DI TENGAH bangsa ini menghadapi kedaruratan Covid 19, tak elok bila DPR RI tidak merekonstruksi kembali watak dan sifat kenegarawanan. Yaitu kini membahas rancangan undang undang Omnibus Law. Peluang untuk menempatkan hukum sebagai konstitusi dapat diperjiangkan hingga Pengadilan Internasional.
Di Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) ke draf RUU Ciptaker. Pada Pasal 23 ayat (35) draf RUU Cipta Kerja misalnya, disebutkan bahwa, ‘setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.”
Isi pasal itu dicomot dari Pasal 88 UU PPLH. Bedanya, Pasal 88 UU PPLH menyebutkan bahwa semua orang yang kegiatan usaha yang menghasilkan atau menggunakan B3 harus ‘bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.’
Artinya, lewat pasal baru itu, pemerintah membuka peluang penggunaan B3 dalam kegiatan usaha. B3 merupakan singkatan dari bahan berbahaya dan beracun. Karakteristik limbah B3 ialah mudah meledak, mudah menyala, reaktif, infeksius, korosif, dan beracun. Limbah kategori itu secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak lingkungan, mengganggu kesehatan, dan mengancam kesehatan. Pasal 88 UU PPLH biasanya digunakan untuk menjerat perusahaan perusak serta penyebab kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kebakaran hutan dan lahan (karhutla) merupakan salah satu bencana yang paling banyak terjadi di Indonesia. Pada 2019 misalnya, tercatat ada 746 karhutla.
Hemat saya, protes hilangnya aturan mengenai izin lingkungan dan kelonggaran izin analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dalam draf RUU Ciptaker. Izin lingkungan yang diatur dalam Pasal 40 UU PPLH tak dimasukkan ke draf RUU Ciptaker.
Adapun terkait Amdal, Pasal 29, 30, dan 31 UU PPLH yang mengatur mengenai komisi penilai amdal dan kewenangan pemda terkait amdal tidak dicomot oleh penyusun draf RUU Ciptaker.
Amdal hanya diulas di sejumlah pasal di beleid itu. Pada Pasal 24 ayat (1) draf RUU Ciptaker misalnya, disebutkan bahwa dokumen amdal merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup. Pada bagian lainnya, disebutkan pemerintah pusat mengambil alih izin terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dari Pemerintah Daerah.
Pasal 34 UU PPLH yang tadinya memberi kewenangan kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk menetapkan jenis usaha yang wajib dilengkapi dengan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL) kini hanya terbatas pada pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup. Disinilah letak kekacauan yuridiksi.
Rejim ini jelas pro Modal anti Rakyat dan Ekologi Lingkungan dimana langkah pemerintah merevisi pasal-pasal terkait lingkungan hidup di RUU Ciptaker terasa janggal. Tak ada kaitan jelas antara upaya menggenjot investasi dan melindungi UMKM dengan revisi pasal-pasar yang mengatur amdal dan izin lingkungan.
“Sekarang apa buktinya? (RUU) Cipta Kerja yang merusak hak buruh dan lingkungan, plus perpajakan yang memberikan intesif bagi pelaku usaha gede. Yang mana UMKM yang mau didorong? Coba kasih tunjuk UMKM mau dilindungi Jokowi?”
Dan untuk Kementerian terkait, semisal sektor tambang, posisi Pemerintah Daerah tidak lagi punya kuasa otonomi atas Wilayah dan Sumber Daya Alamnya. Jadi sia – sia Parlemen di Daerah Buat Perda soal keberpihakan Otonomi SDA.
Saya mencontohkan penarikan kewenangan terkait perizinan, pengawasan, pembinaan, pemberian sanksi dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat. Pergeseran kewenangan tersebut dinilai bakal melumpuhkan kemampuan pemerintah daerah dalam melindungi lingkungan.
“Salah satu contoh itu Bupati Jember di Jawa Timur yang menolak ekspansi pengembangan Blok Migas Silo. Dia tolak tambang emas di sana. Artinya, model Bupati seperti ini tidak bisa berbuat apa-apa ketika kewenangan diambil pusat. Dimana kewenangan terkait perizinan, pengawasan, pembinaan, pemberian sanksi dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat. Pergeseran kewenangan tersebut dinilai bakal melumpuhkan kemampuan pemerintah daerah dalam melindungi lingkungan.
“Salah satu contoh itu Bupati Jember di Jawa Timur yang menolak ekspansi pengembangan Blok Migas Silo. Dia tolak tambang emas di sana. Artinya, model bupati seperti ini tidak bisa berbuat apa-apa ketika kewenangan diambil pusat.
Kritik keras saya juga menyoroti perubahan isi Pasal 134 UU Minerba di draft RUU Ciptaker. Di pasal itu disebutkan peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dengan kegiatan usaha pertambangan dan menghambat investasi cukup disesuaikan dengan Peraturan Presiden (Perpres).
“Jadi, itu solusinya cukup dengan Peraturan Presiden. Seolah-seolah Peraturan Presiden lebih tinggi dari undang-undang. Misalkan satu perusahaan tambang melanggar UU KLHK atau UU Air atau UU Pertanahan, solusinya cukup dengan Peraturan Presiden.’’
Sentralisme menghalau Otonomi Daerah terlihat pada pemerintah pusat menguasai Hak Warga di Daerah. Misalnya, penambahan pasal 138A UU Minerba, disebutkan pemerintah pusat turun tangan langsung dalam menyelesaikan permasalahan Hak atas Tanah bagi Perusahaan Tambang.
“Negara menjamin ketersediaan lahan bagi kegiatan usaha pertambangan, tapi tidak menjamin hak atas ruang hidup bagi rakyatnya. Ini Land Grab, yakni Monopoli tanah atas nama Negara oleh Rejim Modal.’’
Spirit Omnibus law yaitu RUU Cipta Kerja adalah mempercepat investasi, ini poinnya kata Agussalim mengakhiri protes kebijakan politik hukum ini. Sebab bagaimanapun, baru sejarahnya ada inkonsistensi spirit dari produk hukum hanya untuk menarik profit dari kekayaan ekosistem lingkungan pro RUU Cipta Kerja yang ingin meningkatkan investasi semata ? Herannya lagi, akademisi, praktisi hukum dan aktivis pro demokrasi lainnya tidak bersuara dan protes?. ***
Oleh: Agussalim SH