Ini Yang Dilakukan Soeharto Saat Ibu Negara Dihina

  • Whatsapp

SEORANG Mahasiswa asal Palembang ditangkap polisi gara-gara menghina Ibu Negara Iriana Jokowi di intagram. Dia mengunggah foto Iriana disertai kata-kata yang tak pantas. Tak butuh waktu lama, Dodik Ihwanto pemilik akun Instagram @warga_biasa langsung diciduk.

Fenomena menghina kepala negara di media sosial terjadi di media sosial. Polisi telah menangkap beberapa orang yang diduga terlibat jaringan penyebar kebencian di media sosial.

Dulu di zaman Orde Baru, mana berani masyarakat menghina kepala negara atau keluarga Cendana. Berbicara pun selalu bisik-bisik takut terdengar aparat. Walau begitu ada juga beberapa hal yang kemudian jadi perbincangan santer dan beredar di masyarakat. Misalnya soal Presiden Soeharto punya selir bintang filem terkenal saat itu. Atau memelesetkan nama Ibu Tien Soeharto menjadi Mrs Tien Percents, atau nyonya 10 persen. Isunya saat itu Ibu Tien dan koleganya kerap meminta jatah 10 persen dari proyek-proyek besar.

Menjelang tahun 1980, kritik pada pemerintahan Orde Baru makin kencang. Terutama yang diserang adalah isu soal hak berbicara dan korupsi di lingkaran penguasa. Apa sikap Presiden Soeharto menghadapi kritik dan isu seperti ini?

Pak Harto akhirnya memberikan jawaban. Dia pilih momen dengan pesan simbolis dan kuat: Hari Ulang Tahun Kopassandha (sekarang Kopassus) ke-28.  Hari itu, 16 April 1980, Pak Harto berpidato di Markas Kopassandha, Cijantung. Pak Harto kembali menekankan isi pidato seperti pada Rapim ABRI sebulan sebelumnya, yaitu soal setia pada Pancasila.

“Ancaman kekuatan senjata harus kita hadapi dengan kekuatan senjata pula yang kita miliki. Akan tetapi kita mengetahui bahwa ancaman ideologi Pancasila tidak semata-mata dari kekuatan senjata,” ujar Pak Harto. Dia menyebut adanya upaya untuk mengubah dan mengganti dasar negara Pancasila.

Berikutnya, isi pidato Pak Harto makin blak-blakan. Dia memaparkan pihak-pihak yang mencoba mengganti Pancasila diawali dengan mendiskreditkan pemerintah dan dirinyasebagai presiden.

“Saya bertemu dengan kolega saya Kusno Utomo, yang telah mendengar isu-isu yang sebetulnya tidak pada tempatnya yang ditujukan kepada saya, juga kepada istri saya Bu Harto. Selalu diisukan bahwa istri Soeharto menerima komisi. Menentukan pemenangan tender dan komisi dan lain sebagainya. Yang sebenarnya tidak terjadi sama sekali keadaan demikian,” bantah Pak Harto. Pak Harto tidak berhenti di situ. “Dan bahkan akhir-akhir ini sampai juga ditujukan kepada saya, yang sudah diisukan di kalangan mahasiswa dan juga di kalangan ibu-ibu yang biasa mudah untuk sampai ke mana-mana. Satu isu kalau saya ini katanya mempunyai “selir”, mempunyai simpanan salah satu dari bintang film yang terkenal yang dinamakan Rahayu Effendi. Ini sudah lama bahkan sekarang ini juga dibangkitkan hal itu kembali. Padahal kenal, berjumpa saja tidak,” ujar Pak Hartodalam transkrip lengkap pidato yang dimuat di Memori Jenderal Yoga terbitan PT Bina Rena Pariwara karangan B Wiwoho dan Banjar Chaerudin.

“Apa ini semua maksudnya? Maksudnya adalah tidak lain karena mungkin mereka itu menilai kalau saya itu menjadi penghalang utama dari kegiatan politik mereka itu. Karena itu harus ditiadakan,” kata Pak Harto. Poin berikutnya Pak Hartomenyebut kalaupun berhasil meniadakan dirinya, maka masih ada ABRI dan Kopassandha yang akan membentengi upaya mengganti Pancasila dan UUD 1945.

Pasca pidato Pak Harto itu, suasana politik bukannya mereda. Tapi justru makin panas. Pidato Pak Harto memicu munculnya Petisi 50 yang dimotori antara lain oleh Gubernur legendaris DKI Jakarta Ali Sadikin dan mantan Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso. Ada juga para jenderal pendiri Orde Baru yang kini berbalik menyerang Soeharto seperti HR Dharsono, M Jasin dan Kemal Idris.

Pada ungkapan keprihatinan Petisi 50 yang dikeluarkan 5 Mei 1980, salah satu poinnya adalah keprihatinan terhadap pidato Pak Harto yang mereka sebut keliru menafsirkan Pancasila sehingga dapat digunakan sebagai suatu ancaman terhadap lawan-lawan politik. Padahal, Pancasila dimaksudkan oleh para pendiri Republik Indonesia sebagai alat pemersatu Bangsa.

Para tokoh Petisi 50 ini dianggap sebagai persona nongrata. Mereka dilarang pergi ke luar negeri, mengajukan kredit dari bank, dimata-matai, hingga tak boleh berbicara pada pers dan tampil di depan massa.

Sumber: merdeka.com 

Berita terkait