Morut,- Front Advokat Rakyat Morowali (FARM) menyesalkan penetapan tersangka terhadap 16 buruh PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) oleh aparat Polres Morowali Utara (Morut).
Senin (03/04/2023) FARM pada siaran persnya tindakan upaya paksa seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, yang dilakukan polisi terhadap 16 buruh GNI adalah melanggar peraturan perundang-undangan.
Hal tersebut juga dianggap suatu tindakan perampasan hak asasi manusia.
Agussalim salah satu Advokat FARM yang disebut Advokad Rakyat, menyatakan, berdasarkan fakta itu, pihaknya melakukan pra peradilan terhadap Polres Morowali Utara.
Baca Juga: Tepis anggapan tukang berkelahi, Pemuda jalan Wahidin Palu akan gelar Lomba Lari Tradisional
Pra peradilan itu secara resmi didaftarkan ke Pengadilan Negeri Poso.
“Pra peradilan itu untuk menguji sah atau tidaknya penetapan tersengka, sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka, dan permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan,” kata Agussalim.
Agussalim menyebut, 16 buruh GNI itu tidak pernah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polres Morut.
Menurut Agussalim, 16 buruh PT GNI tidak pernah dilakukan pemeriksaan dalam kapasitas para pemohon sebagai calon tersangka.
“Berdasar pada Surat Panggilan untuk pertama kali dan 16 buruh PT GNI langsung melakukan penangkapan terhadap para buruh dan pihak Kepolisian Resor Morowali Utara langsung menyerahkan surat penangkapan dan penahan pada saat yang sama kepada para 16 orang buruh PT GNI. Dan setelah itu para buruh sudah langsung ditetapkan sebagai tersangka, dan para buruh tidak diberikan untuk mejelaskan fakta hukum yang terjadi sebenarnya,” kata dia.
Advokat Rakyat itu juga mengaku bahwa identitas buruh yang masih dibawah umur yang dituangkan dalam surat panggilan sebagai tersangka salah dan tidak benar tidak sesuai dengan identitas asli dari beberapa buruh yang masih di bawah umur dan tidak memiliki identitas yang resmi.
“Untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon,” lanjut dia.
Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat kata Agus, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon.
“Dengan demikian jelas tindakan Kepoliasian Republik Indonesia Resort Morowali Utara dengan atau tanpa pemeriksaan calon tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan melanggar hak azasi manusia,” tandas Agussalim. ***