Gatot Subroto, Sersan “Gila” yang Cinta Damai

  • Whatsapp
banner 728x90
Gatot Subroto

Sumber: Tirto

NAMANYA Lebih diingat
banyak orang di Jakarta sebagai nama jalan besar nan ramai dan rumah sakit
kelas wahid Indonesia. Bagi mereka yang membaca sejarah Indonesia era revolusi,
namanya cukup mulia. “Gatot Subroto merupakan perwira yang disegani banyak
kalangan,” tulis Peter Britton dalam Profesionalisme dan Ideologi Militer
Indonesia (1996).

Bersama Nasution dan Azis Saleh, Gatot
Subroto ikut memprakarsai partai yang berisi bekas pejuang bernama Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Meski dianggap gila oleh beberapa
kolega-koleganya, dan walau tak selama Oerip Soemohardjo berdinas, pengalaman
Gatot Subroto sebagai militer sebagai militer juga tergolong lebih panjang,
bahkan jauh lebih panjang dibanding Soedirman, Nasution dan Soeharto.

Eks Sersan Yang
Dikira Gila
Seabad silam, bocah pribumi ini baru
lulus Taman Kanak-Tanak atau Frobelschool. Dia anak dari Sayid Yudoyuwono.
Seorang Guru Tweede Inlandsche di Jatilawang. Kala itu, guru sekolah sangat
dihormati karena kebanyakan turunan priyayi.

Bocah ini kemudian diterima sekolah di
Europe Lagere School (ELS) Banyumas. Sebuah sekolah dasar elit khusus Belanda
yang hanya bisa dimasuki segelintir pribumi pada zaman kolonial.

Bocah ini bukan bocah pribumi biasa.
Berbeda dengan kebanyakan pribumi yang rendah diri, Gatot sebaliknya. Dia bocah
Banyumas sejati. Menurut Ben Anderson, orang Banyumas dan Begelen termasuk
orang-orang yang suka berkelahi. Meskipun mereka bukan tipikal pembuat onar. Profesi
serdadu cocok untuk pemuda-pemuda Bagelen atau Banyumas. Mereka bisa mendaftar
di Gombong untuk jadi serdadu di zaman kolonial.

Bocah ini suka juga berkelahi, mirip
Oerip Soemohardjo dari Bagelen Purworejo ketika kecil. Beraninya bukan cuma
pada bocah lemah, tapi anak-anak Belanda. Terakhir di ELS, bocah ini berkelahi
dengan anak Belanda. Tak tanggung-tanggung, menurut saudara sepupunya, bocah
ini berkelahi dengan anak dari Residen Banyumas. Bocah ini pun dikeluarkan dari
ELS yang elit itu. Saat itu dia masih kelas IV.

Sekolah dasarnya pun terpaksa
diselesaikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Cilacap, yang gengsinya
dibawah ELS. Lepas masa bocah dan juga sekolah dasar, dia tak mau sekolah lagi.
Menurut Moh Oemar, yang menulis biografi Jenderal Gatot Subroto (1976), bocah
bernama Gatot Subroto ini lulus tahun 1927. Kala itu, sekolah dasar terbaik di
Indonesia harus ditempuh 7 tahun. Seringkali usia siswa ketika baru masuk di
atas tujuh tahun, bahkan lebih.

Remaja bernama Gatot Subroto ini memilih
bekerja. Dia sempat bekerja di kantor. Tak betah berlama-lama dia keluar dan
akhirnya masuk militer. Gatot mulai masuk Kaderschool di Magelang sejak
Desember 1928. Gatot yang keras kepala dan suka berkelahi itu pernah masuk sel
provost ketika masih bau kencur di dunia militer. Sebagai lulusan HIS, Gatot
bisa jadi kopral atau Sersan. Ayahnya yang priyayi tak suka dengan pilihan
Gatot masuk militer kolonial yang disebut Koninklijk Nederladsch Indiesche
Leger (KNIL). Meski sebagai sersan nantinya gajinya terbilang bagus, tetapi
profesi militer adalah profesi hina di zaman kolonial. Menurut Budiardjo dalam
biografinya, Siapa Sudi Saya Dongengi (1996), gaji sersan KNIL jelang 1940
setidaknya 60 Gulden.

