PWI Sulteng Sayangkan Sikap Polres Parmout

  • Whatsapp

Reporter: Firmansyah Lawawi

PERSATUAN Wartawan Indonesia (PWI)
Sulteng, melalui Ketuanya, Mahmud Matangara menyayangkan sikap Polres Parmout
dengan menetapkan tersangka wartawan sekaligus pemilik koran Online Indigo,
Gencar Djarot (39). Djarot dijadikan tersangka terkait laporan mantan Direktur
RS Anutalako Parigi. Ia dilapor karena penulisan berita kebijakan rumah sakit yang
melakukan penahanan surat tanah milik pasien miskin yang tak sanggup melunasi
biaya berobat di RS tersebut.

‘’Semestinya, pihak
penyidik Polres Parmout mengacu pada undang-undang Pers Nomor 40, tahun 1999.
Berdasarkan wawancara saya dengan saudara Djarot, berita tersebut masuk dalam
kategori delik Pers. Artinya penulisan beritanya sudah sesuai dengan kode etik
jurnalis,’’ ungkap Mahmud Matangara kepada sejumlah wartawan di ruanganya, Rabu
(17/7/2019).

Olehnya, kata ketua PWI
Sulteng, seharusnya penyidik Polres Parimo, menggiring pihak pelapor melakukan
hak jawab. Sesuai dengan undang-undang Pers. ‘’Saya sangat berharap kepada
pihak penyidik Polres Parimo, agar masalah tersebut mengacu sesuai dengan
undang-undang Pers, ” tandasnya.

Selain itu, kata Mahmud
Matangara,  antara pihak kepolisian
Negara Republik Indonesia dan Dewan Pers, telah terjalin nota kesepahaman (MOU)
Nomor 11/DPMOU/2012 dan Nomor 05/11/2012 tentang koordinasi dalam penegakan
hukum serta perlindungan kemerdekaan Pers.

“Manakala seorang
wartawan melakukan pemberitaan sesuai dengan delik Pers. Tentunya mati hidupnya
sudah disitu. Saya akan melakukan perlawanan agar wartawan tersebut jangan
sampai dikriminalisasi,” tegasnya.

Jika hal tersebut
dibiarkan, lanjut Mahmud ke depannya semua jurnalis di Sulteng atau di
Indonesia, akan masuk penjara karena pemberitaanya. ‘’Pihak penyidik harus
berhati-hati dalam menetapkan tersangka terhadap karya jurnalis yang memang
investigasinya sesuai kaidah jurnalis maupun masuk dalam delik Pers. Belum bisa
dialihkan perkaranya ke tindak pidana umum dan UU IT. Karena ada UU Pers yang
mengaturnya,’’ tandasnya.

Oleh karena itu, Mahmud
Matangara berharap kepada pihak Polri RI agar melakukan sosialisasi Memorandum Of Understanding kepada
jajarannya. “Pers tidak bisa dibungkam terkait pemberitaan. Apalagi
menyangkut masyarakat,’’ paparnya.

Dari release Serikat Media
Siber Indonesia (SMSI) Sulteng, k
ronologi masalahnya berawal Pada tanggal 03 Januari 2019,
koranindigo.online melakukan konfirmasi kepada direktur BLUD RSUD Anuntaloko
Parigi, Nurlaila Harate, terkait penahanan/sita surat kepemilikan tanah milik
pasien warga Desa Pelawa, Kecamatan Parigi Tengah, Kabupaten Parigi Moutong,
Sulawesi Tengah (Sulteng), bernama Arfian Jaya (alm).

Penahanan/sita surat kepemilikan tanah tersebut
disebabkan keluarga Arfian Jaya (alm) tidak mampu membayar biaya rawat inapnya
di RSUD Anuntaloko Parigi sebesar Rp3 juta lebih.  Dikarenakan Nurlela Harate sedang tidak berada
ditempat, maka dilakukan konfirmasi per telepon kepada Nurlela Harate.

Dalam konfirmasi per telepon itu, Direktur RSUD
Anuntaloko Nurlela Harate menyatakan bakal sita apapun barang senilai “hutang”
pasien yang tidak mampu membayar, termasuk surat kepemilikan hak tanah, sepeda
motor bahkan ponsel.

Maka, setelah mendapatkan pernyataan Direktur BLUD
Anuntaloko, Nurlela Harate, pada 30 Januari 2019, pukul 14.46 wita berita
tersebut dilansir.

Isu terkait penahanan/sita barang pasien miskin
oleh BLUD RSUD Anuntaloko tersebut menjadi isu memicu reaksi dari masyarakat
Parigi Moutong, bahkan berujung pada aksi massa mengecam kebijakan itu, dan
berakhir pada hearing dilakukan oleh DPRD Kabupaten Parigi Moutong.

Dalam hearing DPRD itu, Nurlela Harate menyatakan
mundur dari jabatan sebagai Direktur BLUD RSUD Anuntaloko dan pindah di
Kabupaten lain. Pada Senin, 04 Maret 2019, wartawan koranindigo.online bernama Gencar
Djarot selaku penulis berita tersebut mendapatkan surat panggilan Polres Parigi
Moutong akibat laporan dilakukan bekas Direktur RSUD Anuntaloko Nurlela Harate.

Laporan itu terkait dengan dugaan tindak pidana
“Mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya
informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan
pencemaran nama baik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 Ayat (3) Jo Pasal 27
Ayat (3) Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan Undang-Undang No. 11
Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik, dan menyusul pemanggilan
lainnya, sehingga pada Tanggal 25 Juni 2019 Gencar Djarot dinyatakan sebagai tersangka.

Tindakan Kepolisian Resor Parimo terkesan
mengabaikan Undang Undang Pers No 40 Tahun 1999 serta MoU antara Dewan Pers dan
Polri,serta sangat mengancam kebebasan Pers di Sulteng Khususnya serta Di
Indonesia pada Umumnya.

Untuk menghadapi Tindakan diskriminatif Polres
Parimo, Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Sulawesi Tengah menggandeng Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Sulteng untuk mengadvokasi kasus ini. Sementara itu, Oktaf
Riyadi selaku Ketua Bidang Advokasi / pembelaan Wartawan di PWI Pusat mengecam
keras tindakan Kepolisian Resor Parimo terkait penetapan Status tersangka
Kepada Genjar Djarot,wartawan yang juga pemilik Media Koranindigo.online akibat
tulisannya.

“Seharusnya Polisi mengedepankan penerapan UU
Pers Terkait kasus ini, jangan ada unsur kriminalisasi dalam masalah ini, ini
adalah masalah serius yang mengancam kebebasan Pers ditanah air, kita harus
bersikap ” tegas Oktav Ryadi melalui Sambungan Telepon kepada Sekertaris
Pengurus SMSI Sulteng, Syahrul.

Rencananya Tim Kuasa Hukum Gencar Djarot akan
melakukan Praperadilan terhadap Polres Parmout dipengadilan Negeri Parimo atas
penerapan tersangka Kliennya yang dinilai sangat prematur.**

Berita terkait