OPINI: ‘Jokowi People Power’ dan People Power Ala Eggy

  • Whatsapp
banner 728x90

Penulis : Andry Djayadi
Pembina di FPPT (Forum Pemuda Peduli Desa Toribulu)

‘Jokowi People Power’ adalah 
sebuah buku yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Buku tersebut
ditulis oleh Bimo Nugroho dan M. Yamin Panca Setia. Buku ini ditulis untuk
merekam fenomena gerakan rakyat yang saat itu habis-habisan mendukung Jokowi
pada Pilpres 2014.
Dijelaskan, dalam buku tersebut bahwa gerakan rakyat
atau ‘people power’ menemukan
momentumnya. Namun, ‘people power’ dalam buku tersebut dalam konteks pemilu
yang demokratis.
Di sisi lain Eggy Sujana adalah politisi PAN yang kini
menjadi tersangka tindak pidana Makar karena orasinya
terkait pernyataannya soal ‘people power’ saat berorasi di
depan rumah Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto, Jalan Kertanegara, Kebayoran
Baru, Jakarta selatan Selasa 17 April 2019.
People power berarti “kekuatan rakyat.” Secara bahasa people power terdapat dalam pasal 1 ayat (2)  UUD NRI 1945 yang berbunyi Kedaulatan
berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”

sehingga People power sepanjang
dimaknai sebagai “kedaultan rakyat.”  
Ia Sah dan konstitusional selama dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku artinya People
power
yang dimaksud masih sebatas sekumpulan massa yang melakukan orasi, baik
lisan atau tulisan sebagaimana yang di jamin oleh Pasal 28 UUD NRI yakni “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang.
” Maka itu sah-sah saja dan aparat penegak hukum wajib
melindunginya dan menjamin kebebasan itu.
Namun mana kala People power sudah bermaksud untuk menyerang atau menggulingkan
pemerintahayang sah Maka dia telah berubah makna menjadi tindak pidana Makar.
Soal hari ini adalah, kurangnya pemahaman hukum  yang dimiliki oleh masyrakat, Pejabat pemerintah
dan para Politisi dalam mengartikan teks dan konteks hakikat
“people power” Itu sendiri, apalagi dengan
luasnya “penafsiran-penafsiran
people
power
” yang pada akhirnya menakibatkan kekacauan gramatikal sistem hukum
dan makin menambah ketidakpastian hukum itu sendiri. Khususnya dalam memahami
makna
People power, Makar dan Pemufakatan jahat terkadang masyarakat
dan para Elit Politik menjadi ambigu dan berkesan menerapkan standar ganda.
Sebagai Negara hukum tentunya untuk memahami istilah-istilah hukum tersebut haruslah
digunakan pendekatan konsep hukum bukan pendekatan lain apalagi menggunkan
prasangka sendiri.

People power bukanlah sebuah tindak pidana mana kala jika hanya serangkain kegiatan
berkumpul dan berapat atau menyampaikan pendapat baik lisan atau tulisan karena
ini adalah hak asasi manusi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun
atau oleh siapapun (
non derogable rights.), justru ia dijamin dan dilindungi oleh
konstitusi. Namun manakala bermaksud “menyerang” kekuasan, menggulingkan
pemerintahan yang sah maka itu telah masuk menjadi perbuatan Makar

Lantas bagaiman cara mengukur Makar dan
permufakatan jahat,,,? Dalam PASAL 107 kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) Menyebutkan
:

Pasal 107
(1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan
pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(2) Para pemimpin dan pengatur Makar tersebut
dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
sementara paling lama dua puluh tahun.

Tentulah maker yang dimaksud disini adalah
perbuatan yang telah Nampak permulaan pelaksannanya untuk menggugulingkan
pemerintah yang sah baik disertai niat jahat, tetapi jika hanya sbatas dugaan
niat dan/ fikiran itu belumlah dapat di kategorikan sebagai sebuah tindak
pidana. Dalam ilmu hukum dikenal sebuah prinsip hukum yang berbunyi
Cogatitionis
poenam Nemo Patitur ;
artinya tidak seorang pun dapat dihukum karena
apa yang dipikirkan atau yang ada dihatinya. 

Sehingga untuk mengukur tindak pidana Makar harus memenuhi 2 unsur
mutlak percobaan, yakni niat dan persiapan permulaan disertai bukti-bukti yang
dapat diduga kuat sebagai sebab, dapat terjadinya tindak pidana Makar. Hal ini
penting untuk menjamin tujuan hukum yakni kepastian hukum dan perlindungan HAM
bagi seluruh warga Negara Indonesia tanpa kecuali. Bahkan saking pentingya hak
bicara di Negara hukum demokrasi seperti Indonesia seorang tokoh seperti Voltaire pernah berkata, “Saya tak setuju pendapat tuan. Tapi hak
tuan menyatakan pendapat itu akan saya bela sampai mati.

Demokrasi tanpa kebebasan orasi adalah sebuah
keniscayaan. Kebebasan dan keberagaman warga Negara harus dilindungi. Karena
tak semua individu itu buruk, dan tak semua pejabat negara itu malaikat, harus
diciptakan sistem check and balance.
Tak ada lagi prinsip “the king can
do no wrong.”
Superman itu tak ada di dunia nyata. Raja Presiden dan
rakyat bisa salah-bisa benar.!











Berita terkait