Di sebuah pos berukuran kecil yang didirikan di atas lokasi eks Likuefaksi jalan Manggis, Perumnas Balaroa, Sabtu sore (28/9/2019), Tahir (67 tahun) bersama istri tercintanya, Hasna (56 tahun) duduk bersama di pondok tersebut. “Hari ini, genap setahun sudah kejadian Likuefaksi ya Hasna, “celetuk Tahir kepada istri tercintanya.
Dengan tatapan kosong, Wanita yang setia menemaninya itu hanya menganggukan kepalanya. Nampak rona wajahnya menyiratkan sebuah kepiluan yang sangat dalam. Sedetik kemudian, keduanya hanya terdiam membisu.
Menyadari diantara mereka ada media ini, yang ikut larut dalam pembicaraan, Tahir yang lahir dan besar di Perumnas Balaroa itu, berusaha mencairkan suasana dengan memulai ceritanya.
“Nak, saya lahir dan besar di Perumnas Balaroa ini. Rumah kami berada di sebelah barat. Kini rumah kami hilang ditelan Likuefaksi. Di tempat ini, dahulunya merupakan rawa dan sawah, ” ungkapnya memulai ceritanya.
Menurutnya, dari cerita neneknya semasa dia masih kecil, di lokasi Perumnas Balaroa terdapat sebuah kubangan lubang yang terhubung ke laut.
Pada masa itu, apabila seekor kerbau terperosok ke lubang itu, hewan pembajak sawah tersebut ditemukan mati dan mengambang di teluk Palu.
“Sekitar tahun 1963, saya masih lihat itu lobang. Disekitar jalan Kelor. Biasanya lubang itu mengeluarkan lumpur. Suara yang keluar dari lobang, seperti kalau kita berlari menginjak tanah sawah yang berair,” akunya.
Bagian utara Perumnas Balaroa, terdapat sebuah lokasi sakral yang dalam dialek bahasa Kailinya disebut ‘Tonggo Magau‘. Tempat tersebut kata Tahir, merupakan area kebun seorang raja.
Pada bagian tengah lokasi Perumnas Balaroa, merupakan wadah tumbuh kembangnya tanaman sejenis pandan (Lambori bahasa Kaili red) yang dapat dibuatkan tikar tradisional.
Sementara di sisi sebelah utara atau tepatnya di seputaran jalan Manggis sebut Tahir, ditumbuhi pohon berbuah mirip jeruk nipis. Dalam bahasa lokalnya disebut Popa. Selain itu, di wilayah tersebut juga ditumbuhi Sagu dan rawa.
Sebelum pembangunan Perumnas Balaroa, pada tahun 1970, di sekitar wilayah ini, telah dibangun perumahan di jalan Cemara dan RSU Anuta Pura, ” ungkapnya.
Lebih jauh, ayah dari Irwan (37 tahun) Sartina (28 tahun dan Arlina (22 tahun) yang kini tinggal di shelter pengungsian sport center Kelurahan Balaroa itu mengisahkan perjuangan dia bersama istrinya selamat dari Likuefaksi.
Saat gempa bumi 7,4 skala ritcher sore menjelang Maghrib, dia bersama istrinya berada di dalam rumah. Sementara dua anaknya telah berkeluarga, tinggal di kelurahan lain. Anak bungsu mereka yang kini juga telah menikah, tidak berada di rumah.
“Waktu gempa bumi, saya dan istriku langsung keluar rumah. Karena rumah kami berada di bagian atas Perumnas Balaroa, saya sempat melihat tanah tempat kami berdiri bergerak turun ke bawah. Seperti air yang mengalir dari tanah yang tinggi ke tanah yang rendah. Meskipun hari itu mulai remang-remang, ” ucapnya.
Setelah itu, dia bersama istrinya berusaha menyelamatkan diri dari tanah yang dia rasakan seolah bergelombang dan bergerak maju mundur. Walaupun harus jatuh bangun. Dengan posisi merangkak bahkan sempoyongan, dengan sisa tenaga yang ada, tubuh renta mereka berhasil menerobos fenomena alam tersebut.
” Alhamdulilah, disisa usia kami ini, Allah masih memberikan kesempatan kepada kami untuk hidup. Kami lari ke atas waktu gempa terjadi. Tubuh kami terbanting dan setengah mati untuk berdiri. Kalau saya ingat lagi kejadian itu, sedih saya rasa. Mendengar suara orang-orang minta tolong, ” kenangnya.
Kini Tahir bersama istrinya hanya berharap kepada pemerintah agar memperhatikan nasib sesama penyintas yang ada di kota Palu.
“Saya tidak mau menuntut apa-apa kepada pemerintah. Karena semua sudah takdir dari Allah. Namun perhatikan juga kami ini le. Karena rata-rata kami yang tinggal di shelter pengungsian, hanya wiraswasta yang telah kehilangan mata pencaharian akibat Likuefaksi, ” harapnya menutup kisahnya.***
Reporter: Firmansyah Lawawi