Oleh: Natsir Said
Tulisan ini, saya dedikasikan pada kalian yang merasakan pedihnya kehilangan, pada sebahagian harapan, terutama kalian yang kehilangan anak akibat bencana besar yang menghantam Palu, Sigi dan Donggala serta beberapa daerah terdampak lain pada 28 September 2018.
Sore yang damai, seperti biasa, ketika hampir semua kembali dari rutinitas harian, patahan sesar Palu-Koro menyajikan drama kemanusiaan paling alami dalam sejarah Sulawesi Tengah.
Guncangan 7,4 skala pada richter disertai gelombang tsunami seolah jadi akhir dari kehidupan. Kepanikan warga dan teriakan histeris saling sahut. Seketika nama Tuhan diseru, Dia tetiba hadir dalam ragam panggilan nama. Sejenak kita menjadi abai pada soal perbedaan nama Tuhan, sebab yang pasti seruan itu sama tertuju pada Dia, yang maha tunggal atas kuasanya di semesta alam dalam hal apapun.
Matahari tenggelam, pergi bersama cahaya dan menyisakan pekat malam dengan suara tangis saling sahut. Di bukit Lasoani, salah satu tempat evakuasi yang dirasa aman, kami berserakan di atas tanah dengan alas seadanya. Semuanya sama.
Pada situasi itu tak ada kelas sosial dan kemewahan materi yang membedakan. Jauh pemandangan ke arah barat, nampak Kota Palu tanpa cahaya listrik. Hanya ada sinar lampu kendaraan dan bunyi sirine lalu-lalang. Di beberapa titik juga terihat api membesar. Terlihat jelas membakar sebuah perkampungan. Malam itu, banyak hal yang belum dapat disimpulkan sebagai kejadian apa karena terputusnya seluruh akses informasi, transportasi dan penerangan.
Bagi saya, kegetiran bukanlah pada saat kejadian itu sedang berlangsung. Sebab esoknya, Sabtu (29/09/2018) seiring hadirnya matahari dengan cahayanya yang pelan-pelan menjelaskan semuanya, nampaklah Palu yang poranda. Tak terhitung bangunan roboh dan jalan rusak. Lebih dari itu, puluhan mayat berserakan di anjungan pantai Talise-lokasi yang rencananya akan dijadikan pusat pagelaran adat budaya dalam festival peringatan hari jadi Kota.
Api yang semalam berkobar itu, ternyata menjadi pelengkap paling mematikan bagi warga yang mendiami Perumnas Balaroa. Selain tanahnya bergerak dan jadi gulungan yang menenggelamkan ratusan rumah dan mengubur hidup warganya, api datang menuntaskan drama dengan membakar orang-orang yang terjepit di permukaan tanah.
Salah seorang sahabatku, Delon Tobondo, berada pada situasi yang memilukan. Dalam ceritanya, anak lelakinya Athala Putra Tobondo (11) terjepit dinding tembok hingga tak dapat melarikan diri saat api kian mendekat dan membesar. Delon dan istri terus mencari cara untuk mengeluarkan sang putra. Namun kobaran api yang kian mendekat ditiup angin kencang malam itu memaksa mereka untuk meninggalkan Athala yang masih hidup. Itu pilihan bijak, sebab jika bertahan api akan merenggut nyawa mereka sia-sia.
“Yang dapat saya lakukan adalah membesarkan hati Athala dengan terus menyuruhnya istighfar. Kami terpaksa harus beranjak. Beton yang menghimpit Athala tidak dapat diangkat puluhan tangan manusia,” cerita Delon saat ia memutuskan harus meninggalkan darah dagingnya yang sebentar lagi akan dilahap api.
Agus Manggona, teman karib yang sejak dua puluhan tahun kukenal di awal-awal meniti karir jurnalis, juga harus menanggung pilu. Ada ruang dalam jiwanya yang akan selalu kosong bahkan hingga sampai ajal menjemput. Ruang yang sebelumnya diisi putri kecilnya itu memang tak mungkin diisi sosok lain. Andini Pramudita Manggona (19), anaknya, terkubur hidup-hidup dengan jasad yang tak ditemukan.