Pada tahun 1930an, Gatot adalah Sersan
kelas dua atau Sersan Dua. Selesai pendidikan, dia dikirim ke Padang Panjang,
Sumatera Barat. Kira-kira lima tahun Gatot berdinas di Bumi Rendang tersebut.
Sekitar tahun 1934, Gatot mendapat latihan kepolisian lalu ditempatkan di unit
Marsose di Jatinegara. Unit tersebut adalah pasukan militer khusus yang sering
dibekali tugas kepolisian. Gatot pernah juga ditempatkan di daerah Bekasi dan
Cikarang. Di daerah tersebut kekuasaan tuan tanah menyengsarakan rakyat jelata
tak bertanah. Tak jarang terjadi kerusuhan. Setelahnya, rakyat perusuh itu
dipenjarakan.

Gatot, dengan sebagian gajinya, sering
membantu keluarga perusuh yang dipenjarakan itu. Gatot, di mata
komandan-komandannya, bukanlah seorang sersan yang loyal. Kepada mereka, Gatot
bukannya menunduk, tapi tetap keras kepala. Seorang komandannya menjuluki Gatot
sebagai Sersan Gila.

Jelang masuknya Jepang, Gatot dikirim ke
Ambon. Daerah itu sasaran terdekat Armada Laut Jepang. Dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya KNIL dibungkam balatentara Jepang. Tak ada kewajiban bagi
Gatot untuk mati demi Ratu Belanda. KNIL hanya dunia yang harus dijalaninya
sebagai pemuda keras kepala. Begitu KNIL tercerai-berai, Gatot dan serdadu
pribumi lain kabur dari pos mereka, karena Belanda sudah kalah. 

Seragam mereka tanggalkan lalu naik kapal kayu
ke Makassar. Waktu singgah di Makassar, Gatot ziarah ke makam Pangeran
Diponegoro, yang tak jauh dari Pelabuhan. Dari Makassar Gatot menumpang kapal
ke Jawa. Lalu pulang ke rumah orangtuanya di Banyumas. Dia disambut dengan
syukuran keluarga. Karena tak ada kabar bahkan dikira sudah mati dalam di Front
Pasifik.


Setelah jadi vrijman atau preman atau
orang sipil, Gatot kemudian dipercaya Bupati Banyumas, Gandasubrata, untuk
menangani ketertiban sebagai Kepala Polisi. Di masa pendudukan Jepang, Gatot
bergabung dengan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) pada 1943. Setelah
mengikuti latihan enam bulan sebagai Chudanco (komandan kompi), dia kembali ke
tanah kelahirannya lagi. Di Daidan (Batalyon) PETA Sumpyuh, Banyumas. Kolonel
Soesalit, anak tunggal Pahlawan Nasional Kartini, jadi komandan Daidan
tersebut. Setelah menjalani masa menjadi Chudanco, Gatot pun naik menjadi
Daidanco (komandan batalyon) juga.
Di awal kemerdekaan, batalyon PETA yang
dipimpinnya ikut masuk ke Tentara Keamanan Rakyat. Gatot pernah menjadi
Panglima Divisi 2/Gunung Jati. Komandan Polisi Militer. Dia pernah menjadi
Panglima di Indonesia Timur. Di masa Revolusi, dia pernah berpangkat Jenderal
Mayor, tetapi karena turun lagi menjadi Kolonel, ketika ada penurunan pangkat
besar-besaran bagi semua anggota TNI. Pada 1953, Gatot mundur dari ketentaraan
dan tinggal di Ungaran. Dia sering pergi berburu di hutan. Namun, Gatot
dipanggil kembali pada 1956 untuk menjadi Wakil KSAD. Pangkat Terakhirnya
Letnan Jenderal. 

Sebagai serdadu dia bisa tampil berangasan. Gatot dikenal
sebagai komandan yang dekat dengan bawahan. Ada kalanya dia suka memanggil
bawahannya: monyet. “Gatot Subroto terkenal mudah bergaul dengan
bawahan-bawahannya, akan persahabatannya yang kasar dan keras. Kekerasan dan
kesukaannya menggunakan kata-kata mesum, meningkatkan reputasinya sebagai
seorang komandan pasukan infanteri yang efektif,” tulis Peter Britton berdasar
pengakuan Brigadir Jenderal Suprapto, seperti ditulis dalam Profesionalisme dan
Ideologi Militer Indonesia (1996). 

