SETENGAH ABAD GURU TUA , Anti Penjajah, Cinta Ilmu

  • Whatsapp

Foto : Al-Habib Idrus bin Salim Al-Jufri (Palu).foto:majelis taklim almunawarah
sumber     : wikipedia

AL
HABIB
Idrus bin Salim Al-Jufri atau lebih dikenal
dengan Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri atau Guru Tua (lahir
di Taris, 
HadramautYaman15 Maret 1892 – meninggal
di 
Palu22 Desember 1969 pada,
umur 77 tahun) merupakan tokoh pejuang di Provinsi Sulawesi Tengah dalam bidang
pendidikan agama Islam, sepanjang hidupnya, ulama yang akrab disapa Guru Tua
ini dikenal sebagai sosok yang cinta ilmu.

Tak hanya untuk diri sendiri, ilmu itu juga ia tularkan
kepada orang lain. Salah satu wujud cintanya pada ilmu adalah didirikannya
lembaga pendidikan Islam Alkhairaat sebagai sumbangsih nyata Guru Tua kepada
agama islam. Alkhairaat dirikan di Palu, Sulawesi Tengah, kala usia Sayyid
Idrus bin Salim Al-Jufri menginjak 41 tahun.

SIS Al Jufri dianggap sebagai inspirator terbentuknya
sekolah di berbagai jenis dan tingkatan di Sulawesi Tengah yang dinaungi
organisasi Alkhairaat, dan terus berkembang di kawasan timur Indonesia. Pada
tahun 2014 nama Sayyid Idrus bin Salim Al Jufri juga diabadikan sebagai nama
baru bandara Kota Palu dan Provinsi Sulawesi Tengah, sebelumnya bandara
kebanggaan Kota Palu bernama Bandara Mutiara atas pemberian dari presiden Soekarno,
saat pertama kali dioperasikan 1954 dengan nama Bandara Masovu, namun kemudian
berganti nama sejak 28 Februari 2014 setelah 
Menteri Perhubungan Evert Ernest
Mangindaan
 membubuhkan tanda tangan di surat keputusan
perubahan nama bandara Mutiara.

Perubahan nama bandara itu juga untuk menghargai jasa
serta perjuangan Sayyid Idrus bin Salim Aljufri dalam menyebarkan ajaran Islam
di kawasan timur Indonesia. Disaksikan Gubernur Sulawesi Tengah, Longki
Djanggola, dan pejabat Kementerian Perhubungan RI, para bupati/wali kota
se-Sulawesi Tengah dan keluarga besar Alkhairaat meresmikan operasional serta
mengukuhkan perubahan nama dari Bandara Mutiara Palu menjadi Bandara Mutiara
SIS Aljufri Palu.
[10]
SILSILAH
As-Sayyed Idrus bin Salim bin Alwi bin Saqqaf bin
Muhammad bin Idrus bin Salim bin Husain bin Abdillah bin Syaikhan bin Alwi bin
Abdullah At-Tarisi bin Alwi Al-Khawasah bin Abubakar Aljufri Al-Husain
Al-Hadhramiy yang mempunyai jalur keturunan dari Sayyidina Husain bin Fatimah Az-Zahra
Puteri Rasulullah SAW.
Hafal Al Quran pada usia 12 tahun
Pada 15 sya’ban 1309 H bertepatan dengan 15 Maret 1892 M.
Sayid Idrus adalah putra keempat dari enam bersaudara, beliau berasal dari
keluarga yang baik, berilmu, beramal, bertaqwa dan lemah lembut. Tiada dari
kalangan mereka, selain ulama yang muslih dan da’i. Ayahnya Habib Salim seorang
ilmuwan dan tokoh yang memiliki banyak karangan dan tulisan dari berbagai
bidang ilmu, ia memegang jabatan Qadhi dan mufti di negerinya.

Kakeknya, Habib Alwi adalah pemimpin dan ilmuwan yang
masyhur, termasuk lima ahli fiqh 
Hadramaut yang
fatwa mereka termuat dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin karangan Sayyed
Abdurrahman Al Masyhur. Kakeknya yang kedua, Al-Habib Saqqaf di antara ulama
yang terkenal dari dua faqih dan memegang jabatan Qadhi di 
Hadramaut. Ibunya,
Syarifah Nur Aljufri (Andi Syarifah Nur, mempunyai hubungan kekeluargaan dengan
Aru Matoa atau Raja yang dituakan di Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi
Selatan.