Puluhan pemukim Perumnas Balaroa lain yang selamat, adalah para korban bencana yang tak dapat benar-benar sembuh sampai kapanpun. Ada jejak kelam yang akan terus datang dengan tarian kepiluan, selanjutnya mengajak air mata. Pada mereka, tak cukup kata sabar, sebab kedalaman deritanya tak dapat disederhanakan.
Saat ini, kompleks Perumnas Balaroa dijadikan situs bencana dengan puluhan batu nisan sebagai tanda bahwa disitulah si fulan terkubur, atau paling tidak di sekitar itulah jasadnya bersemayam.
Delon dan Agus, dua orang di antara puluhan lainnya yang kehilangan darah daging, buah hati, penghibur mata atau puluhan nama lain yang merepresentasikan betapa rasa itu akan selalu hadir dan tulus pada anak. Setelah berumah tangga, saya menjadi sangat paham betapa cinta yang benar-benar murni salah satunya pada anak. Kita mudah saja mengorbankan apa saja hanya untuk melihat mereka bahagia, bahkan senyuman mereka jadi sesuatu yang paling berharga dibanding materi apapun. Saya pernah mendengar seorang teman mendeskripsikan cinta itu.
“Seorang preman paling beringas sekalipun, jika ada anak dalam rumahnya maka pasti ia masih memiliki cinta,” katanya.
Maka sekali lagi, untuk Delon dan Agus, tulisan ini sama sekali tidak dapat menjamah kedalaman duka kalian. Sebab kata-kata akan selau kurang untuk menjelaskan bagaimana duka itu menggerayangi. Namun setidaknya, ijinkan saya mengutip sepenggal hadits Nabi Muhammad SAW, paling tidak sebagai penghiburan di tengah pilu.
Dalam hadis dari Abu Musa al-Asy’ari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا ماتَ ولدُ العَبْدِ ، قالَ اللهُ لمَلَائِكَتِهِ : قَبَضْتُمْ وَلَدَ عَبْدِي؟ فَيَقُولُونَ : نَعَمْ . فَيَقُولُ: قَبَضْتُم ثَمَرَةَ فُؤَادِهِ؟ فَيَقُولُونَ : نَعَمْ . فَيَقُولُ : مَاْذَا قالَ عَبْدِيْ؟ فَيَقُولُونَ : حَمِدَكَ وَاسْتَرْجَعَ . فَيَقُولُ اللّهُ : ابْنُوا لِعَبْدِيْ بَيْتًا فِيْ الجَنَّةِ وَسَمُّوهُ بيتَ الحَمْدِ
“Apabila anak seorang hamba meninggal dunia, maka Allah bertanya kepada malaikat, ‘Apakah kalian mencabut nyawa anak hamba-Ku?‘ Mereka menjawab, ‘Ya’. Allah bertanya lagi, ‘Apakah kalian mencabut nyawa buah hatinya? ‘Mereka menjawab, ‘Ya’. Allah bertanya lagi, ‘Apa yang diucapkan hamba-Ku? ‘Malaikat menjawab, ‘Dia memuji-Mu dan mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raajiun‘. Kemudian Allah berfirman, ‘Bangunkan untuk hamba-Ku satu rumah di surga. Beri nama rumah itu dengan Baitul Hamdi (rumah pujian)‘.”(HR. Tirmidzi 1037, Ibu Hibban 2948 dihasankan al-Albani).
Semoga, Dia yang dipanggil dengan ragam nama itu, yang dengan Maha Kasih, telah menyediakan rumah kebahagiaan pada kalian, pada korban-korban bencana yang kehilangan anak, untuk kembali berkumpul di surga-Nya kelak.
Sementara korban lain yang saat ini masih di bawah tenda-tenda pengungsian, bersabarlah. Biarlah derita kita dan kalian, akan menjadi saksi di padang mahsyar, dalam event perhitungan, mahkamah paling adil, atas berpihak dan tidaknya kebijakan penguasa.
Palu, 13 September 2020