HINGGA Seruput terakhir kopi jahe merah, di dinding merayapi waktu 02.43 Wita. Teras rumah masih hangat dengan seloroh kawan aktifis dan beberapa adik liting di kampus dulu.
Setelah kesana kemari topik diceritakan dan didengar (belum tentu didengarkan) tiba – tiba seorang kawan menyoal rencana peraturan daerah terkait Pesantren di DPRD Provinsi Sulawesi Tengah. ‘’Apanya yang menarik? Toh pesantren itu bukan aturannya yang terpenting. Tapi kepeduliannya yang utama. Biar saja pesantren itu hidup dengan sosio dan culture masyarakat sekitarnya. Tugas pemerintah pesantren itu dipedulikan atau tidak, kan gitu,’’ celetuk saya.
Gimana kalau sebutan Kiai didefinisikan dalam Raperda Pesantren itu? Pancing lagi kawan lain. Akhirnya topik kiai dan pesantren saling diperdebatkan dan ditimpuk sana sini argumentasi. Semua pada memberi definisi. Ya era ilmu tehnologi berbasis digital seperti ini, civil society memiliki peran strategis dan sekaligus fatal bila tidak masuk memberi warna pada strategi kebijakan politik.
Kiai. Sebutan itu sejak orok pun biasa di telinga. Karena memang kampung kecil di sebuah Desa Socah Kabupaten Bangkalan Madura Jawa Timur dan sekitarnya banyak kaum alim ulama. Hingga sampai tepi garis pantai Tapal Kuda, sebutan itu tak asing di telinga.
Bagi orang Jawa, sematan kiai biasanya untuk alim ulama, laki – laki, dan petuah petitihnya didengar dan dijadikan panutan. Kalau perempuan disebut Nyai. Dulu ada Film terkenal dengan ‘Nyai Dasima’ sejak SD saya sudah menontonnya. Kiai juga bisa disematkan untuk sebuah barang yang dikeramatkan. Makanya kalau ke Jogja banyak sekali Kiai – kiai bagi keris, tombak, kereta kuda dan lainnya.
Di Kalimantan, sebutan kiai juga digunakan karena dia kepala kampung, atau distrik. Bukan karena ilmu agamanya. Di Sulawesi pada umumnya sematan kiai diberikan pada tokoh ulama agama Islam. Misalnya; almarhum KH Dahlan Tangkaderi dan lain – lain. Namun, untuk kalangan Muhammadiyah di Sulawesi amat kurang saya dengar. Mungkin penyebaran agama Islam di Sulawesi dipengaruhi Sumatera bukan Jawa sehingga sematan Kiai jarang sekali.