Habib Idrus belajar ilmu agama dan bahasa bermula dari
ayahnya, Al-Allamah Salim bin Alwy Aljufri, termasuk pula ulama-ulama lain yang
berada di 
Hadramaut. Beliau hidup dan besar dalam lingkungan
ilmu pengetahuan dan senantiasa melazimi para ulama serta mengambil dan
menimbah ilmu dari sumber yang murni.

Habib Idrus seringkali diajak oleh ayahnya untuk
menghadiri lingkaran studi majelis ta’lim di Taris dan Tarim. Pada usia 12
tahun, Habib Idrus mampu menghafal 
Al-Qur’an dan
menguraikan dua ratus ayat dalam hal hukum Islam.

Melihat Potensi yang dimiliki Habib Idrus, ayah Beliau
Al-Habib Salim melihat bahwa kelak anak nya ini bisa menggantikannya. Beliaupun
mendidik anaknya tersebut secara khusus. Habib Salim membuatkan kamar khusus
bagi anaknya agar dapat berkonsentrasi dalam belajar. Habib ldrus kemudian
mendalami berbagai llmu seperti tafsir, hadits, tasawuf, fiqih, Tauhid, Mantiq,
ma’ani, bayan, badi’, nahwu, sharaf, falaq, tarikh dan sastra.

Selain pada ayahnya, Habib ldrus juga berhasil
menyelesaikan pendidikan formalnya pada lembaga perguruan tinggi Ari-Rabithul
Alawiyah di Taris, dan banyak memiliki karya-karya dalam bentuk syair-syair
berbahasa Arab.

Pada usianya yang tergolong amat muda, kurang lebih
berusia 19 tahun, ia telah menjadi seorang ulama yang terkenal di tanah airnya.
Habib Idrus juga belajar kepada Para Ulama dan Auliya’ di 
Hadramaut,
di antaranya adalah :

      Al-Habib
Muhsin bin Alwi Assegaf,
      Al-Habib
Abdurrahman bin Alwi bin Umar Assegaf,
      Al-Habib
Muhammad bin Ibrahim bilfaqih,
      Al-Habib
Abdullah bin Husein bin Sholeh Al-Bahar,
      Al-Habib
ldrus bin Umar Al-Habsyi, dan
      Al-Habib
Abdullah bin Umar As-Syathiri di Rubath Tarim.
BERANGKAT KE MEKKAH
Kemudian pada tahun 1327 H. atau sekitar tahun 1909 M
bersama sang ayah, Habib ldrus berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah
haji dan berziarah ke makam Rasulullah SAW di 
Madinah.
Di sana mereka menetap selama enam bulan. Selama itu, Habib Salim memanfaatkan
waktunya untuk mengajak putranya berziarah kepada para ulama dan Auliya’ yang
berada di Hijaz pada masa itu, untuk meminta berkah, do’a serta ijazah dari
mereka. Salah satunya kepada Sayyid Abbas Al-Maliki Al-Hasani di 
Mekkah.
Habib Salim kemudian membawa putranya kembali ke 
Hadramaut.

Diangkat sebagai Mufti dan Qadhi
Pada bulan Syawwal 1334 H bertepatan dengan tahun 1916,
ayahnya wafat. Habib Idrus kemudian memimpin lembaga pendidikan yang didirikan
oleh ayahandanya. Dan pada tahun itu pula Habib ldrus diangkat oleh Sultan
Mansur sebagai Mufti dan Qadhi di kota Taris, 
Hadramaut,
untuk menggantikan posisi ayahnya, padahal usianya saat itu baru 25 Tahun.

Amanah dan pencapaian itu mengisyaratkan bahwa beliau
adalah orang yang berilmu pengetahuan luas dan berwibawa. Walau jabatan sudah
di tangan, Idrus muda tak pernah silau dengan keduniawian. Ia tetap kritis
terhadap lingkungan sosial di negerinya. Bahkan, ia rela melepas jabatan mufti
ketika memilih jalan menentang imperialisme Inggris. Sikap itu pula yang kemudian
membawanya datang untuk kali kedua ke Indonesia. Perjalanannya yang kedua di
tahun 1922 terjadi akibat perjuangan politiknya untuk membebaskan negaranya
dari penjajahan Inggris.

