Per Kuartal I, Utang PLN Naik Jadi Rp394 Triliun

  • Whatsapp

Sumber: cnnindonesia

PT PLN (Persero)
memastikan total utang perusahaan per akhir kuartal I 2019 mencapai Rp394,18
triliun. Angka itu melonjak 1,7 persen dibanding posisi utang akhir 2018 yang
sebesar Rp387,44 triliun.
Adapun, sebanyak Rp160,74 triliun dari total utang
merupakan pinjaman yang diakumulasi sejak 2015.
“(Penambahan utang Rp160,74 triliun) ini jauh
lebih rendah dibandingkan tambahan penyerapan investasi sebesar Rp334,7
triliun. Hal ini menunjukkan keuangan PLN yang sehat karena dapat memanfaatkan
sumber pendanaan internal,” ujar Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama PLN
Djoko Rahardjo Abumanan dalam Rapat Dengar Pendapatan dengan Komisi VI DPR di
Gedung DPR, Kamis (27/6/2019).
Djoko mengungkapkan utang digunakan perseroan
untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Tercatat, selama periode 2015 -2019,
total tambahan tambahan pembangkit yang beroperasi mencapai 10.657 MegaWatt
(MW). Selain itu, pembangunan transmisi juga mencapai 16.491 km grid.

Secara terpisah, Direktur Keuangan PLN Sarwono
Sudarto mengungkapkan perusahaan masih akan menambah utang berkisar US$1 miliar
hingga US$2 miliar atau setara Rp14 triliun hingga Rp28 triliun. Utang tersebut
ditarik untuk membiayai investasi. Sarwono menyebutkan setiap tahun kebutuhan
investasi perusahaan mencapai Rp80 triliun hingga Rp90 triliun.
“Kami akan menambah lagi (utang) mungkin
kuartal 3 atau kuartal 4 karena mulai bayar banyak, untuk bayar-bayar
investasi,” ujarnya.
Terkait instrumen utang yang akan digunakan,
Sarwono mengaku belum bisa menentukan pilihan. Pasalnya, instrumen yang dipilih
akan menyesuaikan kondisi pasar terkini.
“Bisa obligasi global, bisa pinjam langsung
ke bank. Saya selalu katakan, pilihan (instrumen) tergantung dari situasi
pasar,” ujarnya.

Untuk menjaga kesehatan keuangan perusahaan,
Sarwono berharap implementasi penyesuaian tarif (tariff adjustment) bagi
pelanggan non subsidi bisa berlaku. Dengan pemberlakuan tariff adjustment,
pemerintah tidak perlu menanggung beban kompensasi yang besar apabila PLN
menjual tarif listrik di bawah harga keekonomiannya.
Sesuai Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 28
Tahun 2016 tentang Tarif Tenaga Listrik yang Disediakan oleh PT PLN (Persero)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 41 Tahun
2017, mekanisme tariff adjustment dilakukan apabila terjadi perubahan terhadap
asumsi makro ekonomi (kurs, Harga Minyak Indonesia/ICP, dan inflasi).
Dalam praktiknya, skema tariff adjustment hingga
kini tak berjalan karena pemerintah memutuskan untuk menahan tarif listrik demi
menjaga daya beli masyarakat.
Di saat yang sama, perusahaan akan terus melakukan
efisiensi operasional untuk menekan biaya. Hasilnya, biaya pokok produksi (BPP)
pada akhir Maret 2019 tercatat Rp1.361 per kWh atau turun Rp17 dibandingkan
periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp1.378 per kwh.
Apabila tidak ada tariff adjustment, Sarwono
berharap kondisi makro ekonomi masih kondusif sehingga tidak mengerek beban
operasional PLN.
“Kalau kami yang utama adalah bagaimana tarif
itu bagus untuk rakyat. Coba kalau tarif itu disesuaikan pada kondisi tahun
kemarin. Sudah inflasi naik, sudah ICP naik, sudah dolar AS naik, bisa kita
bayangkan seperti apa,” ujarnya.**

Berita terkait