Oleh : andono wibisono
SISA 33 hari. Bagai orang pesta besar, semua akan disuguhkan, demi yang terbaik. Agar pestanya berakhir dengan gelak tawa, bahagia dan membuat decak kagum yang hadir. Begitu juga di politik. Di Pilkada 2020. Semua jurus mematikan pelan – pelan dikeluarkan. Serangan dari striker politik mulai langsung ditembakkan ke gawang. Sangat menarik.
Pemilihan gubernur Sulawesi Tengah 2020 kali ini tetap dua pasang. Sama dengan 2015 lalu. Yaitu pasangan Hidayat Lamakarate dan Bartholomeus Tandigala nomor urut pertama. Sedangkan Rusdi Mastura dan Makmun Amir, nomor urut dua. Orang menyebutnya dengan segala perspektif masing – masing. Ada yang menyebut dengan perspektif baground, usia, ekspektasi visi misi, dan bahkan soal politik identitas.
Analisis Markas Besar Kepolisian RI sebelumnya menyebut bahwa Sulawesi Tengah salah daerah memiliki kerawanan di Pilkada 2020. Kalau disimak, analisis itu ada benarnya. Baik dari Pilgub, Pilbup dan Pilwakot. Nampak kerawanan itu ketika Pilbup Banggai salah satu Paslon kembali mendapat keputusan hukum untuk ikut kembali di Pilkada. Buntutnya komisioner Bawaslu dipecati. Belum lagi potensi kerawanan itu ada di Pilbup Poso, Pilwakot Palu, Sigi dan Toli-toli. Itu amatan penulis.
Bagaimana dengan Pilgub Sulteng sendiri? Kerawanan politik Pilgub 2020 bergeser lebih luas dari pada 2015. Tidak hanya melihat hanya petarungan Hebat dan Cerdas. Tapi para penyerang justeru menyeret nama – nama Ahmad H Ali dan Longki Djanggola. Kerap keduanya diserang oleh striker dengan sejumlah cloning isu dan masalah yang tak terkait coba dikaitkan.
Analisis konten media sosial (medsos) 80 persen saat ini para penyerang tidak menempatkan bidikan – bidikan pada apa tawaran Hidayat – Bartho kalau jadi gubernur. Pun sama. Penyerang cenderung tidak mengupas tuntas apa orsinilitas Cudi yang menjadi berbeda dengan lawannya untuk dimenangkan. Semua menyerang Ahmad H Ali sebagai parpol penyokong Cudi. Demikian juga Longki Djanggola sebagai parpol pengusung Hidayat – Bartho. Mari kita beda siapa nanti yang bakal dirugikan.
2015, pertarungan jelas kala itu soal siapa Cudi dan siapa Longki. Serangan politik untuk mempengaruhi konstituen benar – benar pertarungan dua figur itu. Sangat kompetitif. Tercatat sejumlah gesekan kerentanan dan kerawanan terjadi.
2015, dari analisis matra udara, akun anonim baik influenzer dan buzzer sudah berkembang. Tapi, intensitas penyerang antar keduanya masih cukup banyak menggunakan akun resmi. Perang udara kadang nampak terbuka. Dukungan terbelah telanjang.
2020; Pilgub Sulteng sepekan terakhir mulai terasa. Awalnya saling ejek pasca debat pertama hajatan KPU. Mulai dari sorotan kamera yang dinilai tidak berimbang, soal paparan paslon hingga hal yang remeh temeh dibuatkan video meme dan flayer yang meramaikan matra udara. Yang mutakhir juga soal berita utama Tempo, soal 1 juta uero untuk mangrove sepanjang pantai Talise, soal – soal lainnya. Tim penyerang masing – masing mengelurkan peluru andalan.
Menyeret nama Ahmad Ali dan Longki dalam pertarungan terbuka di media sosial Pilgub 2020 amatlah riskan. Kalau tidak bisa disebut hati – hati dan bahaya bila tidak dihitung dengan matang. Menjadi pertanyaan, mengapa Ketua PDI-P Muharam Nurdin juga tidak diseret ke pusaran pertarungan itu? Misalnya. Toh PDIP juga pengusung Hidayat. Mengapa juga bukan nama Anwar Hafid misalnya. Yang juga mengusung Cudi. Apakah faktor kebetulan? Atau ada yang merancang di luar sana? Sebaiknya semua tidak terjebak pada ‘menari di gendang’ orang lain.
2021 disepakati oleh pemakzur dunia sebagai awal nyata era generasi Z. Bukan lagi generasi X atau Y. Kita patut merenungi bila ingin Sulteng setidaknya sejajar kemajuannya seperti Makassar, Kaltim, dan daerah lainnya.
Bluffing politik dengan cara saling menjatuhkan bakal membekas dalam hati. Terlebih para striker bayaran sulit membedakan hubungan emosional mereka yang dibela dan diserang. Hantam kromo. Tidak menjadikan pujaannya sebagai Semar atau Krisna. Tidak menempatkan calonnya sebagai Arjuna yang siap memanah dengan program pembeda. Politik sebagai jalan kecerdasan sangat miskin dilakukan. Jangan heran gaya serangan menjadi alat pemiskin pemilih nantinya.
Jadilah Obama, penyerang tangguh untuk Jhon Bidden ke Trump. Atau jadilah anak – anak muda yang gagah naik dipentas panggung menjadi penyerang Bidden. Serang dan habisi programnya. Bukan individu dan masa lalu seseorang dikloning dan dijadikan komoditi murahan campur racun. Itu mereduksi jagoan sendiri.
Kepada aparat kepolisian, Polda Sulteng dan Bawaslu, intelejen BIN dan BAIS serta lainnya agar menjadikan ini antisipasi kerawanan politik menjadi ajang kerawanan sosial. Perlu sesegera mungkin tanggap sosialisasi hajatan politik damai. Instalasi membangun itu masih sangat potensial. ***