JEMBATAN BAKAU “RENOVASI TIADA HENTI – INVESTASI SIA-SIA”

  • Whatsapp
banner 728x90
Refleksi Jelang 21 Tahun Penghargaan British Awards


Reportase: Ikhsan Madjido


JEMBATAN Bakau di Desa Lembanato Kecamatan Togean
Kabupaten Tojo Unauna hampir tiap tahun dilakukan renovasi.

Selama 12 tahun sejak 2007 tidak kurang Rp5 milyar dana digelontorkan
dan dicurahkan meronavasi boardwalk
yang menjadi icon pariwisata Touna ini.

Tetapi sayangnya, outflow
(pengeluaran) yang begitu besar selama 12 tahun tidak memberikan inflow sepeser
pun bagi PAD, apalagi bagi pendapatan masyarakat.

“Tidak ada penghasilan yang diperoleh dari produk itu. Juga tidak ada
apresiasi dari wisatawan dan tidak ada uang keluar dari kocek mereka. Tentu
saja renovasi ini adalah investasi sia-sia dan mubazir,” ungkap dinamisator
Jerat (Jaringan Ekowisata Rakyat) Sulteng, Rasyid Languha dalam siaran persnya,
Minggu (26/5/2019).

Rasyid mengungkapkan renovasi pertama tahun 2007 dengan dana APBD
senilai Rp175 Juta. Hebatnya tahun 2010 sebesar Rp800 Juta. Tahun 2019 ini lebih
hebat lagi. Dianggarkan dengan total biaya lebih dari Rp1,3 Miliar yang dipecah
dalam dua mata anggaran.

Dalam tulisannya bertajuk Refleksi Menjelang 21 Tahun Penghargaan
British Awards, lebih jauh Rasyid Languha menyoal mengapa jembatan bakau itu direnovasi
lagi dengan konstruksi beton dan akan dibiarkan diam membisu di tengah hutan
bakau? Mengapa masyarakat desa tidak diberi akses mengelola? Mengapa kapasitas
warga desa tidak ditingkatkan untuk regenerasi pengelolaan produk ini? Mengapa
anggaran sebesar itu tidak dialokasikan untuk peningkatan kualitas pengelolaan
yang berdampak ekonomi bagi rakyat kecil? Dan sederet pertanyaan lainnya.
Pariwisata Untuk
Siapa?
Perlu diingatkan bahwa gagasan renovasi pertama kali dikonsultasikan
oleh masyarakat dengan Dinas Pariwisata tahun 2006. Masyarakat Lembanato (WAKATAN)
mengusulkan bantuan dana kecil sebesar Rp.10 Juta utk perbaikan beberapa bagian
yg rusak sejak krisis kunjungan wisata antara tahun 2000-2004 sebagai dampak
ikutan dari krisis Poso. Dinas Pariwisata menyetujui dan memasukkan dalam mata
anggaran tahun 2007.

Alhasil, angka yg keluar adalah Rp175 Juta dan akhirnya membangkitkan
geliat nafsu para kontraktor serta para pemburu rente proyek (rent seeker).
“Proyek berdaging”, kata mereka. Uniknya, kontraktor pemenang tender
ikut mengklaim bahwa produk itu adalah hasil kerjanya dan berhak untuk
mengelolanya.

Sekedar mengingatkan kembali bahwa jembatan bakau ini dibangun dari
prakarsa murni masyarakat desa Lembanato. Baik asal usul gagasannya hingga
pelaksanaan pembangunannya adalah swadaya mereka sendiri. Pertama kali
dikerjakan pada tahun 1995 oleh kelompok masyarakat yg menamakan dirinya
sebagai kelompok WAKATAN (hutan bakau dalam bahasa Bobongko).

Secara bertahap dan susah payah selama 2 tahun, kelompok Wakatan
membangun gagasan-gagasan mereka. Selesai dibangun dan mulai dipromosi pada
bulan Juni 1997 dengan swadaya masyarakat 90 persen. Total menghabiskan biaya
Rp11 Juta.

Biaya tersebut meliputi pembangunan fisik Rp9,5 juta, serta Rp1,5 juta
untuk materi promosi dan interpretasi produk dari sumbangan individu pemerhati
(guide book treck, signboard dan leaflet).

