CEK DATA: Kurun 13 Tahun, 56 KD Terpidana Korupsi

  • Whatsapp
banner 728x90

Sumber:
tirto.id
KOMISI Pemberantasan
Korupsi (KPK) akhirnya menahan Gubernur Jambi Zumi Zola pada Senin (9/4/2018).
Zumi sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus gratifikasi.
Selang dua hari kemudian, KPK menangkap Bupati Bandung Barat Abubakar. Ia juga
telah ditetapkan sebagai tersangka pemberian suap. Zumi Zola dan Abubakar
merupakan pejabat daerah terakhir yang ditahan KPK.

Mereka menambah panjang daftar pejabat
daerah yang terlibat kasus korupsi. Terhitung sejak 2005, sebanyak 56 kepala
daerah ditetapkan melakukan tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi itu
menimbulkan kerugian tidak hanya pada pemerintah daerah terkait, tetapi juga
negara. Besarnya kerugian negara itu bisa dilihat berdasarkan Laporan Ikhtisar
Hasil Pemeriksaan Semester I tahun 2017 dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
yang memuat hasil pemantauan penyelesaian kerugian negara/daerah tahun 2005
sampai 30 Juni 2017.

Nilai kerugian terbesar ada pada
pemerintah daerah, yaitu sebesar Rp3,52 triliun atau 80 persen dari total nilai
kerugian negara/daerah dengan status telah ditetapkan. Kerugian ini timbul,
salah satunya, lantaran korupsi. Beberapa kasus korupsi dengan kerugian negara
ditangani aparat pemerintah seperti KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan. Kasus
korupsi yang merugikan negara dan/atau daerah ini salah satunya dilakukan
Barnabas Suebu, Gubernur Papua periode 2006-2011. 

Berdasarkan jabatan, bupati paling banyak
ditetapkan sebagai pelaku korupsi ketimbang kepala daerah dengan jabatan
lainnya, yaitu sebanyak 30 orang. Pelaku terbanyak kedua adalah walikota dengan
jumlah 12 orang. Sementara di tingkat provinsi, korupsi dilakukan oleh 11
gubernur.

Dari 56 kasus korupsi, sebanyak delapan kasus
korupsi dilakukan oleh kepala daerah di provinsi Sumatera Utara. Kasus korupsi
kepala daerah terbanyak selanjutnya berada di Papua, Riau, dan Jawa Barat
–masing-masing melibatkan sebanyak lima kepala daerah. Apabila dilihat
berdasarkan sebarannya, dari 19 provinsi, kepala daerah pelaku korupsi banyak
ditemukan di wilayah Sumatera dengan total 22 kepala daerah. Kedua tertinggi
ada di Jawa, yaitu sebanyak 14 kepala daerah pelaku korupsi.

Salah satu sebab menjamurnya korupsi di daerah
adalah lemahnya pengawasan pemerintah pusat di daerah. Minimnya sistem check
and balances mengakibatkan penyalahgunaan wewenang kerap terjadi. Kausa lainnya
adalah mengakarnya politik dinasti di daerah. Politik dinasti memungkinkan satu
keluarga memimpin suatu daerah hingga beberapa generasi, dan ini membikin
keluarga tersebut punya akses besar terhadap penguasaan sumber daya. Contohnya
adalah (keluarga) Atut Chosiyah di Banten.

Korupsi yang dilakukan kepala daerah ini terkait
penyalahgunaan anggaran dan wewenang, pengadaan barang dan jasa, dan penyuapan.
Dari beberapa jenis tindak pidana korupsi tersebut, modus korupsi terbanyak
adalah penyuapan –termasuk di dalamnya adalah gratifikasi. Total kepala daerah
yang melakukan suap berjumlah 26 orang, dengan rincian 14 kepala daerah terlibat
penyuapan dan 12 kepala daerah kedapatan menerima gratifikasi.


Pidana penyuapan ini, salah satunya,
dilakukan Arwin As, Bupati Siak dua periode (2001-2011), yang menerima uang
dari PT. Bina Darya Bintara, PT. Seraya Sumber Lestari, PT. Balai Kayang
Mandiri, PT. Rimba Mandau Lestari, dan PT. National Timber and Forest Product
terkait penerbitan Ijin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman
(IUPHHK-HT). 