HIJRAH KE INDONESIA

Perjalanannya ke Indonesia yang pertama kali ketika beliau
berumur kurang lebih 17 tahun. Habib salim membawa Habib ldrus berlayar ke
Indonesia tepatnya di Kota Manado untuk menemui ibunya Syarifah Nur AI-Jufri
serta Habib Alwi dan Habib Syekh yang merupakan kedua saudara kandung Habib
ldrus yang telah terlebih dahulu hijrah ke Indonesia.

Setelah beberapa waktu di Indonesia, Habib ldrus dan
ayahnya kembali ke 
Hadramaut. Setibanya di Hadramaut,
Habib ldrus mengajar di Madrasah yang dipimpin oleh ayah beliau. Dan Kemudian
menikah dengan Syarifah Bahiyah dan dikaruniai tiga orang putra dan putri,
yaitu Habib Salim, Habib Muhammad dan Syarifah Raguan.

Semenjak tahun 1839 M Hadramaut berada
dalam penjajahan lnggris. Beliau bersama sahabatnya Habib Abdurrahman bin
Ubaidillah As-Saqqaf, keduanya merupakan tokoh agama dan wakil dari para ulama
lain yang memelopori perjuangan kemerdekaan, mereka membenci penjajah dan
sekutunya serta suasana kacau yang berkembang di Hadramaut khususnya wilayah
Arab sebelah Utara secara keseluruhan. Keduanya bersepakat untuk menyalakan api
perlawanan terhadap penjajah dan sekutunya dan mereka adalah orang yang pertama
kali menghidupkan api tersebut.

Mereka berpendapat bahwa berhubungan dengan negara-negara
Arab yang merdeka dan dunia luar adalah sesuatu yang amat penting untuk
mengubah keadaan di dalam negeri sekaligus memerdekakan negara secara total.

Dengan mengemban tugas politik yang sangat berbahaya
itu, Maka Habib Idrus menyusun suatu rencana untuk tujuan menjelaskan keadaan
negerinya kepada masyarakat Arab dan dunia secara keseluruhan dengan cara
keluar melalui pelabuhan Aden selanjutnya ke Yaman dan Mesir.

Beliau menyadari risiko yang dapat mengancam jiwanya,
karena intelijen negara dan mata-mata pemerintahan Inggris terus memperhatikan
gerak-geriknya terhadap langkah yang akan ditempuhnya akan tetapi perjalanan
itu harus dilakukan.

Rencana dan segala perlengkapan yang telah disiapkan
dengan tepat dan matang serta penuh kehati-hatian tersebut, hampir membuahkan
hasil jika tidak dibocorkan rahasianya oleh penghianat yang mengambil
kesempatan untuk keuntungan pribadi.

Beliau ditangkap tiba-tiba setelah sampai di pelabuhan
Aden, kemudian dokumen-dokumen yang ada padanya dirampas serta mendapat
larangan dari pemerintahan Inggris untuk keluar dari pelabuhan Aden untuk
tujuan ke Negeri Arab akan tetapi diizinkan untuk kembali ke Hadramaut atau
pergi ke Asia Tenggara. Maka beliau memutuskan untuk pergi ke Indonesia,
sedangkan sahabatnya, Sayid Abdurrahman bin Ubaidillah Assagaf memilih kembali
ke 
Mekkah.

Dalam buku Perguruan Islam Alkhairaat dari Masa ke Masa
yang disusun oleh Pengurus Besar Alkhairaat disebutkan bahwa Indonesia bukan
negeri asing dan baru bagi Sayyid Idrus, Ia pertama kali datang ke negeri ini
pada saat berumur kurang lebih 17 tahun bersama ayahnya dengan maksud
mengunjungi sanak keluarga yang berada di Pulau Jawa dan Sulawesi, Kunjungan
keduanya pada tahun 1922 berkaitan erat dengan sikap dan perlawanannya yang
keras terhadap imprealisme Inggris di negarinya, pilihan ke Indonesia tidak
hanya melepaskan kerinduannya dengan kampung halaman neneknya, tetapi sekaligus
menetap dan berkiprah untuk umat Islam di Indonesia.

