Tiga Wujud Penyalahgunaan Wewenang dalam Hukum Administrasi

  • Whatsapp
banner 728x90

sumber: w.wordpres.com/dipost 2017
Terkait tindak pidana penyalahgunaan
wewenang jabatan ini, dimuat dalam pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor
20 Tahun 2001, “Bahwa setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama dua puluh
tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00.”
Pengertian mengenai penyalahgunaan
kewenangan dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud,
yaitu:
1.     
Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan
pribadi, kelompok atau golongan;
2.     
Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat
tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari
tujuan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan
lainnya;
3.     
Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur
yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah
menggunakan prosedur lain agar terlaksana.
Pada dasarnya, penyalahgunaan
kewenangan mempunyai karakter atau ciri sebagai berikut:
1.     
Menyimpang dari tujuan atau maksud dari suatu pemberian kewenangan.
Setiap pemberian kewenangan kepada
suatu badan atau kepada pejabat administrasi negara selalu disertai dengan
“tujuan dan maksud” atas diberikannya kewenangan tersebut, sehingga penerapan
kewenangan tersebut harus sesuai dengan “tujuan dan maksud” diberikannya
kewenangan tersebut. Dalam hal penggunaan kewenangan oleh suatu badan atau
pejabat administrasi negara tersebut tidak sesuai dengan “tujuan dan maksud”
dari pemberian kewenangan, maka pejabat administrasi Negara tersebut telah
melakukan penyalahgunaan kewenangan.
2.     
Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas
legalitas.
Asas legalitas merupakan salah satu
prinsip utama yang dijadikan  dasar dalam setiap penyelenggaraan
pemerintahan, terutama dalam sisitem hukum kontinental. Pada negara demokrasi
tindakan pemerintah harus mendapatkan legitimasi dari rakyat yang secara formal
tertuang dalam undang-undang.
3.     
Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan
asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Asas-Asas Umum penyelenggaraan
negara dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan
Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme meliputi, a.
Asas kepastian hukum; b. Asas tertib penyelenggaraan Negara; c. Asas
kepentingan umum; d. Asas keterbukaan;  e. Asas proposionalitas; f. Asas
profesionalitas; dan g. Asas akuntabilitas.
Penyalahgunaan kewenangan sangat
erat kaitan dengan terdapatnya ketidaksahan (cacat hukum) dari suatu keputusan
dan atau tindakan pemerintah/penyelenggara negara.  Cacat hukum keputusan
dan atau tindakan pemerintah/penyelenggara negara pada umumnya menyangkut tiga
unsur utama, yaitu unsur kewenangan, unsur prosedur dan unsur substansi, dengan
demikian cacat hukum tindakan penyelenggara negara dapat diklasifikasikan dalam
tiga macam, yakni: cacat wewenang, cacat prosedur dan cacat substansi. Ketiga
hal tersebutlah yang menjadi hakekat timbulnya penyalahgunaan kewenangan.
Dasar pengujian ada atau tidaknya
penyalahgunaan ini adalah peraturan dasar (legalitas) sebagai hukum positif
tertulis yang melatar belakangi ada atau tidaknya kewenangan saat mengeluarkan
suatu keputusan, artinya ukuran atau kriteria ada atau tidaknya unsur
“menyalahgunakan kewenangan” haruslah berpijak pada peraturan dasar mengenai
tugas, kedudukan, fungsi, susunan organisasi dan tata kerja.
Penyalahgunaan kewenangan yang
diatur dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 bukanlah
satu-satunya bentuk penyalahgunaan kewenangan. Selain penyalahgunaan kewenangan
dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tersebut,
terdapat tiga bentuk penyalahgunaan lainnya yaitu tindak pidana penyuapan
kepada aparatur negara, tindak pidana gratifikasi kepada aparatur negara dan
tindak pidana pemerasan oleh pejabat/aparatur negara. Ketiga bentuk tindak
pidana korupsi tersebut masing-masing diatur dalam pasal tersendiri dalam UU
Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001.
Untuk tindak pidana korupsi suap
ini, diatur dalam Pasal 5 dengan ancaman pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit
Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,-
(dua ratus lima puluh juta rupiah), baik terhadap pemberi suap maupun terhadap
penerima suap.
Gratifikasi diatur dalam Pasal 12B,
Gratifikasi yang nilainya Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh
penerima gratifikasi, sedangkan yang nilainya kurang dari Rp.10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut dilakukan oleh
penuntut umum.
Ancaman pidana bagi pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya adalah pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Pada hakekatnya, gratifikasi adalah
pemberian kepada pegawai negeri/penyelenggara negara dan bukan merupakan suap.