Sebagai mantan sersan, dia tak pernah berhenti
untuk dekat dengan para bawahannya, yang sering kali dipanggilnya: monyet.
Sosoknya tak hanya bisa ditemukan di buku-buku sejarah, tapi juga di film
Kereta Api Terakhir (1981). Dengan dialek ngapak atau Banyumasan, berkali-kali
Gatot menyebut kata monyet kepada bawahan-bawahannya. Film itu menggambarkan
suasana revolusi di Banyumas ketika pangkat Gatot masih Kolonel dan menjabat
Panglima Militer di daerah tersebut. Monyet pun jadi sebutan untuk calon prajurit
taruna (capratar) di Akademi Militer. 

Berdamai Ala Asoka Berdasar data dari Sensus
Penduduk Indonesia 2010 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), dari 237,6
juta penduduk Indonesia, sebanyak 87,18 persen penganut Islam, 6,96 persen
penganut Kristen, 2,9 persen penganut Katolik, 1,69 persen penganut Hindu, 0,72
persen penganut Buddha dan 0,05 persen penganut Konghucu. Sebanyak 299,6 ribu
orang atau 0,13 persen penduduk diketahui menganut di luar agama resmi
pemerintah.


Sementara itu sebanyak 896 ribu orang
lebih atau sekitar 0,38 persen, belum diketahui apa agamanya. Kecilnya penganut
Budha tak hanya terjadi di masa sekarang, tapi juga ketika Gatot masih hidup.
Gatot termasuk orang yang sadar begitu kecilnya pengikut Buddha. Gatot pun
menjadikan dirinya pelindung dari Buddha. Buddha, yang dikenalkan Sidharta
Gautama adalah agama yang mengekang nafsu amarah dan mengajak para pengikutnya
pada kedamaian Nirwana.

“Gatot Subroto adalah seorang Muslim.
Sekali lagi terbukti bahwa ia seorang besar. Semasa hidupnya, sebagai pelindung
agama Budha, ia tampak hadir dalam upacara-upacara keagamaan Buddha, antara
lain pada upacara-upacara Waisak di Stupa Borobudur. Kepada umat Buddha
Semarang juga pernah dihadiahkan sebuah patung Budha besar berlapis emas seberat
satu setengah ton yang berasal dari Muangthai,” tulis Moeh Oemar lagi dalam
biografi Gatot Subroto.

Dalam bukunya Peter Britton agak berbeda
dalam melihat bagaimana Gatot beragama. Menurutnya, “Gatot Subroto mempunyai
keengganan yang kuat terhadap Agama Islam dan memeluk agama Buddha. Kekuatan
kejiwaannya dilukiskan dalam cerita mengenai kematiannya. Ia mendemonstrasikan
suatu keterampilan yang dikenal di kalangan Kejawen sebagai salah satu
keterampilan tertinggi yaitu kepandaian mati, yang meramalkan saat kematiannya
sendiri dan dengan demikian mempermudah perjalanannya ‘pulang’ (kepada Yang
Maha Kuasa).” Peter juga membayangkan kematian Gatot yang mirip tokoh wayang
Yudhistira. Hanya di ranjang dalam kondisi sekarat dan nyawanya sulit tercabut.
Selama sehari semalam Gatot mendapat serangan jantung hebat. 

“Akhirnya dia
meninggal di depan seorang ulama yang menasihatinya untuk membaca dua kalimat
syahadat, pengakuan kepercayaan (kepada Allah SWT sebagai Tuhan dan Nabi
Muhammad sebagai Rosul), dan kemudian ia meninggal dengan tenang,” ungkap
Peter.

Gatot, yang menurut Moeh Oemar lahir
pada 10 Oktober 1909 di Jatilawang, Purwokerto, itu meninggal pada 11 Juni
1962, tepat hari ini (kemarin-red) 57 tahun lalu. Gatot tetap dimakamkan
seperti keinginannya, dengan upacara agama Buddha di desa Mulyoharjo, Gunung
Ungaran. Seminggu setelah kematiannya, pada 18 Juni 1962, Gatot dianugerahi
gelar Pahlawan Nasional.**





Berita terkait