Reporter: Firmansyah Lawawi
UPAYA hukum yang dilakukan warga jalan Sungai Manonda, lorong Sungai Nil di pengadilan Negeri Palu, atas 30 rumah mereka yang digusur di seputaran lokasi Likuifaksi Perumnas Balaroa bulan Oktober 2018 silam, oleh pemerintah telah memasuki tahap pembuktian surat tanah oleh warga penggugat.
Dari pantauan media ini, di lorong Sungai Nil atau seputaran sebelah Selatan dari lokasi eks Likuifaksi Perumnas Balaroa, Jumat (13/9/2019) sekitar pukul 10:00 wita, sejumlah warga korban penggusuran bersama pihak pengadilan negeri Palu, BNPB, BPBD Palu dan Pemprov Sulteng melakukan pengukuran tanah.
Kuasa hukum warga jalan sungai Nil, Yonathan Tandibua ditemui di lapangan menjelaskan, bahwa pada Senin depan (16/9/2019) agenda sidang dari kasus penggusuran rumah warga di jalan Sungai Manonda, lorong Sungai Nil akan dilanjutkan.
“Senin depan, agenda sidang dari kasus penggusuran rumah warga di lorong Sungai Nil, pembuktian surat dan saksi dari penggugat di pengadilan negeri palu, dalam hal ini masyarakat, ” jelasnya.
Menurutnya, warga lorong Sungai Nil Kelurahan Balaroa, menuntut ganti rugi kepada Negara atas penggusuran 30 rumah mereka tanpa adanya pemberitahuan maupun izin pada bulan Okober 2018 silam.
“Hingga saat ini kami belum mendapatkan kabar bahwa sebelum penggusuran, pemerintah melakukan pemberitahuan kepada warga pemilik rumah,” jelasnya.
Salah seorang warga lorong Sungai Nil, Marwan P Angku kepada Kaili Post menuturkan bahwa mereka menyayangkan terhadap pihak pemerintah dalam melakukan penggusuran rumah, tidak melakukan sosialisasi maupun koordinasi terlebih dahulu.
“Kami persoalkan karena masih banyak harta benda kami yang ada di dalam rumah tersebut. Namun mereka tidak memberikan waktu kepada kami untuk mengambilnya. Sebenarnya masih banyak harta kami yang bisa diselamatkan, Jika ada pemberitahuan sebelumnya. Kini semuanya sudah diratakan dengan tanah, ” ungkap mantan ketua KPU Palu tersebut.
Ditegaskannya, mayoritas material bangunan rumah mereka tidak mengalami kerusakan akibat gempa bumi. Semua bahan tersebut bisa digunakan kembali, untuk membangun kembali satu unit rumah. “Kerugian yang saya alami berkisar ratusan juta rupiah,” sebutnya.
Siska (40 tahun) salah seorang warga korban penggusuran lorong Sungai Nil menjelaskan, bahwa pada tanggal 23 Oktober 2018 sejumlah alat berat bersama aparat TNI mendatangi lokasi mereka. Untuk merobohkan rumah mereka.
Dia meminta agar diberikan tenggang waktu selama dua hari untuk mengangkut seluruh harta bendanya. Namun hanya diberikan kesempatan dua jam saja.
“Saya sempat menghentikan mereka yang mau merobohkan semua rumah yang ada di sini. Namun mereka mengatakan bahwa hal ini adalah perintah dari pusat. Hanya diberikan waktu dua jam untuk mengangkut semua harta benda kami. Sebelumnya tidak ada pemberitahuan penggusuran. Mereka memakai seragam TNI, ” pungkasnya.
Hal senada juga diungkapkan Wahida Ladolo (58 tahun) warga Sungai Nil yang rumahnya ikut dirobohkan tersebut mengaku, sudah berupaya untuk menghentikan penggusuran. Akan tetapi dia bersama warga lainnya tidak dapat berbuat apa-apa, karena menurut aparat hal itu merupakan perintah dari pusat.
“Kami tidak sempat lagi mengambil semua barang berharga kami. Saat ini saya tinggal di Huntara Kelurahan Duyu, ” katanya.
Di tempat yang sama, pihak pengadilan Negeri Palu, BNPBB, Pemprov Sulteng, enggang berkomentar terkait hal tersebut.
“Karena saat ini kasusnya masih dalam tahap proses, kami belum bisa berkomentar, ” ujar salah satu pejabat BNPB.***