Kisah Cinta dari Ricuh Jakarta: Mencari Markus

  • Whatsapp

@Potret Kerusahan 22 Mei 2019
Laporan ini adalah kolaborasi
antara Tirto.id dan Jaring.id. Reporter dari Tirto dalam proyek ini adalah
Dieqy Hasbi Widhana dan Mawa Kresna. Wan Ulfa Nur Zuhra dari Tirto terlibat
dalam visualisasi data. Dari Jaring.id: Abdus Somad dan Debora Blandina Sinambela.
Materi laporan telah diperiksa oleh Fahri Salam (Tirto) serta Damar Fery
Ardiyan dan Kholikul Alim (Jaring.id). Sila baca laporan dari Jaring.id: – Yang
Luput Disebut Polisi – Sisa Cedera Rusuh Jakarta Baca juga artikel terkait AKSI
22 MEI atau tulisan menarik lainnya Dieqy Hasbi Widhana (tirto.id – Indepth)
Reporter: Jaring.id, Dieqy Hasbi Widhana, Mawa Kresna & Adi Briantika
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana Editor: Fahri Salam
MELIHAT Para personel Brigade Mobil dari Kepolisian
Indonesia mendekatinya, Markus Ali segera menutupi tubuh kekasihnya dengan
jaket. Polisi-polisi itu meminta Markus dan empat rekannya menunjukkan
identitas di KTP. Markus menyerahkan salinan KTP. Di situ tertulis dia lahir di
Kediri, 30 tahun lalu.

Markus berkata kepada polisi bahwa Alsa, kekasihnya
yang berusia 41 tahun itu, “tidak enak badan” sehingga tubuhnya diselimuti
jaket. Tak ada yang disembunyikan. Mereka tengah berada di area parkir di Jalan
Kampung Bali, Tanah Abang, menjelang tengah malam Rabu, 22 Mei 2019. Di situ
ada tasong sebutan dari Markus dan rekan-rekannya untuk sebuah gubuk seukuran
2×2 meter persegi di kantong parkir perusahaan swasta. Di situ juga menjadi
area parkir Holiday Inn Express Jakarta.

Tempatnya sekitar 300 meter dari Gedung Bawaslu, area
ricuh antara massa dan polisi setelah KPU mengumumkan hasil Pilpres 2019
dimenangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin. Maka, ketika polisi-polisi itu berkata
apakah ada demonstran yang memasuki tasong, mereka menjawab tak ada. Markus
menempati tasong sejak kamar indekosnya di daerah Tanah Abang terbakar. Ijazah
STM jurusan mesin miliknya dilumat api. Sembilan tahun lalu, pria ini merantau
ke Jakarta. Ia sehari-sehari bekerja sebagai tukang parkir di kawasan Gedung
Sarinah dan buruh angkut percetakan. Di antara empat rekannya ada Andriyansyah
alias Andri Bibir, yang menjadi pemandu wisata ke Bali dan Lombok.

Malam itu Andri baru pulang dari Lombok dan nongkrong
di tasong. Betapapun jarak lokasi mereka dari pusat massa di Bawaslu cuma 3
menit berjalan kaki, mereka tak menyangka bakal terjadi bentrok. Kericuhan itu,
bagaimanapun, menghalangi mereka bebas bergerak. Polisi-polisi melakukan
penyisiran. Setiap mulut gang diblokade. Alsa, kekasih Markus, tertunda pulang
ke rumahnya di daerah Jakarta Timur.



Polisi menutup gerbang parkir dan halaman depan Verse
Luxe Hotel. Polisi-polisi bersiaga. Berulangkali mereka mendengar teriakan
orang yang ditangkap polisi. Penasaran, salah satu dari mereka menjulurkan
kepala dari gerbang parkir. Polisi segera meneriakinya dan memintanya
menyingkir.

Setelahnya, mereka ketakutan melihat situasi apa pun
di luar lahan parkir. Ada suara teriakan. Ada suara ledakan entah dari petasan,
gas air mata, atau tembakan. Ada kecemasan dalam diri mereka. Sekitar pukul
03.30, Markus memberanikan diri berkata ke personel polisi terdekat agar Alsa
diizinkan melintas ke arah Jakarta Timur untuk pulang. Gerbang area parkir bisa
dibuka. ‘’Akhirnya saya pulang,” kata Alsa, lega.

