DI SETIAP perhelatan pemilu kepala daerah (pilkada), petahana cenderung sebagai pemenang. Dua Petahana yang maju Pilkada serentak 2018 di Sulteng, 100% kembali berkuasa untuk lima tahun ke depan. Petahana di Kabupaten Parigi Moutong maju berpasangan dengan wakilnya, sedangkan Kabupaten Donggala pecah kongsi dengan wakilnya dan saling bertarung.
Kewenangan petahana menyetujui jumlah anggaran Pilkada yang diajukan penyelenggara Pilkada menguatkan dominasinya sebagai peserta, dan ditengarai sebagai salah satu penyebab kemenangannya. Petahana atau inkumben (incumbent) adalah pejabat publik berkewenangan.
Tesaurus Bahasa Indonesia menuliskan kata “tahana” merupakan kata benda (nomina) yang bersinonim (sin) dengan kedudukan, martabat, persemayaman, prestise, tahta. Petahana bisa diartikan orang yang mempunyai nomina dari “tahana”, berkedudukan, bermartabat, berpersemayaman, berprestise, atau bertakhta.
Petahana sering diartikan kepala daerah yang mencalonkan di pilkada. Merujuk pengertian Tesaurus itu, petahana tak hanya kepala daerah yang mencalonkan saja. Wakil kepada daerah seperti wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota tanpa konteks pemilu pun merupakan petahana.
Ada banyak sebab keterpilihan petahana kepala daerah masih dominan. Pemilih sebagai rakyat yang daerahnya dipimpin petahana sangat mungkin merasa puas sehingga ingin melanjutkan kepemimpinan petahana melalui pilihan di pilkada. Bisa juga, pemilih tak puas dengan petahana tapi karena para calon lain dinilai tak lebih baik, petahana kembali mendapat suara terbanyak.
Tapi ada aspek yang memang makin menguatkan dominasi petahana yang mencalonkan lagi di pilkada, yaitu anggaran. Pengamat pemilu, Aceng Lahay menjelaskan, besaran anggaran pilkada yang diajukan KPU kabupaten disetujui kepala daerah yang bisa mencalonkan lagi di pilkada.
Petahana calon akan merasa berposisi sebagai pemberi anggaran yang bisa mempersulit atau memperlancar kerja penyelenggara. KPU daerah penyelenggara akan merasa berposisi sebagai penerima. “Di sini KPU di daerah bisa tersandera kemandiriannya sebagai penyelenggara pilkada. Penting untuk mengubah sumber anggaran pilkada dari APBD menjadi APBN,” tegas Aceng.
Keadaan relasi tak setara dari dominasi petahana terjadi pula dalam aspek kontestasi. Kewenangan anggaran oleh petahana yang bisa mencalonkan makin menciptakan relasi tak setara antara petahana calon dengan calon lainnya. Keadaan ini bertentangan dengan cita kesetaraan kontestasi pilkada melalui fasilitasi kampanye oleh KPU dan pembatasan anggaran kampanye para calon.
Dari para petahana di Donggala dan Parmout, ada kecenderungan memperlancar anggaran pilkada. Bentuknya bisa memenuhi 100% anggaran pilkada yang diajukan KPU kabupaten. Bentuknya bisa juga melebihkan anggaran pilkada yang diajukan KPU daerah sebagai penyelenggara.
Aspek kewenangan anggaran petahana kepala daerah dalam menentukan anggaran pilkada berpotensi mengintervensi prinsip “free and fair”. Kesetaraan sebagai bagian nilai dari kebebasan jelas terganggu dengan salah satu konstestan yang berwenang menentukan anggaran kompetisi.
Pada dasarnya, sistem pemilu satu putaran (pluralitas) yang pertama kali diterapkan di Pilkada 2015 dan dilanjutkan di Pilkada 2017 lalu 2018 telah menguatkan dominasi petahana sebagai calon dan makin memperbesar peluang keterpilihan. Kontestasi pilkada menjadi jauh lebih ketat sehingga calon yang punya ragam modal finansial dan popular lebih diuntungkan. Petahana kepala daerah pun bermodal dikenal warga karena selama 5 tahun berkuasa memimpin daerah.
Di luar jalur perseorangan yang makin diperberat persyaratannya, pencalonan kepala daerah di jalur partai pun mendorong petahana kepala daerah yang mencalonkan lagi, tak mendapat banyak lawan. UU No.10/2016 tentang Pilkada mengatur syarat pencalonan kepala daerah jalur partai menyertakan syarat minimal kepemilikan kursi DPRD atau perolehan suara partai atau koalisi partai pengusung. Pasal 40 bertuliskan, 20 persen kursi DPRD atau 25 persen raihan suara pemilu legislatif terakhir.
Pentingnya membahas keterpilihan petahana kepala daerah adalah untuk perbaikan pilkada berikutnya. Evaluasi keterpilihan petahana kepala daerah bukan mempermasalahkan hasil keterpilhannya. Menjelaskannya pun bukan untuk menggalang gerakan antipetahana, lalu menyarankan pilihan ke kontestan lain atau kolom kosong.**
Reportase: Ikhsan Madjido