayah Terdampak Lainnya.
Penyediaan huntap sebagai bagian dari rekonstruksi pascabencana Kota Palu, Sigi, Donggala menjadi satu hal yang paling dinantikan oleh para penyintas bencana gempa Pasigala tiga tahun lalu. Hadirnya huntap bagi para penyintas menjadi jawaban dari doa dan harapan mereka untuk segera memiliki hunian yang layak setelah sebelumnya mereka ditempatkan di hunian sementara dengan kapasitas dan fasilitas yang seadanya.
Berbagai masalah harus dihadapi oleh para penyintas yang tinggal di Huntap, seperti belum rampungnya fasilitas dan sarana prasarana pendukung di huntap seperti air bersih, tempat ibadah, dan sebagainya.
“Masalah yang kami hadapi sekarang ini paling besar di fasilitas yang belum lengkap, terutama masalah ketersediaan air dan tempat ibadah” jelas Nasrizal (47) salah satu penyintas yang ditempatkan di Huntap Tondo.
Namun dari sekian masalah yang ada, problem yang paling banyak dihadapi oleh sebagian besar Masyarakat penyintas yang berada di huntap saat ini adalah lapangan pekerjaan.
“Saya sangat bersyukur sudah diberikan hunian ini oleh Pemerintah, tapi biar bagaimana bagusnya tempat ini, kalau tidak punya mata pencaharian kita akan susah juga jadinya. Dulu sebelum gempa, saya jualan jajanan di SD, habis itu bantu suami kerja diladang kalo sudah pulang. Sekarang… cuma begini-begini saja hidup di huntap, suami saya sekarang kerjanya tidak menentu, kadang pigi mendulang di tambang Poboya, kadang kerja-kerja di huntap kalau ada yang panggil. Cukup tidak cukup asal bisa makan ” curhat Bu Eli sambil berkaca-kaca mengenang kehidupannya sebelum bencana di Desa Jono Oge.
Problem ini tentu menjadi masalah serius yang harus diselesaikan oleh Pemerintah. Alih-alih hanya menyediakan hunian tanpa memikirkan jalannya roda perekonomian bagi Masyarakat, Pemerintah tentu harus memberikan solusi bagi para penyintas yang kehilangan mata pencahariannya.
Selain Pemerintah, ada banyak pihak yang tergerak untuk membantu permasalahan yang dihadapi oleh Masyarakat penyintas bencana Pasigala, salah-satunya yakni NGO (Non Goverment Organization) yang banyak hadir membantu mereka para penyintas.
Salah satu lembaga swadaya Masyarakat yang gencar memberikan pendampingan kepada Masyarakat terdampak bencana yang menyuarakan haknya ialah Celebes Bergerak. Celebes Bergerak menciptakan beberapa serikat atau organisasi Masyarakat yang disebutnya Masyarakat bergerak di berbagai tempat terdampak. Advokasi dan pendampingan menjadi prioritas utama bagi Celebes Bergerak untuk dapat membantu mewujudkan dan mendapatkan hak-hak Masyarakat.
Selain itu ada Jaringan Mitra Kemanusiaan LBH-APIK yang terus turun memberikan program pemberdayaan kepada Masyarakat penyintas yang tinggal di huntap.
“Selain batuan-bantuan material untuk tanggap bencana Pasigala yang lalu, kita masih terus bergerak untuk bisa memberdayakan Masyarakat khususnya wanita dan anak-anak penyintas yang sekarang tinggal di hunian tetap” Ungkap Nining selaku Direktur LBH-APIK Sulteng.
Kota dan Masyarakat yang Tanggap Bencana
Selain rekonstruksi kembali ekonomi, pembangunan, dan kehidupan para penyintas bencana, hal yang juga tak kalah penting digalakkan oleh Pemerintah dalam menyikapi tiga tahun pasca-bencana ialah membentuk wilayah dan Masyarakat yang tanggap bencana atau mitigasi bencana yang tangguh.
Membentuk komunitas Masyarakat yang tanggap bencana merupakan satu keharusan yang perlu dicanangkan oleh Pemerintah saat ini.
Letak geografis Palu, Sigi, dan Donggala yang berada di atas patahan Palu Koro membuat wilayah ini menjadi daerah yang rawan bencana. Oleh karena itu semua pihak baik Pemerintah maupun Masyarakat secara bersama sama melakukan upaya baik pada pra-bencana, saat bencana maupun pasca bencana sehingga mampu meminimalisir korban baik benda maupun nyawa manusia. Demikian diungkapkan Andi Sembiring, Kepala Bidang Kedaulatan Logistik BPBD Sulteng, saat ditemui pada Selasa (21/09/2021).
Andi menjelaskan bahwa program mitigasi bencana di Sulawesi Tengah masih sangat minim.
“Mitigasi saat ini masih kurang sekali,! boleh dicek semua mitigasi itu hanya bersifat sosialisasi, workshop, tidak ada bersifat bagaimana cara mengatasi bencananya, manusianya, dan komandonya.!” ungkap Andi.
“Beberapa Kali bencana tidak pernah dIbuat sistem komando penanganan darurat bencana… Semoga kedepan kita lebih fokus lagi untuk mitigasi penanganan bencana…karena kita tidak tahu kapan bencana itu akan datang, Saat ini banyak kegiatan yang tidak memikirkan mitigasi nya terlebih dahulu…”
“Saat ini BNPB mengeluarkan konsep pentahelix dimana Media, perguruan tinggi, lembaga Pemerintah, dan Masyarakat harusnya bersatu dalam Menangani bencana.!” lanjutnya.
Pentingnya mitigasi bencana tidak hanya sebatas melalui pembangunan fisik, tapi juga meningkatkan kemampuan Masyarakat yang tanggap bencana. Disinilah peran Pemerintah dan Masyarakat sangat diperlukan dalam meningkatkan pemahaman Masyarakat yang tanggap bencana. Agar dikemudian hari jika kejadian serupa tiga tahun lalu kembali terjadi, Masyarakat sudah siap akan hal itu. ***
Jurnalis Magang : Fredi, Razly, Novitariana