“Dia [Markus] yang ambilin motor, motor didorongin.”
Siang harinya, saat Alsa berangkat kerja, Markus mengabarkan masih di areal
parkir. Warung di sekitar tutup. Ia bilang ia kesulitan mencari makan. Sekitar
pukul 21.30, Markus menelepon Alsa, mengajaknya menonton demonstrasi. Alsa
menolak. “Mau ke sini enggak?” “Ih…, sekarang lebih ramai lagi. Enggak. Kapok.
Enggak mau.” Alsa sesungguhnya khawatir, lebih-lebih mendengar Markus bercerita
matanya perih. Demi memukul mundur pendemo, polisi berulangkali menembakkan gas
air mata, yang asapnya terbawa angin hingga ke lokasi Markus berada. Alsa
meminta Markus meloncati tembok area parkir. Lalu mencari angkot. Nanti di
tempat yang tak ada kerumunan pendemo, ujarnya, ia akan menjemput Markus.
Namun, Markus mengabarkan susah mencari jalan keluar. Semua jalan bahkan jalan
tikus diblokade Brimob. Jika pergi sendiri menuruti anjuran Alsa, ujar Markus,
belum tentu nasibnya mujur. Salah-salah ia bisa saja jadi korban salah tangkap
polisi. Maka, Markus terpaksa tidur di lokasi parkir bersama empat rekannya,
termasuk dengan Andri Bibir. Ia dan Alsa masih saling mengabarkan. Pasangan
kekasih ini masih saling menelepon. Markus berkata ia lelah. Sebelum tidur, ia
mengolesi kantong matanya dengan pasta gigi. Ia mengira dengan begitu matanya
bisa menahan perih dari gas air mata. Alsa tak mengira ini adalah awal dari
perjalanan berliku mencari Markus.

Mencari Markus dari tempat tidur, setelah terjaga,
Alsa mencari-cari ponselnya. Ada dua panggilan tak terjawab dari Markus. Alsa
seketika mengontak Markus, sekitar pukul 03.30 pada 23 Mei 2019. “Halo!” kata
Alsa. “Di mana? Di mana?” “Apaan sih enggak mau angkat telepon? Ya sudah kalau
enggak mau.” Alsa berusaha terus menelepon. Ada nada sambung, tapi telepon tak
diangkat.

Sekitar pukul 5.30 Wita, nomor telepon Markus tak bisa
dihubungi lagi. Pada pukul 12.00, membawa kabar Markus ditangkap polisi, Alsa
bergegas menuju Kampung Bali dari Jakarta Timur. Namun, ia hanya melihat bercak
darah yang memercik ke tiang besi. Segalanya berbeda. Ada perasaan getir. Alsa
enggan makan. Markus, pria yang terpaut 11 tahun darinya, adalah satu-satunya
orang terdekat dan dianggap keluarga. Jika ia membutuhkan uang, “Dia nepok
celengan untuk dikasih ke saya.

”Esok harinya, Alsa memberanikan diri mendatangi Polda
Metro Jaya. Ia bertanya ke sana-kemari bahkan ke beberapa divisi, dari reserse
kriminal umum hingga reserse Brimob. Rekan-rekannya berspekulasi, jika tidak
ditahan, kemungkinan sekali Markus berada di Rumah Sakit Polri di bilangan
Kramat Jati, Jakarta Timur. Meski begitu, Alsa belum siap melihat kondisi
kekasihnya. “Belum berani,” ujarnya. Empat hari setelahnya, 28 Mei 2019, Alsa
ke RS Polri. Didampingi salah satu anggota KontraS, organisasi hak asasi
manusia yang menyelidiki korban kekerasan polisi dalam aksi di Bawaslu, Alsa
bertanya ke petugas informasi dan humas. Petugas itu memintanya ke ruang IGD
dan menyuruhnya menunggu. Lalu, Alsa disodori buku besar. Di bagian teratas
lembaran buku itu tertulis “Korban Bawaslu”. Di lembaran ketiga, urutan ke-53,
Alsa menemukan nama Markus. Umur Markus yang seharusnya 30 tahun di situ ditulis
26 tahun. Kolom alamatnya akurat, bahkan sampai nama dusun kelahiran Markus di
Kediri. “Posisi ruangan itu yang bikin saya shock,” ujar Alsa.

“Di ICU.” Saat memasuki ruangan pelayanan khusus itu
Alsa meluapkan pertanyaan ke perawat di mana ranjang Markus. Perawat itu
menunjuk ke arah Markus. Tangis Alsa pecah. Ia hanya selintas melihat Markus
terbaring di kasur. Ada selang infus dan kateter menempel di tubuh kekasihnya.
Rambutnya botak tanda yang diingat Alsa mengingat rambut Markus masih utuh sebelum
mereka berpisah di Kampung Bali, 6 hari lalu.

