Oleh: Taqyuddin Bakri (Dosen FKIP Universitas Tadulako, dan Pemerhati Pendidikan)
Wabah Covid-19 benar-benar “menerjang” hampir seluruh sendi kehidupan. Tidak terkecuali bidang
pendidikan. Pandemi ini membuat pemangku kebijakan dan pendidik di Indonesia berupaya terus kreatif.
Tidak lain agar layanan pendidikan dapat terus dihadirkan kepada peserta didik.
Praktis, sudah lebih satu bulan pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menyerukan
kepada seluruh jenjang pendidikan untuk belajar dari rumah. Sejak itu, pendidik di seantero negeri ini berjibaku untuk “memindahkan” pembelajaran. Semula yang di dalam kelas, berpindah dari rumah dan tanpa tatap muka.
Hari ini, kita semua, segenap insan pendidikan memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).
Hardiknas yang bertema “Belajar dari Covid-19” dapat menjadi momentum untuk menata pendidikan di Indonesia ke arah yang lebih baik. Tema yang diusung oleh Kemdikbud itu sudah tepat. Wabah ini jangan menang sendiri. Kita pun harus menang. Minimal memetik hikmah terbaik dari hadirnya wabah ini.
Hadirnya pandemi global ini, membuat segala hal yang telah direncanakan harus diatur dan ditata kembali. Di bidang pendidikan, hadirnya Covid-19 membuat Kemdikbud mempercepat kebijakan peniadaan Ujian Nasional. Semula, tahun 2021 direncanakan sebagai tonggak peniadaan ujian nasional. Dan benar, dari Covid-19 insan pendidikan mendapatkan “pelajaran berharga”: peniadaan UN tidak perlu dipikirkan dalam waktu lama dan dengan berbagai kajian.
Sekaitan dengan itu, kita berharap ada kebijakan monumental dari pemangku kebijakan dalam menata pendidikan di Indonesia. Saat ini, pendidikan sudah bergerak ke arah yang baik. Tentu, jika masih ada lagi yang lebih baik, itu dapat menjadi pilihan kita semua.
Kesatu, kurikulum pendidikan di Indonesia sepatutnya berbasis kebencanaan. Kurikulum ini belum
terlambat untuk digagas. Kurikulum berbasis kebencanaan, bukan berarti ada mata pelajaran khusus kebencanaan. Itu akan menambah beban jam pelajaran. Pastinya, tidak akan efektif. Kurikulum berbasis kebencanaan yang dimaksud, di segala aspek yang berkaitan dengan pendidikan, baik pemangku kebijakan,
pendidik, peserta didik, dan masyarakat pendidikan harus memiliki panduan baku jika terjadi bencana. Hal itu patut ada agar segenap insan pendidikan tidak repot dalam bersikap. Di satu sisi harus melakukan mitigasi bencana, di sisi lain ada peserta didik yang harus terus diberikan layanan pendidikan.
Saat ini, dengan wabah Covid-19, pendidik harus mengajar dari rumah. Daerah yang didukung oleh akses konektivitas internet, akan membuat pendidik tidak risau. Apalagi jika peserta didik juga dapat mengakses pembelajaran secara daring (online) dengan sama baiknya. Pendidik akan mudah mengirim materi pembelajaran, bahkan mengajar melalui berbagai aplikasi penyedia di internet.
Namun, bagaimana dengan daerah yang belum didukung akses internet? Bagaimana dengan peserta didik yang tidak memiliki fasilitas untuk mengakses (handphone atau laptop)? Bagaimana juga dengan pendidik yang memiliki keterbatasan dalam mengoperasikan fasilitas itu? Kurikulum kebencanaan harus dihadirkan dengan memikirkan kompleksitas tersebut. Tentu, kita tidak
berharap bencana, baik alam maupun nonalam datang secara berkala.
Namun, bersiap dengan segala kemungkinan itu adalah salah satu mitigasi terbaik. Dengan adanya kurikulum ini, pemangku kebijakan di
tingkat pusat dan daerah tidak perlu bingung agar layanan pendidikan dapat tetap hadir. Saat “sesuatu yang
tidak diharapkan”” terjadi, layanan pendidikan dapat berjalan dengan prosedurnya. Tentu, disesuaikan
dengan kompleksitas yang ada, baik akses internet, keterampilan pendidik, maupun ketersediaan fasilitas
bagi peserta didik.
Kedua, pendidik sebagai pelaksana pembelajaran terdepan harus dibantu agar fokus memikirkan
pelaksanaan pembelajaran. Ide Mendikbud agar administrasi pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik harus didukung, tanpa mengurangi hal substansial. Salah satu yang diwacanakan adalah RPP yang hanya perlu disediakan dalam selembar kertas. Tanpa perlu berlembar-lembar seperti sebelumnya sehingga pendidik dapat meluangkan waktu untuk memikirkan hal kreatif dan inovatif untuk menghadirkan pembelajaran yang berkualitas.
Ketiga, pemerintah, baik pusat maupun daerah harus terus memberikan dukungan terbaik untuk sarana dan
prasarana pendidikan, dan peningkatan kesejahteraan tenaga pendidik. Selaku pengambil kebijakan, pemerintah dapat memutuskan dan memberikan kebijakan terbaik agar pendidik di segala jenjang di
Indonesia dapat sejahtera. Minimal senyuman di akhir bulan masih sama dengan senyuman di awal bulan.
Dengan begitu, pendidik tidak perlu berpeluh lagi untuk mencari pekerjaan sampingan di luar jam sekolah.
Implikasinya, pendidik hanya akan berfokus pada keluarga dan pekerjaannya sehingga pembelajaran yang berkualitas akan mudah dihadirkan.
Keempat, tenaga pendidik di segala jenjang harus “dilindungi” dari inflitrasi politik. Sudah mahfum terjadi
menjelang gelaran Pilkada, tenaga pendidik menjadi “kurang fokus”, bahkan saling “berbalas pantun” di
antara pendidik itu sendiri terkait dukungan terhadap salah satu calon kepala daerah.
Akibatnya, bukan sistem, strategi, atau teknik pembelajaran yang dibicarakan, tetapi lebih fokus membicarakan kelebihan calon jagoannya dan menceritakan kekurangan calon lain yang tidak didukungnya. Imbas lebih parah lagi, pendidik akan merasakan mutasi ke sekolah yang “jauh” hanya karena diketahui berbeda pilihan politik
dengan kepala daerah. Tentunya, ini tidak terjadi di daerah ini, dan semoga tidak pernah terjadi.
Semoga, momentum Hari Pendidikan Nasional ini dapat menjadikan kita semua insan pendidikan
merenung untuk berbenah diri. Dukungan dari pemerintah sebagai pemangku kebijakan amat dibutuhkan.
Jika cara pandang dan ide kita berbeda, tujuan kita pasti sama, pendidikan di Indonesia harus terus bergerak
maju. Pendidikan berkualitas untuk manusia Indonesia yang berkualitas.
“Ilmu itu bukan yang dihafal, tetapi yang memberi manfaat” (Imam Syafi’i). Selamat Hari Pendidikan
Nasional. ***
Editor: Yohanes Clemens