Tausiyah Ramadhan: Hikmah Dahsyat Zakat Fitrah

  • Whatsapp
banner 728x90

Ust. Ahmad Mudzoffar, MA
ZAKAT Fitri, atau yang lebih dikenal dengan zakat fitrah, ialah zakat yang
wajib ditunaikan oleh setiap muslim atas nama dirinya dan yang dibawah tanggung
jawabnya, pada penghujung bulan Ramadhan, sebelum sholat Idul Fitri, bila yang
bersangkutan memiliki kelebihan harta untuk keperluan pada hari itu dan malam
harinya. Adapun kadar yang dibayarkan adalah satu sha’ (kurang lebih 2,2 kg
atau yang biasa digenapkan menjadi 2,5 kg) dari bahan makan pokok setiap
daerah.

Menurut sebagian ulama, zakat fitri juga bisa ditunaikan dalam bentuk
nilai mata uang seharga kadar zakat tersebut, khususnya jika hal itu lebih
bermanfaat bagi fakir miskin yang menerimanya. Dan karena keterkaitannya yang
lebih kuat dengan diri si pembayar zakat daripada keterkaitannya dengan harta,
zakat ini juga dikenal dengan sebutan zakatul abdan atau zakatul anfus(zakat
diri).

Berbeda dengan zakat maal (zakat harta) yang mensyaratkan nishab (batas
kemampuan finansial) tertentu pada harta wajib zakat sebagai standar kemampuan
finansial kategori kaya, dalam hal zakat fitri, syarat nishab sangatlah
sederhana. Artinya, jika zakat maal itu hanya wajib atas orang-orang Islam yang
kaya saja (HR Muttafaq ‘Alaih dari Mu’adz bin Jabal), maka tidak demikian
halnya dengan kewajiban zakat fitri yang bisa jadi juga berlaku bagi orang
Islam yang miskin. Karena untuk sekadar memenuhi syarat kewajiban zakat fitri,
yakni bahwa seseorang memiliki kelebihan kebutuhan makan-minumnya selama sehari
semalam hari raya, rasanya banyak sekali orang miskin sekarang yang memenuhi
syarat tersebut. Maka dengan demikian banyak orang miskin pun wajib membayar
zakat fitri.

Padahal sebagaimanan yang telah diketahui, orang fakir miskin merupakan
salah satu sasaran utama pendistribusian zakat, baik maal maupun fitri (QS
At-Taubah : 60). Artinya, seorang miskin disatu sisi wajib membayar zakat
fitri, tapi disisi yang lain, karena status kemiskinannya, dia juga berhak
menerima zakat, baik fitri maupun maal, dimana boleh jadi yang dia terima
justru lebih besar daripada yang dia bayarkan. Nah disini mungkin akan muncul
pertanyaan : Jika demikian, apa hikmah dan tujuan seseorang tetap diwajibkan
berzakat fitri, padahal di saat yang sama dia juga termasuk yang berhak
menerima pembagian zakat itu, sehingga seakan-akan apa yang dia bayarkan itu
akhirnya akan dia terima kembali atau justru dia bisa mendapatkan lebih?
Mengapa jika demikian orang yang seperti itu tidak dibebaskan saja dari
kewajiban zakat fitri, sebagaimana yang berlaku dalam hal zakat maal? Nah
disinilah justru terletak salah satu sisi rahasia keunikan khas zakat fitri.
Kita yakin pasti ada hikmah khusus dibalik syariah ini.

Salah satu hikmah itu telah disebutkan dalam hadits. Yakni, disamping
manfaat dan tujuan memenuhi kebutuhan fakir miskin, seperti tujuan zakat pada
umumnya, ada hikmah, manfaat dan fungsi khusus zakat fitrah yang terkait dengan
ibadah puasa yang dilakukan oleh sang muzakki (pembayar zakat). Yaitu fungsi
sebagai faktor pensuci diri orang yang beribadah puasa dan sebagai penutup
kekurangan-kekurangan yang terjadi pada puasanya (HR Abu Dawud, Ibnu Majah dan
Al-Hakim).

Dengan demikian berarti zakat fitri merupakan bagian pelengkap yang
tidak bisa dipisahkan dari kesempurnaan pelaksanaan ibadah puasa itu sendiri.
Dan fungsi ini tentu dibutuhkan oleh setiap orang yang berpuasa, baik yang kaya
maupun yang miskin!

Disamping itu ada hikmah dan fungsi lain yang bisa kita tangkap dari
pewajiban zakat fitri termasuk atas orang miskin. Yakni untuk menjaga komitmen
dan konsistensi seseorang untuk selalu berinfaq dalam kondisi apapun, kaya atau
miskin, lapang atau sempit, punya banyak atau punya sedikit dan seterusnya,
yang merupakan karakteristik utama orang-orang bertaqwa (QS Ali ‘Imran : 133 –
134).

Juga agar si fakirpun tetap bisa mengalami rasanya memberi, tidak
selamanya berada di posisi penerima saja. Hal ini sangat penting karena jika
kebiasaan berinfaq dan memberi ini tidak selalu dijaga konsistensinya khususnya
saat dalam kondisi berkekurangan, miskin dan sempit, maka seseorang akan
terjangkiti penyakit hati yang menjadikannya berat dan bahkan enggan berinfaq
termasuk ketika dia sudah kaya dan lapang sekalipun.

Maka marilah terus selalu gemar berinfaq dan suka memberi seberapapun,
dalam kondisi apapun dan sampai kapanpun, sesuai kemampuan masing-masing,
sebagai bukti bahwa kita adalah orang-orang beriman dan bertaqwa! Karena umat
beriman adalah umat penginfak dan pemberi. Dan tiada taqwa yang sempurna tanpa
semangat memberi dan berbagi! Semoga!**

@Day 24 Ramadhan

Berita terkait