Penyematan KH (kiai) di depan nama bukan historikal formal yuridis. Lembaga apapun sebesar Majelis Ulama Indonesia tak pernah menyematkan KH depan nama seorang ulama. Lantas sematan itu dari mana? Julukan kiai sebagaimana latar belakang sosial kemasyarakatan seseorang.
Kalau di lingkungan dan kultur lembaga non formal misalnya pesantren di Jawa, maka pemilik dan pimpinan pondok pesantren dan sekaligus pengajarnya disebut masyarakat sekitar sebagai ‘kiai’ atau ‘Nyai’ Sematan itu bagi masyarakat sekitar tentu telah teruji dengan waktu, nilai – nilai, prilaku dan kehidupan keagamaannya, menguasai kitab gundul, fasih baca qur’an, hafal hadist dan seterusnya dan seterusnya.
Apabila ‘sematan’ Kiai dipindahkan dari definisi cultural dan sosial ke definisi formal maka tentu mesti berhati – hati. Termasuk rencana mendefinisikan ke peraturan daerah. Karena secara metodologis namanya definisi akan terus berkembang. Olehnya sangat berbahaya bila para pembuat peraturan tak mampu merumuskan dengan tepat definisi Kiai di Perda. Akan banyak pasti polemik.
Dimana subtansi dan urgensi mendefinisian ‘Kiai’ ke dalam sebuah Perda? Pentingkah sebutan Kiai mesti diseragamkan oleh formalitas regulasi di setiap distrik, kultur dan sosial kemasyarakatan di Sulteng? Bukankah tiap daerah memiliki kearifan sendiri menyebut seorang tokohnya. Atau mesti diseragamkan? Pasti muncul kerancuan dan keraguan. Mestinya draft – draft demikian mesti tenaga ahli dan pakar di DPRD berhati – hati.
Dalam catatan akhir, semestinya Raperda Pesantren yang memiliki tujuan sangat mulia, tak terjebak pada sebuah definisi yang nantinya bakal mengundang polemik, antipati dan prasangka politik yang efeknya kemana – mana. Karir politik seseorang bisa selesai bila hal sensitivisme yang berbau SARA tak mampu dikelola dengan mutakhir dan benar. Ingat sudah banyak contohnya di republik ini.
Semoga hujan pagi ini menjernihkan dan menyuplai oksigen kebaikan bagi pemikiran kita. Menyuplai oksigen keberpihakan pada pentingnya pengembangan dan pembangunan pesantren di masa mendatang. Bukan justru sebaliknya memindahkan seluruh habitat pesantren dalam bejana formalistik. Itu sama mencabut akar budaya sosial kultural kebangsaan Indonesia yang tumbuh sekian abad. ***