PEKALONGAN

Beliau masuk ke Indonesia dan menetap di Pekalongan
untuk beberapa waktu lamanya dan menikah dengan pasangan hidupnya Syarifah
Aminah binti Thalib Al-Jufri dan bersama menikmati pahit manisnya kehidupan. Ketika
itu beliau berdagang kain batik tetapi tidak mendapat kemajuan karena cintanya
kepada dunia pendidikan melebihi dari segala-galanya.

Dari pernikahan tersebut beliau dikaruniai dua anak
perempuan, Syarifah Lulu’ dan Syarifah Nikmah. Syarifah Lulu’ kemudian menikah
dengan Sayyid Segaf bin Syekh AI-Jufri, yang salah seorang anaknya adalah Dr.
H. 
Salim Segaf Al-Jufri, Menteri Sosial Indonesia ke-26
dan 
Duta Besar RI untuk Kerajaan Arab Saudi dan Kesultanan Oman Periode
2005-2009. Habib Idrus kemudian meninggalkan perdagangan dan beliau pindah
ke 
Solo.

SOLO

Di Solo,
dengan dibantu oleh Sayid Ahmad bin Muhammad (mantan muridnya di Hadramaut)
yang sudah lama mukim di Solo, mewujudkan niatnya untuk mendirikan madrasah
yang diberi nama “Perguruan Arrabithah Alawiyah”.

Beliau dilantik sebagai Guru dan Kepala Sekolah di
Madrasah Rabithah Al-Alawiyyah. Setelah beberapa tahun beliau pindah ke Jombang
dan tinggal beberapa lama di sana.

JOMBANG

Pada tahun 1926, beliau pindah ke kota Jombang. Habib
Idrus berkenalan dengan beberapa tokoh Islam di antaranya K.H. 
Hasjim Asy’ari pendiri
organisasi 
Nahdlatul ‘Ulama (NU)
di Jombang yang juga pemimpin 
Pondok Pesantren Tebuireng. Pertemuan
kedua tokoh ini menjalin persahabatan yang sangat baik, karena keduanya sama-sama
pimpinan agama, terutama karena keduanya mempunyai ikatan pemahaman yang sama
yakni sebagai penganut paham Imam Syafi’I (ahli sunnah wal-jamaah).

INDONESIA TIMUR

Kemudian beliau memulai perjalanannya ke Timur Indonesia
untuk memberi petunjuk dan berdakwah di jalan Allah. Antara lain di Maluku dan
menetap untuk beberapa bulan lamanya sambil melakukan lawatan dan dakwah
bebeberapa wilayah kecamatan seperti Bacan, Jailolo, Morotai, Patani, Weda,
Kayoa dan sebagainya, selanjutnya ke Sulawesi Utara, Sulawesi selatan,
Kalimantan dan Irian Barat.

Beliau kemudian berlayar menuju Manado, atas ajakan
kakak beliau Habib Alwi bin Salim Aljufrie yang berada di Manado. Ketika
kapalnya singgah bersama rombongan menginjakkan kaki pertama di Pelabuhan Wani,
Kabupaten Donggala, pada 1929, Habib ldrus menggunakan kesempatan itu untuk
berkonsolidasi dengan komunitas Arab yang dipimpin Syekh Nasar bin Khams
Al-Amri, di situ beliau mengutarakan tentang rencananya untuk mendirikan
madrasah di Kota Palu.

Setibanya di Manado, Habib ldrus mendapatkan telegram
tentang hasil musyawarah masyarakat arab yang ada di Kota Palu mengenai
pendirian Madrasah. Pada akhirnya disepakati bersama bahwa sarana pendidikan
berupa gedung akan disiapkan oleh masyarakat Arab Palu, sedangkan gaji guru,
Habib ldrus yang akan mengusahakannya.

PALU

Pada tahun 1930 M Guru Tua pun pindah ke Kota Palu yang
kala itu bernama “Celebes” pada masa penjajahan Belanda, setelah
mendapat undangan dari beberapa tokoh bangsa Arab di Palu dan Wani yakni
Ibrahim bin Zain, Sayid Muhammad bin Muhsin Rifai dan Sayid Ahmad bin Ali
Almuhdar di Wani Kecamatan Tawaeli.

