ADA Perbedaan hakiki antara penguasa dan pelayan. Penguasa adalah mereka yang selalu memiliki jiwa untuk dilayani. Ucapannya adalah sabda. Dirinya laksana Tuhan, yang tak bisa disanggah. Adapun sang pelayan adalah orang yang bermental pengabdi. Ia patuh melayani karena merasa diberi amanat. Mereka rela mengorbankan jiwa raganya demi si pemberi amanat.
Pemerintah itu sebenanrnya bukanlah penguasa. Pemerintah adalah pelayan rakyat. Penguasa hanya ada dalam alam pikiran raja-raja kuno yang pernah berkuasa di nusantara tempo dulu. Rakyat dipandangnya sebagai kawula yang harus tunduk dan tak boleh membantah atas segala titahnya. Jabatan yang disandangnya adalah warisan mulia dari nenek moyangnya.
Gaya kepemimpinan sebagai penguasa rupanya begitu kental merasuk dalam jiwa para birokrat kita sejak dulu. Paham kerajaan diimplemantasikan dalam mengelola pemerintahan. Tak ada oposisi, karena itu dipandang mengganggu harmonisasi hubungan antara yang memerintah dengan yang diperintah. Wilayah kerjanya dianalogikan sebagai kehidupan rumah tangga. Bila sang ayah bercacat, si anak harus diam. Bila membantah, itu dianggap kurang ajar, bahkan kuwalat.
Olehnya, jika sekarang masih ada pemerintah ber-visi penguasa, itu hanya reinkarnasi raja-raja besar tempo dulu. Bisa juga penjelmaan penguasa kolonial yang menjajah negeri ini beratus-ratus tahun. Atau, bisa pula anak didik pelanjut estafet rezim orde sebelumnya yang diktator, otoriter plus militeristik.
Lalu, bagaimana wujud pemerintah yang memosisikan diri sebagai pelayan? Baginya, jabatan adalah amanah, bukan sebaliknya, menjadikan dirinya sebagai titisan Tuhan. Kehilangan jabatan adalah hal yang alami dan manusiawi. Kedudukan yang dimiliki adalah kesempatan besar untuk mengukir prestasi, bukan sebaliknya mengejar prestise sekaligus menumpuk kekayaan, atau membesarkan sanak kerabatnya. Ia selalu merasa takut dengan jabatan, tapi tidak lari dari jabatan. Dan, semua itu ia yakini, bahwa ada pertanggungjawabannya dikemudian hari.
Pemerintah bervisi kerakyatan selalu merenungi kedudukan yang disandangnya adalah hasil suara rakyat yang juga merupakan suara Tuhan. Dengan demikian disadari, ia hanyalah pelayan dari sang majikan yang bernama rakyat. Dalam agama diajarkan, pembantu atau pelayan juga seorang pemimpin. Yakni memimpin harta majikan agar bisa terjaga dengan baik.
Sebagai penutup tulisan ini, saya ingin mengulang kembali sebuah cerita yang pernah di tulis oleh Emha Ainun Najib dalam bukunya: “Menjadi Gelandangan di Kampung sendiri”, yang isinya kurang lebih sebagai berikut:
Seorang calon walikota, pergi menemui kakaknya yang dianggapnya memilki ilmu luas agar dapat diberi nasihat jika kelak terpilih menjadi walikota. “Saya ingin mendapat restu sekaligus wejangan jika terpilih menjadi pemimpin kelak”, kata si adik. Sang kakak langsung menjawab pertanyaan itu dengan sebuah kalimat “Jangan sekali-kali mengajak rakyatmu berpartisipasi”.
Mendengar jawaban itu, si adik langsung spontan saja kaget, karena jawaban itu terasa aneh bahkan lucu kedengarannya. Bukankah dalam pembangunan, rakyat harus terlibat di dalamnya. Rakyat berpartisipasi berarti mereka turut menyukseskan apa yang direncanakan oleh sang pemimpin. Tapi perasaan tersebut hanya disimpan di hati, seraya melanjutkan pertanyaan: “Apa maksud kakak?”.
“Begini, kamu tahu, rakyat itu majikan, sementara engkau hanyalah pembantu atau pesuruh. Posisimu demikian karena kau dipilih dan diberi mandat oleh mereka. Jadi sangat lucu dan aneh kalau ada pembantu menyuruh sang majikan untuk berpartisipasi dalam pekerjaannya”, celetuk sang kakak dengan mulut terkekeh. ***
Oleh: Nasrullah Muhammadong