Gratifikasi merupakan suap apabila diberikan oleh si pemberi gratifikasi
berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugas si
penerima gratifikasi sebagai pegawai negeri.
Perbedaan prinsip antara ketiga
bentuk penyalahgunaan kewenangan tersebut diatas dengan penyalahgunaan
kewenangan dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001
adalah bahwa terjadinya ketiga bentuk penyalahgunaan kewenangan tersebut tidak
disyaratkan harus berimplikasi terhadap kerugian negara atau kerugian
perekonomian negara, sedangkan terjadinya penyalahgunaan kewenangan pada Pasal
3, mensyaratkan harus terdapat implikasi kerugian negara atau kerugian
perekonomian negara.
Jika dilihat pada penanganan kasus
pejabat yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, hampir terjadi pada setiap Kementerian dan Lembaga,
termasuk pada Kementerian Agama juga tidak luput dari adanya pejabat yang
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.
Upaya dari pemerintah untuk
memerangi korupsi dan dalam rangka percepatan pemberantasan korupsi, Presiden
melalui Inpres Nomor 5 Tahun 2004, telah menginstruksian kepada para Menteri
Kabinet Indonesia Bersatu agar melakukan langkah dan program kongkrit
percepatan pemberantasan korupsi;  Kemudian Inpres Nomor 9 Tahun 2011
tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.
Terakhir Inpres No 2 Tahun 2014
tanggal 21 Maret 2014 tentang Aksi Penceghan dan Pemberantasan Korupsi Tahun
2014. Semakin gencar upaya pemerintah untuk memberantas Korupsi ini, tetapi
kenyataannya korupsi bukan berkurang, Korupsi makin menggeliat untuk meningkat.
Bahkan realitas korupsi telah dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari
“Lintas Kekuasaan”.
Bentuk-bentuk penyalahgunaan
wewenang jabatan yang biasanya sering terjadi dalam tatanan birokrasi adalah
pemberhentian pejabat struktural yang bertentangan dengan aturan
perudang-undangan, dimana dalam hal pemberhentian pejabat struktural menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 100 tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah Nomor 13
tahun 2002 tentang perubahan PP Nomor 100 Tahun 2000 pasal 10 menyebutkan bahwa
Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dari jabatan struktural karena :
1.     
mengundurkan diri dari jabatan yang didudukinya;
2.     
mencapai batas usia pensiunan;
3.     
diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil;
4.     
diangkat dalam jabatan struktural lain atau jabatan fungsional;
5.     
cuti di luar tanggungan negara, kecuali cuti di luar tanggungan
negara karena persalinan;
6.     
tugas belajar lebih dari 6 (enam) bulan;
7.     
adanya perampingan organisasi pemerintah;
8.     
tidak memenuhi persyaratan kesehatan jasmani dan rohani; atau
9.     
hal hal lain yang ditentukan dalam peraturan perundang undangan
yang berlaku.
Namun kenyataannya sering terjadi,
banyak pejabat struktural diberhentikan tidak memenuhi persyaratan dalam pasal
10 PP Nomor 100 tahun 2000 tersebut, dan prosedur pemberhentian dari jabatan
manakala pejabat yang diberhentikan tersebut melakukan pelanggaran disiplin,
juga tidak dilakukan sebagaimana ketentuan dalam PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang
Disiplin PNS Pasal 24 ayat (1) “Sebelum PNS dijatuhi hukuman disiplin setiap
atasan langsung wajib memeriksa terlebih dahulu PNS yang diduga melakukan
pelanggaran disiplin”. Ayat (2) “Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara tertutup dan hasilnya dituangkan dalam bentuk berita acara
pemeriksaan”.
Menurut hukum, bahwa manakala
terjadi penyalahgunaan wewenang dalam bentuk pemberhentian dari jabatan tidak
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku ini, maka sudah
seharusnya Surat Keputusan pemberhentian dari jabatan tersebut adalah cacat
hukum, sehingganya tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak sah menurut hukum.
Atas tindakan dan kejadian seperti ini, maka pejabat yang diangkat untuk
menggantikan pejabat yang diberhentikan juga tidak sah, karena pejabat yang
resmi dan sah masih berhak atas jabatan tersebut dan begitu juga atas tunjangan
jabatannya.
Bentuk penyalahgunaan wewenang
jabatan yang masuk kategori tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 3 UU
Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001 adalah manakala pejabat yang
diberi amanah telah melakukan tindakan korupsi karena penyalahgunaan kewenangan
jabatannya seperti pengadaan barang dan jasa tanpa melalui proses sesuai
prosedur pengadaan dalam Perpres Nomor 54 tahun 2010 yang berakibat terjadinya
kerugian negara, maka perbuatan tersebut masuk dalam kategori penyalahgunaan
wewenang jabatan  (abuse of power).