Kehadiran Guru Tua di Wani merupakan wujud dari keinginan
masyarakat setempat yang ingin mengenal Islam lebih baik, menggunakan ruangan
Toko Haji Quraisy di Kampung Ujuna sebagai ruangan belajar mengajar dan
kemudian pindah ke rumah Almarhum Haji Daeng Maroca di Kampung Baru (Depan
Masjid Jami-Kampung Baru).

Rupanya di Palu inilah memberikan inspirasi yang kuat
untuk tinggal dan menetap dalam rangka melakukan dakwahnya setelah menyaksikan
keadaan masyarakat yang masih sangat terbelakang dalam pemahaman ajaran Islam.
Pemerintah Belanda yang saat itu menduduki Donggala tidak memberikan izin
pendirian madrasah karena dianggap bisa memengaruhi pemikiran rakyat saat itu,
sebagian pengikut Guru Tua di Wani dituduh terlibat pemberontakan Salumpaga di
Tolitoli.

Guru Tua akhirnya mendirikan sekolah di Palu, sekitar 30
Kilometer dari Wani. Madrasah tersebut bernama Alkhairaat. Dan pada tanggal 30
Juni 1930 M setelah mengurus perizinan pendirian dan surat-surat lainnya ke
pemerintah Hindia Belanda, maka, diresmikanlah Madrasah AI-Khairaat di Kota
Palu. Kepindahan perguruan Alkhairaat ke Palu tidak serta merta bebas dari
pengawasan Pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda dikabarkan juga sempat
melarang Perguruan AlKhariraat karena ajaran Guru Tua, khususnya yang bersumber
dari kitab Izhatun Nasyi’in, karya Musthafa Al-Ghalayani.

Salah satu strategi yang digunakan agar cepat diterima
masyarakat Palu, Sayid Idrus menerima saran dari beberapa tokoh masyarakat,
Guru Tua pun memutuskan untuk menikahi salah seorang bangsawan Puteri Kaili
yang juga merupakan sosok perempuan yang sangat berperan dalam pengembangan
Yayasan Alkhairaat Pusat. Dengan ketetapan hati dan petunjuk dari Allah SWT
pada tahun 1931 M Guru Tua pun menikahi Intje Ami Dg.Sute.

Dari perkawinan ini beliau dikaruniai dua orang puteri,
Syarifah Sidah Aljufrie dan Syarifah Sa’diyah Aljufrie.

KEMATIAN

Habib ldrus tidak meninggalkan karangan kitab, namun
karya besarnya adalah AI-Khairaat dan murid-muridnya yang telah memberikan
pengajaran serta pencerahan agama kepada umat. Mereka para murid-murid
AI-Khairaat menyebar di seluruh kawasan Indonesia untuk meneruskan perjuangan
sang Pendidik yang tak kenal putus asa ini.

Salah satu murid beliau yang melanjutkan dakwahnya
adalah Ustad Abdullah Awadh Abdun, yang hijrah dari kota Palu ke Kota Malang
untuk berdakwah dan mendidik para muridnya dengan mendirikan pesantren Daarut
Tauhid di Kota Malang.

Tahun 1968, Habib Idrus mengalami sakit parah, selama
delapan bulan ia meminum jus kurma. Walaupun dalam keadaan sakit, ia tetap
menjalankan majelis mengajar setiap waktu. Masih dalam suasana ldul Fitri,
sakit parah yang telah lama diderita Habib ldrus kembali kambuh. Bertambah hari
sakitnya semakin berat.

Maka, guru, Ulama dan Sastrawan itu wafat, pada hari
senin 12 Syawwal 1389 H betepatan dengan 22 Desember 1969 M. sebelum menjelang
detik-detik kewafatannya, Habib ldrus sudah mewasiatkan tentang siapa saja yang
memandikan jenazah, imam shalat jenazah, tempat pelaksanaan shalat jenazah,
siapa yang menerima jenazah di Liang lahat, muadzin di liang lahad, sampai yang
membaca talqin di kubur.

