MK Tegaskan RI Tak Berwenang Adili Pelanggaran HAM Berat di Negara Lain

  • Whatsapp
Gedung MK (Ari Saputra/detikcom)

Jakarta,- Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan Republik Indonesia (RI) tidak berwenang mengadili kasus pelanggaran HAM berat di negara lain. Putusan itu atas permohonan mantan Jaksa Agung Marzuki Darrusman dkk.

Marzuki Darrusman dkk menggugat Pasal 5 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pasal itu berbunyi

Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara RI oleh warga negaranya.

Marzuki Darrusman meminta MK menghapus frase ‘oleh warga negara Indonesia’ di pasal 5 tersebut sehingga Indonesia berhak mengadili kasus pelanggaran HAM berat di negara lain, siapa pun pelakunya.

“Amar putusan menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” demikian bunyi Putusan Nomor 89/PUU-XX/2022 yang dikutip detikcom dari website MK, Selasa (18/4/2023).

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan politik hukum HAM di Indonesia tidak hanya sekadar berpijak pada prinsip universalisme HAM, namun tetap menjaga keberlakuan sosial-budaya berdasarkan prinsip partikularisme yang tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai ideologi Pancasila. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan dan pemenuhan HAM tetap harus diletakkan dalam koridor perlindungan terhadap kepentingan nasional tiap negara sebagaimana telah ditentukan dalam konstitusi masing-masing negara.

“Dengan demikian, meskipun rumusan HAM dalam UUD 1945 memuat frasa ‘setiap orang’, maka tidak secara otomatis menimbulkan tanggung jawab aktif bagi negara (pemerintah) Indonesia untuk melindungi hak asasi manusia tiap individu yang bukan warga negaranya,” beber MK.

Terkait dengan digunakannya frasa ‘setiap orang’ pada rumusan mengenai hak-hak konstitusional dalam Bab XA UUD 1945 yang tidak mengenal adanya pembedaan antara hak asasi seorang warga negara Indonesia dengan warga negara asing, sangat mungkin menimbulkan kesalahpahaman apabila dilepaskan dari konteks perlindungan dan penegakan HAM yang menjadi tanggung jawab suatu negara. Karena, hal demikian secara otomatis dapat diartikan memberikan kewajiban dan tanggung jawab negara untuk berperan secara aktif dalam memberikan perlindungan kepada warga negara asing.

“Meskipun perumusan frasa ‘setiap orang’ dalam UUD 1945 dapat diartikan hak asasi tidak hanya dimiliki oleh warga negara Indonesia, tetapi juga termasuk warga negara asing yang dijamin dan dilindungi oleh sistem hukum dan peradilan Indonesia, namun tidak berarti dalam sistem hukum Indonesia berlaku secara otomatis bahwa setiap orang harus diperlakukan dan mendapatkan hak yang sama tanpa mempertimbangkan status kewarganegaraannya,” ungkap MK.

Berkenaan dengan isu mengenai pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar tidak dapat dilepaskan pula dari isu politik. Dalam kaitan ini, MK menyatakan Indonesia telah memiliki komitmen sebagai bentuk tanggung jawab dalam melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi, dan keadilan sosial yang tetap harus berpedoman pada prinsip hubungan luar negeri dan politik luar negeri yang didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, yaitu prinsip bebas aktif yang diabdikan untuk kepentingan nasional (national interest).

“Pemerintah memiliki peran yang sangat strategis untuk menentukan langkah kebijakan yang akan ditempuh dalam relasi internasional dengan negara lain, termasuk juga yang berkaitan dengan isu penegakan HAM dalam hal ini, pemerintah memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan segala aspek yang terkait dengan risiko atau dampak yang akan timbul sebagai ekses dari kebijakan politik luar negeri yang diambil, baik dari aspek hukum, politik, sosial maupun ekonomi. Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia tidak dapat dipisahkan dari konsepsi ketahanan nasional dalam rangka mewujudkan daya tangkal dan daya tahan untuk menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan kehidupan bangsa Indonesia,” putus MK yang diketok secara bulat oleh 9 hakim konstitusi. ***

Editor/Sumber: Riky/Detik.com

Berita terkait