Tindak korupsi ini memperkaya diri sejumlah
Rp850 juta dan merugikan keuangan negara Rp301,654 miliar. Sementara kejahatan
suap berbentuk gratifikasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 12b UU Tindak Pidana
Korupsi, dilakukan Annas Maamun, Gubernur Riau periode 2014-2019. Ia menerima
hadiah atau janji dalam kasus alih fungsi lahan kebun kelapa sawit di Kabupaten
Kuantan Singingi Riau.


Jenis tindak kejahatan korupsi terbanyak
berikutnya adalah penyalahgunaan anggaran, yaitu sejumlah 21 kasus. Dalam hal
ini, kepala daerah mengelola APBD seolah milik sendiri. Misalnya digunakan
untuk membeli mobil, modal ikut pemilihan umum, atau menjamu tamu.

Korupsi cara ini dilakukan oleh Syaukani Hassan
Rasi, Bupati Kutai Kartanegara periode 1999-2006. Salah satunya, Syaukani
menggunakan dana kesejahteraan rakyat/bantuan sosial dalam APBD Kabupaten Kutai
Kartanegara 2005 untuk memperkaya diri sejumlah Rp7,750 miliar. Total kerugian
negara akibat perbuatan Syaukani adalah Rp120,251 miliar.

Vonis Ringan Untuk
Koruptor
Sayangnya penetapan terdakwa rasuah
tidak diikuti dengan vonis hukuman yang bersifat memberikan efek jera.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat vonis terhadap terdakwa korupsi
menunjukkan tren putusan ringan atau lebih menguntungkan para koruptor. Data
tersebut didasarkan pada pemantauan dan pengumpulan data vonis tindak pidana
korupsi mulai tingkat Pengadilan Tipikor, Pengadilan Tinggi, hingga Mahkamah
Agung, baik kasasi maupun Peninjauan Kembali (PK). 

Rata-rata vonis yang dijatuhkan pada kepala
daerah yang telah ditetapkan sebagai pelaku korupsi sepanjang 2005 hingga 2015
adalah empat tahun. Pidana penjara empat tahun merupakan hukuman minimal
penjara dalam Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Tercatat sebanyak 15 kepala daerah mendapat hukuman masuk bui empat
tahun lamanya. Beberapa di antaranya adalah Ilham Arief Sirajuddin, Raja
Bonaran Situmeang, dan Ismeth Abdullah. Pidana penjara terlama jatuh pada Rusli
Zainal, Gubernur Riau 2003-2008 dan 2008-2013, terdakwa kasus korupsi Pekan
Olahraga Nasional (PON) dan kehutanan di Pelalawan dan Siak. Perbuatannya
merugikan negara sebesar Rp265 miliar. Pada 2014, ia divonis mendekam di sel
selama 14 tahun.

Sedangkan kurungan penjara paling sebentar jatuh
pada Vonnie Aneke Panambunan, Bupati Minahasa Utara periode 2005-2008. Ia
terlibat dalam korupsi pengadaan barang dan jasa dalam studi kelayakan bandara
Loa Kulu, Kalimantan Timur. Akibat perbuatannya, negara mengalami kerugian
sebesar Rp4,05 miliar.


Hukuman ringan yang dijatuhkan bagi
mayoritas pelaku rasuah tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap upaya pemberantasan
korupsi. Hal ini seolah membuat tindak korupsi seperti tidak ada bedanya dengan
kejahatan biasa, seperti pencurian atau penipuan. Dan ini menguntungkan
koruptor. Satu contoh dari diuntungkannya vonis ringan ini dimanfaatkan oleh
Yusak Yaluwo.

Yusak terbukti menyalahgunakan anggaran APBD
semasa menjabat sebagai Bupati Boven Digoel periode 2005-2010. Pada 2010, ia
divonis 4,5 tahun penjara. Selama menjalani masa tahanan dan proses persidangan
kasus korupsinya, Yusak maju ke pilkada tahun 2010. Ia menang satu putaran dan
kembali dilantik sebagai Bupati Boven Digoel oleh Gubernur Papua Barnabas
Suebu.


Untuk mencegah terjadinya hal seperti
ini, dari sisi hukum, perlu ada vonis berat bagi pelaku korupsi yang
memunculkan efek jera. Tak hanya itu, negara juga harus memperketat pengawasan
pengelolaan anggaran, terlebih di daerah yang punya rekam jejak korupsi
berulang kali –seperti Sumatera Utara– dan daerah dengan politik dinasti yang
kuat. Ini perlu disoroti, sebab korupsi yang dilakukan para kepala daerah
berimbas pada kerugian negara hingga triliun rupiah.**





Berita terkait