Dampaknya sebelum terjadi krisis Poso, antara tahun 1997 – 1999
tercatat kebih dari 400 wisatawan berkunjung. Alhamdulillah, lebih dari sekedar
kunjungan wisata, pada tahun 1998 setelah 1 tahun beroperasi kegiatan wisata
hutan bakau, kelompok Wakatan mendapat penghargaan dari perusahaan penerbangan
Inggris, British Airways.

Perusahaan ini adalah sponsor utama yg mendanai program penganugrahan “British Awards” berdasarkan
rekomendasi dari World Tourism Organisation (WTO) dan badan-badan pariwisata
dunia lainnya.

Seorang warga desa Lembanato mewakili Kelompok Wakatan melalui
kerjasama dengan Jaringan Ekowisata Togean (Togean Ecotourism Network) menerima
penghargaan langsung di London, Inggris pada bulan Oktober 1998. Penghargaan
tersebut mengusung thema “Tourism
for Tomorrow”
dalam kategory Higly
Commended Pacific”.

Tentu, plakat penghargaan yang diterima tidaklah cukup berarti. Namun,
kemandirian dan keswadayaan rakyat ini memberikan reward dan kontribusi yg
sangat besar bagi promosi dan perkembangan wisata di Kepulaun Togean.

Dari penghargaan ini, Kepulauan Togean mendapatkan kesempatan promosi
gratis selama 1 tahun dalam penerbangan internasional dan domestik dari
perusahaan penerbangan Inggris, British Airways.

Apakah promosi gratis seperti ini bisa diperoleh lagi dengan jembatan
bakau yang dibangun Pemda dengan anggaran miliaran rupiah?

Jika tidak, apakah anggaran
daerah bisa dan cukup dialokasikan untuk
mendanai promosi selama 1 tahun di perusahaan penerbangan Inggris?

Olehnya, jelas Rasyid, penting untuk diketahui bahwa jembatan bakau
bukanlah sekedar bangunan fisik. Atau hanya sekedar komponen produk wisata. Ia
adalah produk interaksi belajar. Sebuah apresiasi dari hasil interaksi berbagi
pengalaman dan pengetahuan antara masyarakat desa dan wisatawan untuk
memperkuat solidaritas kemanusiaan serta upaya bersama melindungi ekosistim
hutan bakau.

Penghargaan itu diberikan bukan karena bangunan fisik jembatan.
Penghargaan diberikan atas keswadayaan dan kemandirian, serta pengetahuan dan
kearifan budaya masyarakat lokal. Dari informasi yg disebarluaskan oleh
wisatawan, kegiatan wisata berbasis komunitas ini akhirnya mendapat apresiasi
dan dipublikasikan dalam berbagai jurnal internasional.
Kerja Kecil Berdampak
Besar
Sekitar tahun 1999 Kaili Post pernah berkunjung ke Jembatan Bakau ini.
Ketika memasuki jembatan bakau, warga dengan santun menyambut.

Anda pasti tidak percaya bertemu pemandu wisata yg berusia antara 50-60 tahun dengan pakaian sederhana sebagaimana layaknya orang- orang tua di
desa.

Rasyid membenarkan bahwa warga yang bertugas mengajak kita untuk duduk
di ruang briefing  memperkenalkan kode
etik perjalanan ke hutan bakau.

Mereka juga mengatur pembagian kelompok jika rombongan lebih dari 6
orang. Dan mereka meminjamkan buku panduan perjalanan di hutan bakau yg telah
disediakan dalam dua bahasa, Inggris dan Indonesia. Mereka akan menemani untuk
belajar mengenai ekosistim hutan bakau
menurut sistim pengetahuan dan kearifan lokal mereka.

Sebuah kerja kecil yang berdampak besar. Anggaran kecil dikerjakan
secara swadaya oleh “rakyat kecil” di sebuah desa terpencil.
Berdenyut dalam jantung pariwisata dunia. Menggetarkan dunia pariwisata
internasional dan bermagnitud ke dalam kebijakan pembangunan pariwisata
nasional.

Tiga tahun setelah penghargaan British Award, pemerintah Indonesia dan
negara-negara peserta KTT UNWTO (United Nation World Tourism Organisation), di
Montreal, Canada; tahun 2001 merekomendasikan Kepulauan Togean sebagai salah
satu destinasi ekowisata unggulan dunia berdasarkan “best practice” pengelolaan hutan bakau berbasis
komunitas di desa Lembanato.**

Berita terkait