Palu,- Pembangunan tanggul anti tsunami yang dibangun Pemerintah Kota (Pemkot) Palu pascabencana Tsunami tahun 2018 membuat nelayan kehilangan tambatan perahu. Akibatnya, perahu para nelayan rentan mengalami kerusakan akibat terkena hempasan ombak.
Ketua Rukun Nelayan Kelurahan Talise, Arham, mengatakan, tanggul atau penangkal ombak yang dibuat Pemerintah tidak berpengaruh berarti kepada nelayan, hanya saja yang menjadi persoalannya di tiap Kelurahan harus ada tambatan perahunya.
“Kalau tambatan perahu itu tidak ada, pastinya akan berpengaruh besar bagi nelayan karena persoalannya perahu berhadapan langsung dengan ombak ketika sore hari. Tentu ini rentan menyebabkan perahu nelayan rusak lebih cepat,” ujar Arham, Rabu (04/11/2020).
Ia mengungkapkan bahwa kondisi pesisir Palu yang termasuk kategori teluk membuat hantaman ombak langsung mengarah ke teluk dan membentur perahu nelayan. Dengan adanya pembangunan tanggul, perahu nelayan saat ini tidak lagi dinaikkan ke pesisir pantai.
“Seharusnya, sebelum pembangunan tanggul Pemerintah harusnya membuatkan tambatan perahu terlebih dahulu untuk para nelayan agar tidak ada pihak yang dirugikan. Perbaikan perahu akibat terhempas ombak pun mahal, bisa menghabiskan biaya Rp3 juta untuk satu kali perbaikannya,” tambahnya.
Arham berharap kepada pemerintah untuk lebih memperhatikan pantai karena para nelayan juga berkontribusi dengan masyarakat. Olehnya nelayan di 13 kelurahan di Kota Palu saat ini sangat membutuhkan tambatan perahu.
“Sebenarnya, selaku masyarakat juga merespon positif program tersebut. Karena persoalannya tanggul merupakan salah satu penangkal ombak dan penghalang abrasi pantai. Apabila terjadi Tsunami maka tanggul itu dapat menjadi penghalang sebelum air menyentuh daratan. Namun tolonglah perhatikan juga nasib kami yang di pesisir pantai,” tutupnya.***
Reporter: Windy Kartika