WACANA Penundaan Pemilu pasca reformasi 20 tahun lalu pernah terjadi di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yaitu tujuan isunya tiga periode. Pernah pula terjadi di Amerika Serikat ketika presiden Ronald Reagan. Tapi, faktanya tidak terjadi. Karena kekuasaan saat itu menolak. Baik Reagan dan SBY tetap menginginkan pemilu dilakukan sesuai mekanisme konstitusional.
Dalam sepekan, gaduh wacana penundaan Pemilu 2024 menyeruak. Isunya nyaris tertimbun gaduh opini surat edaran Menag RI tentang pengaturan suara Azan dan wacana penyamaan suara Azan dan kebisingan suara gonggongan anjing. Wacana penundaan Pemilu 2024 diutarakan Partai Golkar, PAN dan PKB. Yang nota bene adalah partai politik koalisi pemerintah.
Beberapa laman media digital menyebutkan bahwa Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar setuju ditunda satu dua tahun dengan alasan pemulihan ekonomi. Sedangkan PAN, menurut ketum Zulkifli Hasan salah satunya yaitu konflik Rusia dan Ukraina. Sedangkan Partai Golkar memberi isyarat bahwa penundaan Pemilu bukan hal yang tabu. Selagi konstitusional dan mendapat dukungan masyarakat luas, Golkar akan mengkajinya, kata Wakil Ketua Umum Partai Golkar Melkhias Markus kepada Pers.
Dalam berbagai sumber menyebut bahwa biaya Pemilu kian periode kian membengkak. Sejak 1999 senilai Rp1,3 trilun, 2004 bengkak menjadi Rp4,45 triliun, 2009 naik menjadi Rp8,9 triliun, 2014 jadi Rp15,62 trilun, dan 2019 naik drastic menjadi Rp25,59 trilun dan diperkirakan pada 2024 biayai Pemilu menyedot anggaran sebesar Rp119 triliun atau naik hamper 300 persen dari biaya Pemilu 2019 lalu.
Kenaikan anggaran yang meruncing ke atas wajar bila dikaitkan dengan wacana penundaan Pemilu 2024. Mengingat, Indonesia masih menghadapi pandemic Covid 19 dan pemulihan ekonomi bangsa. Olehnya, sebaiknya konsentrasi negara mestinya diprioritaskan pada kepentingan rakyat dari pada kepentingan politik yang berorientasi kekuasaan. Begitu kira-kira argumentasi para pendukung penundaan Pemilu 2024.
Ketua Partai Demokrat Sulawesi Tengah, Anwar Hafid saat Podcast dengan Kaili TV, di Palu mengatakan bahwa tidak ada negara bubar karena menghadapi bencana. Tidak ada negara krisis karena hanya masalah pandemic. Tapi, negara dapat bubar bila demokrasi terampas dan berganti menjadi anti demokrasi. Olehnya, jauh jauh hari Demokrat menolak penundaan Pemilu 2024 (dapat dilihat di kanal youtube Kaili TV).
Pemerintah enggan disalahkan. Bahkan pemerintah tak mau disebut secara sistematis menekan pimpinan – pimpinan Parpol untuk mewacanakan Pemilu 2024. Bahkan, pemerintah tak mau berspekulasi sebelum ada keputusan dari MPR, sebagai lembaga tertinggi di Republik Indonesia.
Konstruksi konstitusi Indonesia jelas bahwa jabatan presiden setiap periode lima tahun dipilih. Demikian juga dengan jabatan anggota DPR RI dan seterunya. Apabila ada keinginan untuk menambah masa jabatan, dana tau menunda Pemilu mestinya dilakukan secara konstitusional pula. Tetapi, bila ingin melakukan hal tersebut mestinya membuka katub konstitusionalnya. Harus ada alasan konstitusional dan harus ada kondisi konstitusional untuk mengubah aturan konstitusionalnya, kata pengamat politik UGM Zainal Arifin Mochtar.
Alasan konstitusional yaitu alasan yang benar – benar nyata dan secara konstitusi benar –benar sangat dibutuhkan. Bila tidak dilakukan maka mengancam negara. Demikian pula dengan kondisi konstitusional. Misalnya, kemampuan keuangan negara yang tidak sanggup membiayai Pemilu karena di sisi lain ada kondisi lebih penting untuk keselamatan rakyat.
Pertanyaannya, benarkah Indonesia sedemikian kondisi dan situasinya? Sehingga akan menjadi alasan dan kondisi konstitusional untuk menunda Pemilu 2024? Bukankah ada cara lain misalnya; dengan mengubah tata cara penyelenggaraan Pemilu 2024 di masa Pandemi? Atau mulai dipikirkan tata cara penyelenggaraan Pemilu digital. Yaitu, dengan cara memilih menggunakan email, dan untuk wilayah perdesaan dilakukan dengan metode digital yang lebih fleksibel atau melalui kantor Pos dan Giro? ***
Oleh : andono wibisono (praktisi media)