Sumber : tirto.id –
KAILIPOST.COM,- BANGGAI- WAKAPOLRI Komjen Syafruddin mengancam akan mencopot pejabat daerah Tanjung Sari, Luwuk, Banggai, Sulawesi Tengah dengan proses pidana. Hal ini terkait 1.400 warga di daerah tersebut yang menjadi korban penggusuran oleh aparat dengan cara represif.
Menurut Syafruddin, pejabat daerah yang tidak memberikan solusi bagi masyarakat dan tetap menggusur paksa menggunakan kekuatan Polri, harus diganti.
“Saya akan investigasi dan kami akan hukum manakala itu betul terjadi, termasuk kami copot pejabat-pejabat, termasuk pemerintah daerah yang tidak memberikan jalan keluar bagi masyarakat. Kami akan investigasi dan akan kami pidanakan,” katanya di Gedung Rupatama, Mabes Polri, Jumat (23/3/2018).
Tindakan keterlaluan saat penggusuran yang dimaksud oleh Syafruddin adalah soal laporan masyarakat bahwa mereka digusur saat sedang melakukan dzikir di jalanan. Bahkan ada laporan polisi menggunakan gas air mata untuk mengusir warga yang bertahan di tempat tinggalnya.
Syafruddin menegaskan, kronologi kejadian penggusuran disebabkan adanya usaha pembebasan lahan yang akan digunakan oleh Pemda dan perusahaan. Tapi proses penggusuran dianggap tidak toleran. Syafruddin menegaskan Polri sudah mengirim tim investigasi terkait kejadian tersebut dan hasilkan akan dilaporkan Senin (26/3/2018).
“Saya memerintahkan untuk investigasi menyeluruh terhadap internal Polri dan juga pemerintah daerah manakala pemerintah daerah mau melakukan pembebasan-pembebasan lahan seperti itu supaya memberikan solusi kepada masyarakat. Berikan solusinya dulu, baru lakukan langkah-langkah pembebasan lahan,” tegasnya.
Syafruddin mengaku sudah mengirim bagian Profesi dan Pengamanan Polri ke Sulawesi Tengah untuk proses investigasi. Apabila terbukti bersalah, Syafruddin berjanji akan mencopot Kapolres Banggai, bahkan jika perlu mencopot jabatan Kapolda Sulteng.
“Itu sangat membuat tersinggung untuk umat Islam dan saya langsung perintahkan investigasi. Investigasinya menyeluruh, bukan hanya kepada internal Polri, tapi kepada pengambil kebijakan, yaitu pemerintah daerah. Akan kami proses semuanya,” katanya.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewei Sartika mengatakan masalah berawal karena masyarakat tidak terima atas putusan PN Luwuk pada media 2017 lalu. Putusan itu mengabulkan permohonan seseorang yang mengaku sebagai ahli waris tanah yang ditinggal sekitar 1.400 orang. Imbasnya, masyarakat digusur paksa oleh aparat dan menyebabkan kericuhan.
Dewi mengatakan, menurut surat BPN RI Kantor Wilayah Sulawesi Tengah nomor 899/72/VI/2017 perihal Penjelasan Eksekusi Tanah di kawasan tersebut, penggusuran tersebut sudah menyalahi aturan karena melibatkan tanah yang sudah bersertifikat oleh orang lain. Seharusnya, masyarakat tidak bisa digusur karena mempunyai sertifikat hak milik yang resmi dari Kementrian ATR/BPN.
“Ini menunjukan bahwa putusan dan eksekusi penggusuran tersebut cacat hukum,” kata Dewi.