Komnas HAM: Tuntutan Korban Likuifaksi Balaroa Realistis

  • Whatsapp
banner 728x90
Sumber: antaranews

KOMISI Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
Perwakilan Sulawesi Tengah menilai lima poin tuntutan sekaligus petisi oleh
warga korban gempa dan likuefaksi Kelurahan Balaroa, Kota Palu, merupakan hal
yang realistis.

“Saya kira, kelima tuntutan itu realistis dan
masuk akal,” ucap Ketua Komnas-HAM Perwakilan Sulawesi Tengah Dedi Askary, di
Palu, Sabtu (2/2/2019).

Lima poin tuntutan yang disepakati dalam rapat
akbar digagas oleh Forum Korban Bencana Gempa dan Likuefaksi Balaroa yaitu,
menolak hunian sementara dan menginginkan dana tersebut dikompensasikan kepada
korban. Korban menginginkan segera dibangunkan hunian tetap di wilayah
kelurahan balaroa Kecamatan Palu Barat.

Kemudian, segera percepat pembayaran dana santunan
bagi korban jiwa kepada ahli waris. Korban juga menuntut hak-hak keperdataan
atas lahan yang terdampak gempa bumi dan likuifaksi harus jelas ganti ruginya.

Terakhir, proses pendistribusian sembako harus
merata berbasis data melalui pemerintah kelurahan sehingga bisa dirasakan oleh
korban bencana gempa bumi dan likuifaksi Balaroa.

Ribuan warga korban likuefaksi Balaroa hadir dalam
rapat akbar yang mengangkat tema
menuntut hak dan keadila berlangsung di Lapangan Sport Center, Sabtu (2/2/2019).

Komnas-HAM Sulteng, kata Dedi Askary, menilai
pembangunan hunian sementara untuk korban gempa dan likuefaksi hanya
memperpanjang penderitaan warga.

“Apalagi huntara yang dibangun pemda dengan
beratap seng seperti sekarang, itu sama seperti mengisi manusia ke dalam oven.
bertahan di dalam pagi hingga sore, bisa dehidrasi
korban,” kata Dedi Askary.

Ia menyebut bahwa, memilih tahapan transisi
darurat ke rehabilitasi dan rekonstruksi merupakan pilihan lain dari dua skema
yang ada. Sehingga terkesan seperti sesuatu yang disengaja.

“Jika memilih skema tanggap darurat, langsung
pemulihan dan pembangunan kembali sebagaimana skema yang lazim dan ini juga
tertuang dalam instrumen hukum tentang penanggulangan bencana sebagaimana juga
yang diharapkan masyarakat, tentunya tidak akan ada yang namanya huntara. Yang
dilakukan langsung adalah pembangunan huntap,” kata dia.

Lalu, sebut dia, kenapa sengaja dipilih skema
transisi darurat ke pemulihan oleh pemerintah, karena dengan demikian program pembangunan
huntara ada. Yang secara otomatis mengikut kemudian adalah anggaran.

“Bayangkan alokasi anggaran untuk bangun huntara
yang diambil dari pagu anggaran Kementerian PUPR, hampir Rp800 miliar. Apa yang
bisa kita tangkap dari hal tersebut adalah peluang untuk menggerogoti alokasi
anggaran dimaksud sangat besar, liat saja proyek spam yang di OTT oleh KPK,”
sebut Dedi Askary.

Selain itu, urai dia, pembangunan huntara jelas
dan nyata terjadi inefisiensi. Lebih bermanfaat, menurut dia, jika anggaran
sebesar itu dipakai menfasilitasi penyediaan aset-aset penghidupan masyarakat
yang hancur saat dihantam bencana empat bulan yang lalu.**

Berita terkait