Habib ldrus telah mempertaruhkan seluruh hidupnya dalam
mengarungi perjalanan panjang dengan berbagai sarana ke kepulauan di sekitar
Sulawesi dan Muluku untuk menyiarkan pengetahuan Islam. Beliau berpindah dari
satu pulau ke pulau yang lain menggunakan perahu sampan, gerobak sapi dan
kenderaan lainnya bahkan dengan berjalanan kaki dengan bermacam risiko,
tantangan dan bahaya yang selalu mengancam di setiap saat.
Akan tetapi Habib ldrus selalu merasakan kenikmatan di
antara pertaruhan jiwanya dan beliau rela memberikan apa saja meski jiwanya
sekalipun. Ketabahannya dalam mengarungi pelayaran itu sampai berbulan-bulan
lamanya. Dan kadang-kadang perjalanan itu di tempuh dengan berjalan kaki jika
tidak mendapatkan alat-alat transportasi Hingga akhir hayatnya, Sayid Idrus
berhasil membangun 420 madrasah yang tersebar di seluruh wilayah Palu.

WARISAN

Bangunan sekolah yang pertama adalah di bangun atas
biaya beliau sendiri di kota Palu, yang merupakan sekolah Islam yang pertama di
Negeri Palu dan kemudian berkembang menjadi cabang-cabang mencapai ratusan
madrasah tersebar di kota-kota dan kampong-kampung di bagian Timur Indonesia
yang diberi nama “ALKHAIRAAT”, dengan harapan optimis dan keberkatan dari nama
tersebut yang banyak kali di sebut dalam Al-Qur’an dan secara resmi madrasah
tersebut di buka pada tanggal 14 Muharram 1349 H bertepatan dengan 11 Juni
1930.

Peresmian itu di hadiri oleh para pemuka-pemuka Arab
yang tinggal di Palu dan sebagian petinggi-petinggi negeri. Dalam
perkembangannya, pengelolaan Madrasah sepenuhnya ditangani oleh Habib ldrus.
Para murid yang belajar di sana tidak dipungut biaya sama sekali. Hal ini
karena Habib ldrus mengadaptasi sistem pendidikan arab yang pada umumnya tidak
memungut biaya kepada para muridnya. Sehingga para murid lebih fokus dalam
belajar. Habib ldrus memberikan gaji kepada para guru dan staf sekolah dari
hasilnya berdagang.

Habib ldrus mengajar para santrinya dengan penuh
dedikasi dan profesionalitas yang tinggi. Keikhlasan dan keuletan beliau telah
membuahkan hasil. Perguruan AI-Khairaat waktu itu telah menghasilkan guru-guru
Islam yang handal yang kemudian disebarkan ke seluruh pelosok Sulawesi Tengah,
Sulawesi Utara, Maluku, dan lrian Jaya.

Pada tanggal 11 Januari 1942, Jepang menduduki
Sulawesi dan menjadikan kota Manado sebagai pusat pangkalan di Kawasan Timur
Indonesia. Tidak berselang lama stelah itu, Jepang memerintahkan penutupan
perguruan AI-Khairaat. Selama tiga setengah tahun kependudukan Jepang, Habib
ldrus tidak menyerah sedikitpun untuk mengajar para muridnya. Proses belajar
mengajar tetap berlangsung meskipun secara sembunyi-sembunyi. Lokasi
pembelajaran dialihkan ke desa Bayoge, yang berjarak satu setengah kilometer
dari lokasi perguruan Al-Khairaat. Pengajarannya dilaksanakan pada malam hari
dan hanya menggunakan penerangan seadanya, para muridnya datang satu persatu
secara sembunyi- sembunyi.

Tepat saat kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal
17 Agustus 1945 Habib ldrus kembali membuka perguruan AI-Khairaat secara resmi.
Beliau berjuang kembali untuk mengembangkan dakwah dan pendidikan Islam. Hingga
selama kurun waktu 26 tahun (1930-1956) lembaga yang telah dirintisnya ini
telah menjangkau seluruh kawasan Indonesia Timur.

Waktu terus berjalan tahun berganti tahun hingga pada
tahun lima puluhan Sayid Idrus mulai mengembangkan pendidikan Islam Alkhairaat
ini membuka berbagai jenis pendidikan dan strata diataranya Ibtidaiyah,
Muallimin empat tahun, dan enam tahun, madrasah lanjutan pertama (MLP), setara
dengan SMP, Pendidikan Guru Agama (PGA), serta Perguruan Tinggi Islam (UNIS)
pada tahun 1964 M dengan nama Universitas Islam Al-Khairaat dengan tiga
fakultas di dalamnya, yaitu: Fakultas Sastra, Fakultas Tarbiyah, dan Fakultas
Syariah. Dan Habib ldrus sebagai Rektor pertamanya.

