Tolak Relokasi, Bukti Pemprov Lemah

  • Whatsapp
banner 728x90

.
Reporter: Ikhsan
Madjido

SECARA Sosio kultural masyarakat agak sulit memang
untuk  meninggalkan tempat domisilinya
yang sudah ditempati bertahun-tahun. Hanya saja masyarakat harus diberi
pemahaman bahwa tempat tersebut sudah tidak layak untuk dijadikan pemukiman
karena termasuk zona merah.

Warga korban gempa dan likuifaksi Kelurahan
Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu, menolak direlokasi ke kelurahan lain
sesuai Keputusan Gubernur Sulteng.’

Pengamat kebijakan publik, Dr Slamet Riyadi Cante menilai
penolakan ini menunjukkan kurangnya pelibatan publik dalam perumusan kebijakan.
Dalam konteks perumusan sebuah kebijakan publik, masyarakat memang perlu
dilibatkan.

“Terkait usulan masyarakat terhadap tempat
relokasi yang tidak jauh dari tempat asal, patut diakomodir selama tidak berada
pada wilayah zona merah,” kata Slamet Riyadi, Minggu (6/1/2019).

Akademisi Universitas Tadulako ini berharap
Pemprov perlu lebih intens melakukan sosialisasi terhadap warga agar mereka
bisa memahami kebijakan Pemerintah untuk melakukan relokasi.

“Sosialisasi secara massif tentang wilayah zona
merah penting dilakukan karena masih banyak masyarakat yang tidak memahami,” pintanya.

Gubernur Sulteng Longki Djanggola telah
menandatangani keputusan lokasi relokasi nomor 369/516/DIS.BMPR-G.ST/2018 pada
tanggal 28 Desember 2018 di Palu. Diktum I dalam keputusan itu berbunyi
menetapkan lokasi tanah relokasi pemulihan akibat bencana di Provinsi Sulawesi
Tengah untuk penyediaan hunian tetap, ruang terbuka hijau, sarana dan prasarana
umum serta perkantoran.

Kemudian, diktum II dalam keputusan itu berbunyi,
lokasi tanah sebagaimana dimaksud dalam diktum satu sebagai berikut di Kota
Palu seluas 560,93 hektare area meliputi Kecamatan Tatanga seluas 79,3 hektare
area di Kelurahan Duyu, Kecamatan Mantikulore seluas 481,63 hektare area di
Kelurahan Tondo dan Kelurahan Talise. Selanjutnya, di Kabupaten Sigi seluas 362
hektare area terletak di Kecamatan Sigi Biromaru meliputi Desa Pombewe seluas
201,12 hektare area dan Desa Oloboju 160,88 hektare area.

Seperti dilansir Republika.co.id Lurah Petobo Alfin H Ladjuni menyatakan warganya ingin tetap tinggal di
Petobo.

Alfin menyebut, jika warganya direlokasi ke
kelurahan lain yang dianggap aman oleh pemerintah, maka secara tidak langsung
nama kelurahan harus diganti. Bahkan lokasi Kelurahan Petobo yang tidak
terdampak likuifaksi, secara langsung tidak lagi dapat dimanfaatkan oleh
warganya.

Padahal, kata dia, sebagian besar warganya adalah
petani yang memanfaatkan lahan-lahan mereka di Kelurahan Petobo untuk bercocok
tanam. “Sebagian besar warga Petobo merupakan petani dan mereka masih
menggarap lahan untuk bertani menghidupi keluarga di lahan yang tidak terdampak
likuifaksi,” ujar dia.

Ia menegaskan, bahwa dalam waktu dekat warga korban
likuifaksi di Kelurahan Petobo akan menemui Gubernur Sulteng Longki Djanggola
untuk membahas kembali lahan/lokasi relokasi.

Terkait hal itu Ketua RT 1/RW 5 Kelurahan Petobo
Abd Naim mempertanyakan alasan Pemprov Sulteng tidak menetapkan bagian timur
Kelurahan Petobo (arah timur lokasi likuefaksi) sebagai tempat/lokasi relokasi
bagi korban bencana.

Sekitar 1.642 kepala keluarga atau 3.800 jiwa
korban terdampak gempa dan likuefaksi Kelurahan Petobo saat ini berada di
lokasi pengungsian di jalan jepang atau sebelah timur dari area likuefaksi.**

Berita terkait