Contoh pada Kementerian Agama adalah
keputusan Mahkamah Agung RI No. 1287 K/Pid.Sus/2013 tanggal 30 Juli 2013 atas
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh oknum pejabat Kementerian Agama
terkait jabatannya sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada salah satu
perguruan tinggi negeri di Jawa Barat. Dan Keputusan Mahkamah Agung No. 1709 K/Pid.Sus/2013
tanggal 13 Januari 2014 atas tindak pidana korupsi terkait jabatannya 
sebagai Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri.
Keputusan lembaga penegak hukum
tersebut atas dua contoh penyalahgunaan wewenang jabatan, sudah memiliki
kekuatan hukum tetap (inkrach) dan sudah dilakukan eksekusi atas putusan
tersebut. Namun terkait dengan penyalahgunaan wewenang jabatan yang membawa
akibat pelanggaran administrasi seperti contoh kasus pembebasan jabatan diatas,
itu belum ada tindakan hukum atas pejabat yang melakukan penyalahgunaan
wewenang jabatan, disinilah peran Inspektorat Jenderal sesungguhnya untuk
mengawal tegaknya hukum dan memberikan kepastian hukum bagi pejabat pada
Kementerian Agama.
Pertanyaannya adalah sejauhmana
independensi Inspektorat Jenderal dalam melakukan tugasnya terkait dengan
kewenangan yang dimiliki dapat dilaksanakan? jawabannya kembali pada komitmen
pimpinan untuk menegakkan aturan, demi adanya kepastian hukum dan perlakuan
yang sama kepada setiap orang pada lembaga ini.
Mengingat masih banyaknya terjadi
penyimpangan pada Kementerian Agama, dan itu merupakan penyalahgunaan wewenag
jabatan, maka sudah sepatutnya aparat pengawasan internal Kementerian Agama
untuk bekerja maksimal dan sungguh-sungguh. Tantangan Inspektorat Jenderal kedepan
tidaklah ringan, karena lingkaran kekuasaan pada Kementerian Agama banyak
dipengaruhi oleh  pihak eksternal Kementerian Agama, dimana sepanjang
pimpinan tertinggi kementerian ini dipegang oleh pejabat partai politik, maka
sulit untuk dihindari terjadinya  comflik of interes antara kepentingan
organisasi kementerian dan organisasi partai politik.
Upaya maksimal yang bisa dilakukan
oleh Inspektorat Jenderal dan setiap PNS adalah mengunakan hak hukum
Inspektorat Jenderal sebagai lembaga pemerintah untuk berkoordinasi dengan
aparat penegak hukum manakala menemukan adanya pelanggaran hukum, sebagaimana
diamanahkan dalam Inpres Nomor 5 tahun 2004 diktum ke delepan, yaitu
berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bank
Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ombudsman
Republik Indonesia, Lembaga Perlindungan  Saksi dan Korban, serta Mahkamah
Agung.
Sementara bagi PNS juga memiliki hak
hukum yang diberikan oleh konstitusi yaitu, manakala mengetahui telah terjadi
suatu tindak pidana, maka wajib segera untuk melaporkan kepada Penyelidik atau
penyidik, sebagaimana diatur dalam pasal 108 ayat (3) KUHAP (UU Nomor 8 Tahun
1981). Selengkapnya pasal 108 ayat (3) KUHAP berbunyi “Setiap pegawai negeri
dalam melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang
merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau
penyidik”.
Walaupun setiap PNS diberikan hak
hukum untuk melaporkan atas terjadinya suatu tindak pidana kepada penyelidik atau
penyidik, namun sampai saat ini, belum ada PNS Kementerian Agama yang
menggunakan hak hukumnya tersebut. Hal ini disebabkan karena ketidak tahuan
atas hukum, juga karena rasa takut kalau diketahui telah melaporkan kepada
aparat penegak hukum oleh pihak pejabat atau pegawai yang dilaporkan tersebut.
Kedepan semoga Inspektorat Jenderal
bisa memberikan kepastian hukum atas pejabat dan pegawai Kementerian Agama yang
diperlakukan secara melawan hukum dalam bentuk penyalahgunaan wewenang jabatan
oleh pejabat yang memiliki kewenangan dan Inspektorat Jenderal menggunakan hak
hukumnya untuk berkoordinasi dengan aparat penegak hukum dalam hal manakala
terjadi korupsi pada Kementerian Agama. Begitu juga semoga setiap PNS yang
memiliki hak hukum untuk melaporkan kepada penyelidik atau penyidik apabila
mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana oleh
pejabat Kementerian Agama. ***

Berita terkait