Ketika terjadi peristiwa pemberontakan G30S PKI pada
tahun 1965, perguruan tinggi AI-Khairaat dinonaktifkan untuk sementara. Para
Mahasiswanya diberikan tugas untuk berdakwah di daerah-daerah terpencil kawasan
Sulawesi. Hal ini sebagai upaya untuk membendung paham komunis sekaligus
melebarkan dakwah Islam. Setelah keadaan kondusif, pada tahun 1969 perguruan
Tinggi AI-Khairaat dibuka kembali.

Sejak berdiri tahun 1930, saat ini Alkhairaat telah
menaungi sekitar 1.700 madrasah, 43 pondok pesantren dan satu perguruan tinggi,
[18] Lembaga
pendidikan tersebut masih eksis beroperasi yang tersebar di 12 Provinsi dan 84
kabupaten/kota.
[18] Selain
itu Alkhairaat juga memiliki rumah sakit yang dikelola secara mandiri.
[18] Saat
ini ratusan ribu guru telah tersebar di pelosok-pelosok kampung untuk
mengabdikan diri mereka mengembangkan Alkhairaat.
[18] Al-Khairaat
saat ini merupakan lembaga sosial keagamaan terbesar di kawasan Timur Indonesia
yang berpusat di kota Palu yang memiliki puluhan cabang di kabupaten/kota dan
provinsi.

Haul “Guru Tua”

Bagi warga (Abna’) Alkhairaat, setiap tahun setelah hari
raya Idul Fitri, tepatnya 12 Syawal, merupakan hari istimewa. Ribuan umat Islam
dari berbagai daerah di kawasan Indonesia timur dan sebagian barat
berduyun-duyun datang ke Palu, Sulawesi Tengah.

Tujuannya yaitu menghadiri acara haul (peringatan
wafatnya) tokoh dan tonggak Islam di kawasan Indonesia Timur, Guru Tua Alhabib
Idrus bin Salim Al Djufri. Di sinilah, penebar Islam asal Hadramaut yang juga
merupakan turunan Rasulullah saw, menghabiskan separuh usianya di Indonesia,
dimakamkan.

Pada tahun 2003, dikabarkan belasan ribu umat Islam dari
berbagai daerah di Indonesia memperingati Haul ke-34 H. Sedangkan pada tahun
2006, Hampir seluruh pejabat sipil dan militer se-provinsi Sulteng hadir pada
acara ini, di antaranya Gubernur Sulteng HB Paliudju, Ketua DPRD Sulteng Murad
Natsir, Wali kota Palu Rusdi Mastura, Ketua DPRD Kota Palu Mulhanan Tombolatutu
dan Bupati Donggala Ardjad Lamarauna. Bahkan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara, 
Taufiq Effendi, berbaur bersama ribuan
Abnaul Alkhairaat.

Kemudian pada Haul Guru Tua ke-42 dihadiri Mensos Salim Segaf Al-Jufri, Menteri Kelautan
dan Perikanan, 
Fadel Muhammad,
Ketua Komisi VIII DPR RI 
Abdul Kadir Karding, Pimpinan FPI Habib RizieqAzyumardi Azra serta
sejumlah pejabat pemerintah daerah dari berbagai daerah di Kawasan Timur
Indonesia.

Di tahun 2013, pada acara haul ke-45, Haul tersebut
dihadiri 50 ribu abnaulkhairat atau jamaah dan simpatisan al-Khairat. Ketua
Umum al-Khairat pada saat itu, Habib Ali bin Muhammad bin Idrus al-Jufri
mengatakan, haul bertujuan mengingat sejarah. “Lewat haul, kita mengenang
perjuangan Guru Tua dalam dakwah dan pendidikan.” Guru Tua merupakan sosok
pendidik gigih. Beliau gemar mengajar dan menyayangi murid-muridnya. Selain
itu, Guru Tua juga sangat mencintai ilmu. Selama ini, beliau terkenal dengan
kemampuannya dalam ilmu syariah dan syair. Syair-syairnya dalam bahasa Arab pun
selalu dibacakan saat perayaan haul.

Berita terkait