Menikah Boleh, Asal Siap: Soal Mental, Emosi, dan Finansial

  • Whatsapp

Penulis : Fathia

Pertanyaan “kapan nikah?” seolah menjadi bagian wajib dalam interaksi sosial, terutama bagi mereka yang berusia di rentang 19 hingga 25 tahun. Padahal, usia ini adalah masa krusial untuk menemukan jati diri, membangun pondasi hidup, dan menata arah masa depan. Dalam konteks ini, melahirkan anak dalam situasi kemiskinan bukan sekadar tantangan dalam banyak hal, hal itu bisa menjadi bentuk ketidaksiapan yang membebani generasi berikutnya.

Mengapa demikian? Karena membesarkan anak dalam kondisi ekonomi yang tidak stabil berdampak langsung pada kualitas hidupnya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 mencatat angka kemiskinan di Indonesia mencapai 8,57% atau sekitar 24,6 juta jiwa. Garis kemiskinan ditetapkan pada angka Rp595.242 per kapita per bulan. Bayangkan membesarkan anak dengan angka tersebut—makanan bergizi, pendidikan layak, tempat tinggal yang aman, hingga kehadiran emosional dari orang tua, semua itu memerlukan lebih dari sekadar niat baik.

Perkawinan yang matang, direncanakan secara mental, jasmani, rohani, dan finansial menjadi sebuah kebutuhan, bukan sekadar idealisme. Banyak kasus perceraian di Indonesia terjadi karena persoalan ekonomi dan kekerasan dalam rumah tangga. Maka, tidak berlebihan jika kita menyebut bahwa kesiapan finansial dan emosional adalah bagian penting dari tanggung jawab membangun keluarga.

Dalam dunia psikologi dan etika, ada prinsip bernama anticipatory responsibility, yakni kebiasaan untuk berpikir panjang sebelum mengambil keputusan besar. Menikah dan memiliki anak termasuk dalam kategori keputusan besar itu. Jika kita belum siap, bukan hanya kita yang berisiko tumbang, tapi anak yang kita lahirkan bisa menjadi korban dari keputusan yang terlalu dini.

Memang benar bahwa tidak semua ketakutan akan menjadi kenyataan. Namun, dengan perencanaan matang, kita bisa mencegah banyak hal buruk terjadi. Ketika seseorang bertanya, “kapan nikah?”, barangkali yang perlu kita jawab bukan tanggalnya, melainkan kesiapan kita sebagai individu dewasa yang sadar bahwa hidup berumah tangga bukan sekadar soal cinta, tapi tentang kesiapan untuk memikul tanggung jawab antargenerasi.

Berita terkait