Seorang polisi yang menjaga Markus membawa Alsa ke
luar ruangan. Polisi itu melarangnya berlama-lama dengan Markus. Polisi itu
menjelaskan, untuk membesuk Markus, ia harus mendapatkan izin dari Polda Metro
Jaya. Alsa diminta meninggalkan nomor ponsel dan dipersilakan pulang. Seorang
pendampingnya pun diminta polisi untuk pulang. Cara Polisi: Menampilkan Andri
Bibir dalam Jumpa Pers Sebulan lalu, penyiksaan di areal parkir di Kampung Bali
itu tempat Markus dan Andriyansyah alias Andri Bibir berada beredar luas di
media sosial, dibumbui spekulasi dan pelintiran. Video itu direkam dari lahan
parkiri mobil di lantai 5B, area 15, Gedung Menara Thamrin.

Area parkir di bawahnya, yang jadi lokasi penyiksaan
tempat kerja Markus, diblokade polisi-polisi sehingga sangat susah mengetahui
apa yang terjadi jika kita tidak melihatnya dari tempat lebih tinggi. Video
berdurasi 1:34 menit itu, yang kemudian diverifikasi oleh Amnesty International
Indonesia, menggambarkan sekitar 11 polisi berseragam serba hitam—identik
dengan kesatuan Brimob—memakai helm, tameng, dan rompi antipeluru, bersenjata
laras panjang dan pentungan, secara bergantian menyiksa satu orang berbadan
kerempeng.

Pria itu ditendang di bagian dada, kepalanya dipopor
senjata, diinjak sepatu laras, pinggangnya dilempari batu. “Woy…, anak kecil
banget. Mati itu,” terdengar suara dari perekam video, kemungkinan lebih dari
satu orang. Akun-akun media sosial, dari yang pakai nama asli sampai anonim,
terutama dari pendukung Prabowo Subianto, menyebarkan video penyiksaan tersebut
sejak 23 Mei, menuding yang disiksa itu bernama Harun, korban tewas yang belum
teridentifikasi saat itu dari daftar 8 orang meninggal dalam aksi Bawaslu.
Masalahnya, Harun Al Rasyid, remaja 15 tahun, belakangan diketahui sebagai
korban tewas akibat luka tembak di kawasan ricuh Slipi, Jakarta Barat, bukan
disiksa di lahan parkir Kampung Bali.

Demi menjernihkan video penyiksaan itu, pada 24 Mei,
polisi menggelar jumpa pers di kantor Kementerian Polhukam. Dan guna menepis
orang yang “dianiaya” itu masih hidup, polisi menampilkan Andri Bibir di depan
wartawan. “Saya sakit hati dan membantu supaya pendemo semakin lebih mudah
mendapatkan batu,” ujar Andri. Polisi juga menetapkan 11 tersangka pertama
untuk kasus “kerusuhan” 21-23 Mei 2019.

Di antaranya ada nama Markus, yang dituding polisi
sebagai pelempar batu, botol kaca, dan bambu ke arah polisi. Masalahnya, ada
prosedur yang sangat mungkin diabaikan oleh polisi dalam menetapkan tersangka
itu. Dalam kasus Markus, ia masih pingsan di ruang ICU RS Polri. Selain Markus,
ada tujuh tersangka lain yang kemungkinan besar masih dirawat di rumah sakit
itu.

Polisi menggelar jumpa pers demi tujuan utama: melawan
hoaks di media sosial yang disebarkan oleh akun-akun pendukung Prabowo,
termasuk yang dicuitkan Mustofa Nahrawardaya, yang memelintir informasi bahwa
orang yang disiksa itu bernama Harun. Dua hari setelahnya, pada dini hari
Minggu, polisi menangkap Mustofa di rumahnya karena telah menyebarkan kabar bohong.
Ia segera dibawa ke dalam tahanan Bareskrim Mabes Polri.

Blokade Informasi di RS Polri Di Ruang ICU Rumah Sakit
Polri, Markus meringkuk di ranjang kedua dekat meja resepsionis. Ia tidur
miring ke sebelah kanan. Ia memakai baju pasien berwarna cokelat dan
berselimut. Tidak terlihat luka atau perban pada tempurung kepala. Dari kaca
pintu masuk, kasur Markus tidak terlihat, posisinya menjorok ke sebelah kiri,
dihalangi tembok. Saya datang ke rumah sakit itu pada Jumat, 14 Juni 2019. Saat
saya mengeluarkan ponsel, perawat mengingatkan saya agar jangan memotret. Kata perawat
itu: Kondisi Markus sudah sadar, tetapi dilarang menyampaikan ke pembesuk
mengenai gejala atau keluhan medis. “Waduh,” ujar perawat itu, “saya enggak
boleh menjelaskan.

