Relokasi, Dengarkan Masyarakat

  • Whatsapp
Reporter: Dedy

SEBELUM Pemerintah
merelokasi ke Hunian
tetap (Huntap), terhadap para korban bencana gempa bumi, likuefaksi, dan tsunami
pada 28 September 2018 silam
, sebaiknya
melakukan diskusi terlebih dulu dengan para korban.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulteng, Yahdi
Basma mengatakan setelah beberapa bulan pasca terjadinya bencana alam di
Sulteng, pemerintah saat ini telah masuk dalam
masa pemulihan.
Tentunya diprioritaskan warga yang menjadi korban bencana untuk dipulihkan .

“Yang dipulihkan itu adalah korban bencana. Maka, nomor satukan
kepentingan sosiologis korban diatas semuanya, Infrastruktur itu ke dua
manusianya dulu yang harus dipastikan. Sehingga untuk memastikan, korban harus
diajak ngomong atau diskusi sebelum mengambil keputusan teknis soal relokasi ke
Huntap ini,” kata
Yahdi, Selasa (9/4/2019).

Menurutnya, dirinya mewakili masyarakat menolak keras ketika pemerintah
setempat berupaya melakukan pembebasan lahan untuk pembangunan Huntap terhadap
para korban pengungsi, tanpa ada pertemuan intens dilakukan antara pemerintah
dengan para korban.

“Soal pembebasan lahan untuk Huntap, kami akan menolak keras  dengan tegas relokasi tanpa dilakukan upaya
pertemuan terlebih dahulu dengan korban bencana,” ungk
apnya.

Lanjutnya, ketika
hal ini tidak diperjuangkan mereka tentu akan direlokasi ke Huntap yang
bertempat di Kelurahan Tondo Kecamatan Mantikulore Kota Palu, Kelurahan Talise
Kecamatan Mantikulore Kota Palu, dan Kelurahan Layana Kecamatan Mantikulore
Kota Palu, tiga tempat ini ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur
Sulawesi Tengah.

Dirinya menjelaskan, tiga titik tempat yang telah ditentukan oleh pemerintah tidak akan mungkin para korban tersebut
mau pindah dari tanahnya atau sekitar tanahnya. Pasalnya, mereka telah menjiwai
lingkung
annya
dan sudah menjadi sumber pendapatan mereka.

“Tidak mungkin mereka mau dipindahkan begitu saja. Apalagi,  tempat yang disedikan itu ada di kaki
gunung,” ujarnya. Dia  menawarkan
alternatif relokasi, misalnya disepanjang teluk Palu ini ada titik yang
merupakan tanah Negara dan milik privat yang belum ditempati, kemudian Negara
mempunyai otoritas dan kemampuan untuk memindahkan para korban dilahan
tersebut.

“Dan itu jauh lebih mulia dari pada memindah paksakan warga pada area
Huntap yang tidak diinginkan warga,” tuturnya
.

Sementara itu, rencana relokasi ini juga mengundang penolakan dari  warga pengungsi di Kelurahan Lere Kecamatan
Palu Barat, Suandi menuturkan  soal
relokasi ke Huntap yang telah disediakan oleh pemerintah setempat, mengunda
ng penolakan dari seluruh warga. Pasalnya, lokasi
Huntap yang ditawarkan oleh pemerintah yang terletak di area kelurahan Tondo
itu berjauhan dengan tempat semula mereka.

“Warga korban pengungsi di kelurahan Lere itu semuanya tidak mau
direlokasi, soalnya mata pencah
arian mereka ini hanya di laut, dan hasil melautlah warga Lere dapat
menyekolahkan anak-anaknya bahkan sampai diperguruan tinggi. Jadi, kalau warga
di relokasi jauh dari mata pencah
arian mereka, kasian,” ungkapnya.

“Sedangkan, ditempat pengungsian saja sekarang ini, biasanya mereka
pergi melaut kadang-kadang masih lambat, apalagi kalau tempat tinggalnya nanti
itu sudah jauh dari laut. Maunya kami itu lokasi pembangunan Huntap itu tetap
diarea Kelurahan Lere saja, kan masih banyak tanah kosong di Lere ini, supaya
warga ini tidak dijauhkan dari mata pencahriannya,” ujarnya
.

Lanjut Suandi, ketika pemerintah tetap ngotot tidak mengikuti kemauan
warga, mereka akan kembali ketempat semula untuk melakukan pembangunan.

“Minimal kita tetap ditempatkan ditempat ini, kalau tidak pemerintah
harus bangunkan kita ketempat semula, itu saja yang kami minta. Sementara,
hanya kita saja yang ingin direlokasi tapi bangunan-bangunan yang ada di
pesisir pantai tidak dilakukan penindakan juga sama pemerintah,” uj
arnya.

Sebenarnya warga terima zona merah itu, tapi dengan catatan seluruh
bangunan entah itu hotel dan sebagainya yang letaknya di pesisir pantai itu
harus dihilangkan semua. Selain itu, pihak warga juga menawarkan solusi terkait
lahan-lahan mereka minta untuk dibebaskan, ketika pemerintah tetap menetapkan
kawasan kampung Lere tersebut adalah zona merah dan warga tetap harus di
relokasi.

“Kalau pemerintah memang mau bayar kita punya lokasi silahkan, yang
penting sesuai dengan harga berapa permeternya. Kami di
posko pengungsian ini semuanya berjumlah 205 tenda
dengan jumlah jiwa 817 jiwa,” imbuhnya.***

Berita terkait