PALU, – Sehubungan dengan proses hukum yang saat ini bergulir di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah (Kejati Sulteng) dan telah menetapkan 4 orng tersangka dugaan tindak pidana korupsi pada Bank Sulteng sekitar Rp, 7 miliyar.
Penetapan tersangka dan penahaan tersebut setelah adanya temuan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulteng terkait dengan dugaan Pola pemberian kredit fiktif kepada beberapa perusahaan peminjam dana (kredit) pada bank Sulteng tersebut.
Senada dengan hal itu Anggota DPD RI Abdul Rachman Thaha (ART) angkat bicara usai melakukan pertemuan dengan Kejaksaan Tinggi bersama jajarannya. Katanya Proses Penegakan hukum ini adalah hak subjektif dari pada kejaksaan tinggi.
Selanjutnya, ART mengatakan bahwa Case bank sulteng tersebut ada urusan bisnis sehingga harus dipisahkan dengan keuangan negara, sebab bisnis itu tujuannya mencari keuntungan.
Art juga menambahkan bahwa ia melihat jika para tersangka melakukan upaya hukum praperadilan, maka mereka bisa bebas demi hukum dengan alasan terkait masalah fee marketing bisnis yang ditandai dengan adanya surat perjanjian Kerjasama antara Bank Sulteng dan pihak lain.
Bahkan sampai mengancam akan melapor ke Kejaksaan Agung atas dugaan adanya Jaksa Nakal di jajaran Kejati Sulteng.
Dilansir dari Deadline News, Senin (30/01/2023) terkait sikap yang dilakukan oleh ART tentunya mengundang tanggapan dari berbagai kalangan seperti praktisi hukum, mahasiswa, dan organisasi pegiat anti korupsi.
Ketua Pengurus Daerah (PD) Lingkar Studi Aksi dan Demokrasi Indonesia (LS-ADI) Kabupaten Parigi Moutong (Parimo) Rafli menilai bahwa sikap Anggota DPD RI dengan tagline anak guru mengaji tersebut terlalu berlebihan.
“Pasalnya dalam statemen beliau dibeberapa media online seakan mengintervensi proses hukum pada kejati Sulteng terkait dugaan korupsi pada Bank Sulteng itu,” tuturnya.
Menurut Mahasiswa Pascasarjana itu, salah satu bentuk intervensi ART yaitu menyebutkan jika kasus tersebut dilakukan upaya hukum prareradilan maka akan bebas demi hukum.
“Nah ini menurut saya statemen yang sudah melampaui otoritas hakim dan terkesan tidak menaruh kepercayaan kepada Kejaksaan Tinggi,” katanya.
“Selain itu ART ini bukan seorang Auditor maka tidak memiliki kapasitas untuk bicara bahwa kasus tersebut bukan bagian dari tindak pidana, Art jangan melindungi para pelaku Tipikor” tambah Rafli.
Rafli mengatakan, seharusnya posisi ART dalam rangka mengawasi proses hukum yang sedang bergulir bukan malah ikut campur dan mengeluarkan statemen pembelaan kepada para tersangka dugaan tindak pidana korupsi pada Bank Sulteng.
“Kalau menurut ART tindakan oknum jaksa yang melenceng, silahkan laporkan saja ke Kejaksaan Agung dan tidak perlu ancam,” katanya.
Rafli menilai tindakan intervensi tersebut melanggar etika seorang anggota DPD RI, Jika Koalisi Rakyat Anti Korupsi (KRAK) serius menanggapi hal ini maka LS-ADI siap mendukung untuk melaporkan ART ke Badan Kehormatan DPD RI.
“LS-ADI sepenuhnya mendukung penindakan terhadap kasus-kasus korupsi dan tidak akan membiarkan adanya intervensi terhadap proses hukum. Sebab, sudah berapa kali Kejati Sulteng memberhentikan kasus-kasus dugaan tindak pidana korupsi seperti Kasus Pembangunan Asrama Haji dan Gratifikasi Jembatan IV palu. Oleh karena itu LS-ADI memberi ‘Warning’ kepada Kejati Sulteng agar tetap fokus dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi di bank Sulteng,” tutupnya.
Hidayat