“Anda tunggu saja di luar.” Perawat itu berkata Markus
dalam pengawasan Polda Metro Jaya. Saat saya meminta nomor ponsel polisi yang
menjaga Markus, perawat itu juga tak mengizinkan. Saya meninggalkan nomor
ponsel dan perawat itu berjanji akan mempertemukan saya dengan polisi. Sampai
kini saya tak pernah dihubungi oleh si perawat itu.

“(Koban Bawaslu) yang lain sudah pindah ruangan,” kata
si perawat perempuan itu. “Tempat lain di luar ICU.” Alsa, kekasih Markus, juga
dilarang berinteraksi dengan Markus, hanya diizinkan di depan meja resepsionis.
Di hari berbeda, saat saya mengaku sebagai wartawan dan meminta data pasien
“korban Bawaslu,” seorang pegawai bagian humas RS Polri berkata, “Kata Ibu
(AKBP) Sari Jiwanti (kepala instalasi humas RS Polri), belum ada datanya. Belum
bisa ngasih.

‘’Pada hari lain, rekan saya yang mendatangi RS Polri
sebagai pembesuk biasa tidak mengaku sebagai wartawan secara beruntung menemui
salah satu “korban Bawaslu” yang lain bernama Abdul Hakim. Melamun di kursi,
wajahnya mendongak ke langit-langit kamar pasien, dan kakinya kotor seakan
seharian berjalan di trotoar tanpa sandal, Hakim berkata ia berasal dari
Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung, dan bersama seorang rekannya terbang
dengan pesawat komersial ke Jakarta, lalu menuju Masjid Al-Islah di seberang
Sekretariat Dewan Pimpinan Pusat FPI di Petamburan, Tanah Abang. “Tangan kanan
patah tulang,” kata Hakim.

“Mungkin kena batu besar.” Hakim mengangkat baju
hingga bagian perut, dan terlihat luka sayat sepanjang satu jengkal tangan.
Luka itu sudah dijahit dan ditutupi perban. Ia berkata ia tidak tahu ulah siapa
yang bikin luka di tubuhnya. Ia pingsan saat peristiwa itu. Tasnya berisi
ponsel, uang, dan identitasnya raib. Hakim kesulitan menghubungi keluarganya.
“Yang di ICU itu orang mana? Laskar (FPI) atau simpatisan?” Hakim menanyakan
pasien bernama Markus. Kami menjawab bukan keduanya. Ia mendoakan agar Markus
lekas pulih. Markus Ingin Pulang Pada Senin pagi, 17 Juni 2019, dengan rambut
dikuncir, Alsa untuk pertama kali bisa bicara dengan Markus, nyaris sebulan
sejak mereka bertemu. Ia merinding ketika Markus berkata “ingin pulang.”
“Tangannya dingin,” kata Alsa.

“Iya, dia duduk sebentar saja sudah berkeringat,”
balas Taufan Damanik, saat itu mendampinginya, dari Komnas HAM. Kepala RS Polri
Brigjen Musyafak berkata kepada Damanik bahwa Markus punya penyakit dalam
pankreas dan hepatitis C. “Itu penyakit bawaan atau apa?” tanya Damanik.
“Penyakit bawaan,” ujar Musyafak. Pada hari itu luka benturan di tubuh Markus
nyaris sembuh. Hingga kini, Alsa terus mendampingi Markus. Kabar terakhir,
mereka mendatangi dua rumah sakit yang berbeda. Alsa ngotot menuntut keadilan
bagi Markus.
POLISI DIDUGA MELANGGAR
HAM Amnesty Internasional Indonesia menyebut personel
Brimob telah melakukan penyiksaan terhadap lima orang di area parkir di Kampung
Bali. Saat itu para anggota Brimob melakukan penyisiran secara brutal dan
melakukan tindakan buruk lainnya, menurut Amnesty. “Negara harus membawa
anggota Brimob yang melakukan penyiksaan tersebut ke pengadilan untuk
diadili,” kata Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman
Hamid.

