Feronikel; Sudah Waktunya Diekspor untuk Menaikkan Fiskal Negara dari Pajak

  • Whatsapp

Kailipost,- Beberapa pakar ekonomi energi menilai positif langkah pemerintah untuk memberlakukan pajak ekspor atau bea keluar pada produk hasil hilirisasi seperti feronikel atau nickel pig iron (NPI) yang dianggap masih bernilai rendah.

Peneliti Alpha Research Database, Ferdy Hasiman mengatakan, kebijakan tersebut merupakan langkah progresif sebagai upaya meningkatkan nilai tambah bagi produk hasil hilirisasi komoditas tambang.

Selain juga bisa menjadi instrumen untuk meredam pelaku usaha yang ingin mengirim feronikel ke luar negeri, kebijakan tersebut juga dinilai dapat menambah penerimaan negara lewat pungutan yang dikenakan kepada pelaku usaha yang kekeh melakukan ekspor feronikel.

“Ini kebijakan progresif karena dengan pungutan pajak ekspor penerimaan negara menjadi lebih banyak,” kata Ferdy saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Senin (24/10).

Meski begitu, Ferdy menaruh perhatian pada mekanisme dan lembaga yang bakal menarik pajak ekspor pada komoditas tambang. Sebab dua hal tersebut belum diatur seperti pada pengenaan tarif pungutan atas ekspor kelapa sawit oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Keuangan.

“Kalau untuk pajak ekspor tambang ini apakah ada lembaga khusus yang menangani itu atau berada langsung di bawah Dirjen Pajak atau Kementerian Keuangan,” ujar Ferdy.

Penilaian positif juga dilontarkan oleh Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan. Dia menyebut pembelakuan pajak ekspor bagi komoditas hilirisasi nikel setengah jadi tersebut bisa memberikan tambahan pemasukan bagi negara.

Mamit mengatakan, sebelum menerapkan kebijakan tersebut, pemerintah diharap sudah menyiapkan infrastrukur dan industri untuk memastikan feronikel bisa terserap seutuhnya di dalam negeri.

“Apakah mampu menyerap keseluruhan hasil feronikel ini? Kalau belum pemerintah dorong investasi lebih lanjut, program hiliriasai harus end to end,” kata Mamit lewat telepon, Senin (24/10).

Mamit melanjutkan, kebijakan pajak ekspor feronikel dapat ditingkatkan menjadi larangan ekspor apabila rantai pasok dan ekosistem industri sudah terbentuk dan berjalan baik. Hal ini, ujar Mamit, tentunya bisa menambah nilai tambah pada produk hilirisasi tambang.

“Kalau seluruhnya sudah terbentuk dan siap seutuhnya maka wajib larang ekspor 100%. Tapi kalau belum siap, gak ada salahnya untuk ada pajak ekspor,” ujar Mamit.

Pasokan Pasti Terserap
Adanya pemberlakukan pajak ekspor bagi feronikel kerap memunculkan narasi kekhawatiran pasokan yang menumpuk akibat tak terserap di industri domestik. Menurut Ferdy, narasi tersebut gugur seutuhnya karena industri hilir nikel di Tanah Air sudah tercipta akibat monopoli perusahaan Cina.

Ferdy menjelaskan, sebanyak 70% industri hilir nikel dipegang oleh perusahaan Cina di bawah PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). IMIP sendiri merupakan hasil kerjasama antara Bintang Delapan Group dari Indonesia bersama Tsingshan Steel Group dan Delong Group dari Cina.

Beberapa perusahaan asal Tiongkok juga telah sepakat menanamkan modalnya di Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah. Nilai investasi yang dikeluarkan perusahaan-perusahaan tersebut totalnya mencapai US$ 1,63 miliar atau sekitar Rp 21,7 triliun.

Lebih lanjut, kata Ferdy, dominasi Cina juga diperlihatkan dari adanya PT. Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) pada proyek smelter di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.

“Industri hilir nikel dari hilirisasi sampai membangun smelter itu mayoritas 70% perusahaan Cina. 50% dari IMIP, 11% oleh Virtue Dragon dan ada 19% dari Vale. PT Aneka Tambang hanya kebagian sekira 5-7% dari konstelasi penguasaan di hilir,” tutur Ferdy.

Dia menyebut, adanya kebijakan pajak ekpor feronikel bisa menjadi sumber daya alternatif untuk mengembangkan industri hilirisasi tambang di dalam negeri sekaligu sebagai suplai pendanaan tambahan bagi pembangunan infrastruktur dan persiapan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.

“Kalau Indonesia menerapkan pajak ekspor feronikel maka gak rugi, akan terserap semua. Karena perusahaan asing itu sudah membangun membangun smelter pengolahan dengan kapasitas besar,” jelas Ferdy.

Sebelumnya diberitakan, Pemerintah terus mendorong penambahan nilai lebih tinggi pada produk hasil tambang. Selain melarang ekspor mentah dalam bentuk bijih, pemerintah juga menerapkan pajak ekspor atau bea keluar pada produk hasil hilirisasi yang dianggap masih bernilai rendah.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, salah satu produk hilirisasi yang bakal dikenakan pajak eskpor adalah feronikel atau NPI. Langkah ini merupakan cara untuk menurunkan animo pelaku usaha yang berminat untuk mengekspor produk nikel setengah jadi seperti feronikel.

Dengan adanya kebijakan tersebut, para pelaku usaha diharap bisa lebih mengutamakan hilirisasi lanjutan dari komoditas feronikel guna meningkatkan nilai jual. Adapun feronikel merupakan hasil olahan bijih nikel kadar tinggi saprolite.

“Karena feronikel ini nilai tambahnya masih kecil,” kata Arifin saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (21/10). ***

Berita terkait