Disarikan dari: kumparan/antarasulteng.com
KOTA PALU,- JANGGAL. Taman Hutan Rakyat (Tahura) Poboya, Palu, Sulawesi Tengah, yang mestinya berfungsi sebagai kawasan pelestarian alam, ternyata sudah ‘dsulap’ digunakan untuk menambang emas. Paling parah, penambangan berlangsung menggunakan merkuri atau air raksa – cairan perak beracun yang amat berbahaya bagi kesehatan.
Tim kumparan kala ke Tahura Poboya, (13/3) lalu, daerah konservasi tersebut lebih terlihat seperti area penambangan ketimbang hutan lindung. Di sepanjang sisi jalan Tahura, terdapat petak tanah seluas lapangan bola yang ditutup terpal. Petak-petak tanah itu ternyata adalah kolam rendaman bermerkuri. Pada kolam-kolam itu, merkuri dan sianida diaduk dengan pasir untuk menghasilkan emas.
“Semua kolam rendaman tersebut dimiliki oleh perusahaan ilegal,” kata Ketua Adat Poboya, Adjis Lumarekeng, kepada kumparan (kumparan.com), (14/1). Kolam rendaman berfungsi untuk mengolah batuan menjadi emas. Sistem kerjanya seperti mesin tromol atau gelundung yang menghancurkan dan menangkap butiran emas, namun dengan teknologi lebih canggih dan skala lebih besar. Baik tromol maupun kolam rendaman sama-sama menggunakan zat kimia.
Melihat teknologi pengolahan emas di Poboya, sulit dipercaya kolam rendaman seluas itu dimiliki oleh masyarakat. Aktivitas di kolam itu juga tidak terbuka seperti pada pengolahan tromol yang biasa dilakukan warga. Kolam rendaman dikelilingi tembok tinggi, bahkan beberapa dilengkapi kawat berduri. Jelas, tak sembarang orang bisa masuk dengan leluasa.
Gemuruh mesin di sekitar dinding menandakan perendaman sedang dilakukan. Berjinjit dari luar, terlihat petugas sedang membereskan pipa-pipa. Ia enggan bicara apapun. Sumber emas di kawasan Poboya sejatinya dimiliki secara legal oleh sebuah perusahaan bernama PT. Citra Palu Mineral (CPM). Kedudukan legal diperoleh CPM lewat kontrak karya tahun 1997.
CPM menegaskan, praktik penambangan emas bermerkuri tersebut bukan dilakukan oleh perusahaannya. “Kolam-kolam rendaman itu milik perusahaan ilegal. CPM tidak beroperasi karena masih proses memenuhi dokumen amdal (analisis mengenai dampak lingkungan),” kata Amran Amir, Humas CPM.
BACA SELENGKAPNYA DI HARIAN KAILI POST…!