Temuan lain dari Amnesty: polisi melakukan penahanan
sewenang-wenang, mengisolasi orang-orang yang dituduh tersangka, tanpa
memberikan akses ke keluarga maupun pengacara. “Mereka yang diduga
terlibat, termasuk mereka yang memiliki tanggung jawab komando, harus dituntut
dengan prosedur yang sesuai standar keadilan internasional,” ujar Usman.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri
Brigjen Dedi Prasetyo sendiri mengakui Brimob memukuli warga di area parkir di
Kampung Bali. Polisi, kata Brigjen Dedi, telah menurunkan personel dari profesi
dan pengamanan (Propam) untuk menindak anggotanya yang menyalahi prosedur.
Meski begitu, nyaris sebulan berlalu, saat kami bertanya kepada Brigjen Dedi
soal bagaimana proses evaluasi internal atas kejadian di Kampung Bali, Dedi
enggan menjelaskan. “Nanti dulu, nanti dulu,” katanya dalam bahasa Jawa pada 27
Juni lalu. Dia cuma memastikan bahwa peristiwa di Kampung Bali sudah didalami
tim investigasi Polri. Dan penjelasannya menunggu jadwal rilis yang ditetapkan
polisi.

Betapapun begitu, sampai kini, di lokasi penyiksaan
itu tak ada garis polisi yang bisa bikin publik ragu atas kesungguhan Korps
Bhayangkara mengusut kasus ini. Tanpa garis polisi, dan penyelidikan
secepatnya, bercak darah di beberapa titik di lokasi penyiksaan itu tersapu
waktu. Bisa-bisa yang muncul di ingatan publik: kekerasan ini adalah hoaks
belaka.

Penyiksaan di Tasong Pada 31 Mei 2019, saya mendatangi
area parkir tempat Markus terakhir kali terlihat. Dua rekannya menunjukkan
bercak darah menempel di batako. Darah itu diduga dari salah satu orang yang
disiksa secara berantai oleh sejumlah anggota Brimob. Kepala orang itu diinjak
dengan sepatu laras panjang pada Kamis, 23 Mei 2019. Saya ditunjukkan tempat
tidur Markus di bawah pohon di sebelah kanan Masjid Al-Huda. Saya juga dituntut
ke tempat tidur Andri Bibir di bagian belakang di lokasi parkir berlapis semen.
Di samping masjid terlihat pagar rusak. Rekan Markus menunjuk tiang besi
bersaput hitam dan kuning. Tingginya sekitar satu meter.

“Kepalanya dipentokin di situ,” katanya. Di pangkal
besi pintu parkir otomatis itu, ada bercak darah sepanjang 10 sentimeter.
Diduga darah itu dari luka bocor yang mengucur dari kepala Markus. Apa yang
terjadi pada 23 Mei itu dua polisi memasuki sela pagar samping kanan gerbang
smart service parking. Sebagian polisi lain meminta gerbang dibuka. Seorang
yang membantu membuka pagar langsung diseret keluar. Orang kedua dalam area
parkir itu kaget.

Ia segera memasuki ruangan kecil serupa rumah di area
parkir. Polisi mengejarnya. Di dalam rumah itu, polisi melihat orang ketiga,
seorang atasan penjaga parkir yang terbangun dari tidur. Orang kedua dan ketiga
itu dipukuli. Markus dan Andri Bibir, yang terkejut dari tidurnya, mendengar
teriakan dan dentuman benda keras. Mereka lantas dipukul dengan tangan kosong,
diinjak, dipopor senjata laras panjang, digebuki pakai pentungan, hingga
diseret oleh anggota-anggota Brimob. Dua rekan Markus, yang semula menjauh dari
area parkir untuk mencari warung makan, melihat peristiwa itu. Mereka menyebut
ada sekitar sebelas polisi di lokasi penyiksaan. Saat kejadian itu, ponsel
Markus berdering. Di daerah Jakarta Timur, Alsa tengah menghubunginya.
Sementara Markus digebuki. Ponsel Markus dibanting. Dari foto yang saya dapatkan,
layar ponsel Markus retak menjalar. Alsa kesal, tetapi dia tidak tahu bahwa
kekasihnya tengah jadi bulan-bulanan polisi. Kelima orang di areal parkir itu
lantas diseret dan dikumpulkan di depan Gedung Bawaslu. Aparat Brimob memukuli
mereka secara bergantian. Lalu, memasukkan mereka ke sebuah mobil. Penyiksaan
masih terus dilakukan di dalam mobil hingga sampai di Polda. Markus tergeletak
di dalam mobil.**

Berita terkait