Penulis: Indra Setiawan
Palu,- Sejak menanjaknya kasus Covid-19 di Indonesia, khususnya di Sulawesi Tengah, Pemerintah Kota Palu intens melakukan pemeriksaan pelaku perjalanan di pos perbatasan. Hal ini diharapkan dapat memutus rantai penyebaran Covid-19 dari klaster pelaku Perjalanan.
Setiap warga yang hendak masuk wilayah Kota Palu diwajibkan mengantongi surat keterangan bebas Covid-19. Bagi warga dari luar Provinsi wajib membawa hasil Rapid Test non reaktif, sementara antar kabupaten di Sulawesi Tengah diwajibkan membawa Surat Keterang Berbadan Sehat (SKBS).
Namun, dalam prakteknya kegiatan Pungutan Liar atau Pungli diduga marak terjadi kepada warga yang tak mengantongi surat-surat kesehatan yang dimaksud. Sejak bulan Juni 2020 lalu, dugaan kegiatan pungli sudah mulai mencuat kepublik. Hal tersebut ditandai dengan banyaknya postingan warga bermunculan di wall beranda Media Sosial Facebook mengenai pengalaman dungaan pungli yang diterimanya.
Dalam pantauan penulis, motifnya berbeda-beda, ada pungli yang melibatkan warga setempat dan ada pula pungli yang dilakukan oleh oknum petugas secara langsung.
Minggu (29/11/2020) kemarin, dalam video 30 detik yang diunggah akun Instagram @diaryjurnalis, memperlihatkan sebuah investasi Jurnalislik. Dalam video tersebut oknum warga yang berprofesi sebagai tukang ojek menyediakan jasa bagi pelaku perjalanan yang tak memiliki surat-surat kesehatan untuk dapat masuk ke Kota Palu. Mereka menawarkan jalan pintas/jalan tikus untuk menghindari posko pemeriksaan dengan biaya Rp50 ribu per orang.
Kegiatan ini kabarnya sudah berjalan cukup lama sejak aktifnya posko perbatasan Covid-19. Namun, yang menjadi pertanyaan hingga saat ini adalah apakah benar para petugas di posko Perbatasan tidak mengetahui kegiatan tersebut ataupun ada bagi hasil, masih menjadi sebuah pertanyaan.
Bukan hanya itu, ada pula dugaan pungli yang dilakukan oleh oknum petugas di Posko Perbatasan secara langsung. Hal tersebut berdasarkan informasi yang penulis dapatkan dari dua narasumber, yang pertama seorang Supir mobil angkutan antar Provinsi dan seorang Mahasiswi dengan kronologis yang berbeda.
Untuk si Supir mobil angkutan, kronologi dugaan pungli terjadi ketika ia membawa 5 (lima) orang penumpang dan 3 (tiga) penumpang termasuk dirinya tak membawa surat Rapid Test, sementara 2 (dua) penumpang lainnya memiliki surat kesehatan dimaksud. Kala itu, karena menyadari ada penumpang yang tak memiliki surat kesehatan untuk perjalanan, ia memilih jalan pintas agar tak melewati posko Perbatasan Covid-19.
Namun, upaya ia untuk melawati jalan pintas atau jalan tikus rupanya gagal, ia diketahui oleh oknum petugas dan kemudian memberhentikannya. Setelah tak dapat menunjukkan surat kesehatan dimaksud, para penumpang yang berjumlah 3 orang dikenakan biaya Rp100 ribu per orang untuk dapat lolos dan melanjutkan perjalanan. Sementara, si supir tidak dikenakan biaya karena dianggap sudah sering melintas dan dikenali oleh beberapa oknum petugas penjaga posko disana.
Kemudian, pengalaman berbeda dikatakan seorang Mahasiswi di Universitas Tadulako (Untad) yang namanya tak disebutkan. Ia menceritakan pengalamannya yang saat melakukan perjalanan menggunakan sepeda motor dari luar Provinsi menuju Kota Palu tanpa dilengkapi surat-surat kesehatan.
Alhasil, saat mencoba melewati posko perbatasan Covid-19 ia ditahan. Dugaan pungli pun terjadi ketika salah satu oknum petugas mencoba menawarkan mahasiswi tersebut untuk membayar Rp100 ribu agar tetap bisa melanjutkan perjalanan. Saat itu, ia diberi penawaran membayar Rp100 ribu dan langsung lewat atau menjalani Test Rapid dengan biaya Rp150 ribu yang juga disediakan oleh petugas.
Mahasiswi itu memilih membayar Rp100 ribu, dengan alasan takut menjalani Test Rapid. Katanya, ia takut hasilnya Reaktif dan malah menjadi ODP. Akhirnya mahasiswi itu pun lolos dengan membayar biaya yang telah disebutkan tadi.
Lalu, yang menjadi pertanyaan besar dibenak masyarakat saat ini adalah efektifitas posko perbatasan Covid-19 dalam mencapai tujuan utamanya yakni dapat memutuskan penyebaran Covid-19 dari klaster pelaku perjalanan, jika dalam prakteknya mungkin saja ada beberapa oknum yang memanfaatkan hal tersebut.
Jika berkaca dari Provinsi tetangga seperti Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan, sudah tidak terdapat lagi posko-posko Perbatasan Covid-19 jika ingin memasuki kedua Provinsi tersebut. Karena diakui anggaran yang dialokasikan untuk posko-posko tersebut terbilang tidak sedikit. Lantas Provinsi Sulawesi Tengah dan Pemkot Palu kapan?. ***
Palu, 30 November 2020